Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji

Jakarta (Metrobali.com)-

Komisi Pemberantasan Korupsi mempersiapkan bukti menjelang sidang praperadilan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo pada 18 Mei 2015.

“Kami mempersiapkan sesuai dengan apa yang dipermasalahkan pada praperadilan ini, misalnya alasan dan bukti-bukti kami menerbitkan sprindik (surat perintah penyidikan) maupun penetapan tersangka,” kata pelaksana tugas (plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Jumat (15/5).

Hadi Poernomo pernah mengajukan praperadilan pada April lalu, namun saat sidang pada 13 April 2015, Hadi membatalkan gugatan praperadilan tersebut. Tapi ia kembali mengajukan praperadilan dan mendapat jatah sidang pada 11 Mei 2015, hanya KPK meminta penundaan sidang hingga 18 Mei 2015.

Persiapan bukti-bukti itu dilakukan KPK menyusul kemenangan gugatan praperadilan mantan Wali kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin pada 12 Mei 2015 yang diputuskan oleh hakim tunggal Yuningtyas Upiek Kartikawati karena menilai bukti-bukti yang diajukan KPK hanya berupa fotokopi tanpa bisa ditunjukkan aslinya.

“KPK selalu siap secara prosedual menghadapi apapun gugatan praperadilan. Permasalahan gugatan praperadilan ini adalah bagaimana KPK meyakinkan pola-pola pemikiran hakim yang selaras dengan pemahaman alat bukti yang menjadi domain dari pemeriksaan pokok perkara, bukan domain hakim praperadilan,” kata Indriyanto menambahkan.

Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi juga menegaskan KPK mempersiapkan strategi baru dalam praperadilan Hadi.

“Tentu kami akan menerapkan strategi baru, mengacu pada praperadilan Ilham. Apa saja? Strategi ini tidak bisa dibuka,” kata Johan melalui pesan singkat.

Namun Johan meyakini bahwa hakim dalam sidang tersebut yaitu ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Haswandi akan berpihak pada KPK.

“Kami meyakini putusan hakim tentu bisa berbeda, tergantung hakim masing-masing yang menyidangkan. Para hakim itu independen dan bisa saja memahami persoalan secara berbeda,” tambah Johan.

Pada 21 April 2014, KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA Tbk tahun pajak 1999.

KPK menemukan kesamaan modus yang dilakukan Hadi Poernomo yaitu menyalahgunakan kewenangan dengan bersembunyi di balik kebijakan pajak saat menjabat sebagai Dirjen Pajak dengan tindakan mantan Deputi Gubernur BI bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya yang melakukan penyalahgunaaan kewenangan sebagai Deputi Gubernur BI di balik kebijakan perbankan.

Hadi sebagai Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pajak 2002-2004 diduga menyalahgunakan kewenangan dengan bersembunyi di balik kebijakan pajak yaitu mengubah telaah direktur PPH mengenai keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA Tbk tahun pajak 1999.

Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait Non Performance Loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp5,7 triliun kepada direktur PPH Ditjen Pajak.

Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari direktur PPH pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.

Namun satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA yaitu pada 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku dirjen pajak, memerintahkan agar Direktur PPH mengubah kesimpulan yaitu dari semula menyatakan menolak, diganti menjadi menerima seluruh keberatan.

Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima seluruh keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi direktur PPH untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu.

Atas penerimaan keberatan itu keuangan negara dirugikan senilai Rp375 miliar bahkan potensi kerugian negara dapat mencapai Rp1 triliun sehingga sudah dapat dikategorikan memenuhi unsur pidana yang disangkakan.

KPK menyangkakan Hadi Poernomo berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maupun setiap orang yang penyalahgunaan kewenangan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. AN-MB