Busyro Muqoddas 2

Jakarta (Metrobali.com)-

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menilai putusan kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap Ahmad Fathanah alias Olong yang merupakan kawan dekat mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, berpihak pada kaum tertindas.

“Vonis itu kental berpihak pada kaum tertindas. Putusan MA untuk Fathanah dan LHI (Luthfi Hasan Ishaaq) memiliki karakter sama yaitu keduanya sebagai aktor dalam kasus korupsi politik,” kata Busyro melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Jumat (19/9).

Pada Kamis (18/9), MA memutuskan untuk menolak kasasi yang diajukan Fathanah, sehingga Fathanah tetap dihukum 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan dalam kasus pemberian suap untuk pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang.

Sedangkan pada Senin (15/9), MA juga memutuskan memperberat hukuman kepada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus yang sama menjadi 18 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah dengan pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik.

“Fatanah sebagai swasta menyuap LHI sebagai anggota DPR dan Presiden PKS. Kasusnya memiliki dampak serius yaitu dirobeknya ‘daulat rakyat’ yang diakui langsung dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yaitu kaum peternak yang dipinggirkan oleh sistem impor daging sapi yang mengabdi ke asing,” tambah Busyro.

Padahal menurut Busyro, hal itu merupakan ironi karena swasta mampu dengan mudah merusak pejabat publik.

Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung yang juga Ketua Majelis Kasasi Fathanah dan Luthfi Hasan Ishaaq, Artidjo Alkostar, kasus keduanya tidak bisa disamakan.

“Kasus (Lutfhi dan Fathanah) lain, tidak bisa disamakan. Justru kalau disamakan tidak adil karena posisi perannya berbeda,” ungkap Artidjo.

Menurut Artidjo, peran Luthfi dan Fathanah berbeda.

“Korupsi ada korupsi aktif dan pasif, berbeda dengan orang yang duduk manis lalu orang datang mengantar sogokan. Jadi tidak bisa (disamakan). Tidak ada kasus yang sama persis, mesti ada perannya yang berbeda,” tegas Artidjo.

Pada 19 Maret 2014 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menambah hukuman pidana Fathanah dalam kasus korupsi pemberian suap untuk pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang menjadi 16 tahun dan pidana denda sebanyak Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Vonis itu lebih berat 2 tahun dibanding putusan Fathanah di pengadilan tingkat pertama yang diputuskan pada 4 November 2013 lalu divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan.

Namun, putusan itu masih lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Fathanah dipenjara selama 17,5 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar. AN-MB