Priharsa Nugraha

Jakarta (Metrobali.com)-

KPK menjemput paksa Bupati Pulau Morotai Rusli Sibua karena tidak memenuhi dua kali panggilan sebelumnya untuk diperiksa sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi pemberian hadiah terkait pengurusan perkara sengketa pilkada Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara di MK tahun 2011.

“Tadi siang penyidik kPK melakukan penjemputan paksa terhadap tersangka RS (Rusli Sibua), jadi yang bersangkutan dijemput untuk dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka,” kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Rabu (8/7).

Penjemputan itu dilakukan karena dalam dua panggilan terakhir yaitu pada 2 dan 7 Juli 2015, Rusli tidak datang dengan alasan sedang membuat laporan kepada saksi-saksi yang memberikan keterangan tidak benar dan sedang mengajukan permohonan praperadilan.

“Dijemput karena dua panggilan terakhir yang bersangkutan tidak hadir dengan memberikan keterangan, tapi oleh penyidik dianggap bahwa alasan tersebut tidak layak dan patut sehingga penyidik merasa perlu melakukan penjemputan terhadap tersangka RS untuk dilakukan pemeriksaan segera pada hari ini,” tambah Priharsa.

Rusli dijemput dari sebuah lokasi di kawasan Jakarta Selatan.

“Ini panggilan ketiga, jadi dilakukan pemanggilan ketiga dengan disertai surat perintah penjemputan. Sesuai KUHAP jika seorang tersangka atau seseorang dipanggil tidak hadir tanpa memberikan keterangan atau dia memberikan keterangan tapi dianggap tidak patut maka penyidik dapat memanggil kembali yang bersangkutan disertai surat perintah penjemputan,” ungkap Priharsa.

Ia juga mengaku bahwa Rusli tidak melakukan perlawanan saat dijemput.

“Tidak ada perlawanan saat penjemputan,” tambah Prihasa.

Namun Priharsa tidak tahu apakah Rusli akan langsung ditahan.

“Saya belum tahu (untuk penahanan), penahanan tergantung pertimbangan penyidik,” jelas Priharsa.

KPK mengenakan sangkaan pasal 6 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 juncto 55 ayat 1 ke-1 KUHP kepada Rusli.

Pasal tersebut mengatur tentang perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp750 juta.

Dalam putusan kasasi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, disebutkan bahwa Akil menerima Rp2,99 miliar dari Rusli Sibua.

KPU pulau Morotai sesungguhnya memenangkan pasangan Arsad Sardan dan Demianus Ice sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun Rusli Sibua dan Weni R Praisu menggugat putusan tersebut di MK dan menunjuk Sharin Hamid sebagai penasihat hukum.

Akil menjadi ketua panel hakim konstitusi bersama dengan Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva untuk memutus sengketa tersebut.

Sahrin Hamid kemudian menghubungi Akil dan dibalas dengan telepon agar Rusli menyiapkan uang sebesar Rp6 miliar sebelum putusan dijatuhkan, tapi Rusli hanya menyanggupi Rp3 miliar.

Setelah menerima informasi mengenai jumlah uang yang sanggup dipenuhi, Akil meminta Sahrin mengantar langsung ke kantor MK, tapi Sahrin menolak karena tidak berani sehingga akhirnya ditransfer ke rekening CV Ratu Samagat dengan keterangan “angkutan kelapa sawit”.

Rusli mengirim uang tersebut dalam tiga kali transaksi dengan nilai total Rp2,989 miliar. Pada putusan 20 Juni 2011, MK pun memenangkan Rusli Sibua dan Weni R Paraisu dengan jumlah suara 11.384.AN-MB