Hanya ada satu kata tolak privatisasi

Labuan Bajo (Metrobali.com) –

Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Frans Lebu Raya, yang menyerahkan pengelolaan Pantai Pede kepada PT. SIM, bisa berdampak hukum. Pasalnya, keputusan yang dibarengi dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara Gubernur NTT dengan PT. SIM tersebut, justru melanggar sejumlah undang-undang.

Atas dasar itu, Direktur Eksekutif ILS (Institut Lintas Studi) Maksimus Ramses Longkoe, S.Sos, M.Sc, mendesak aparat penegak hukum untuk menelusuri motif di balik privatisasi Pantai Pede ini. Sebab dalam kajian ILS, ada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengalihan pengelolaan Pantai Pede ini.

“Kami desak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk turun tangan. Usut dugaan penyalagunaan kewenangan oleh Pemprov NTT ini!” ujar Maksimus, saat memberikan keterangan pers di Labuan Bajo, Selasa (9/12).

Ia berpandangan, KPK harus menelusuri kasus ini, apalagi privatisasi Pantai Pede justru mendapat penolakan dari masyarakat luas. Selain itu, privatisasi ini juga melanggar beberapa peraturan perundang-undangan.

Di antaranya UU Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat di Provinsi NTT, khususnya Pasal 13 ayat 1, 2 dan 3. Pasal 13 ayat 1 mengamanatkan, bahwa untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Manggarai Barat, Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Bupati Manggarai sesuai dengan peraturan perundang-undangan menginventarisasi, mengatur, dan melaksanakan penyerahan beberapa hal kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai.

Salah satunya sebagaimana ditentukan dalam ayat 1 butir (b), terkait barang milik/ kekayaan daerah yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak, dan barang tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai, dan/ atau dimanfaatkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Manggarai yang berada dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat.

Bahkan Pasal 13 ayat 2 menegaskan, pelaksanaan penyerahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diselesaikan paling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak peresmian kabupaten dan pelantikan Penjabat Bupati Manggarai Barat.

Sementara Pasal 13 ayat 3, mengamanatkan, dalam hal penyerahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dilaksanakan, pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dapat melakukan upaya hukum.

“Merujuk aturan ini, benar bahwa Pantai Pede adalah aset milik Pemprov NTT. Tetapi dengan terbentuknya Kabupaten Manggarai Barat, maka seharusnya aset tersebut ikut diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Manggarai Barat,” kata Maksimus.

Sayangnya hingga saat ini, aset tersebut tak kunjung diserahkan Pemprov NTT kepada Kabupaten Manggarai Barat. Bahkan, Pemprov NTT juga mengalihkan pengelolaan Pantai Pede kepada investor.

“Bagi kami di ILS, ketika aset tersebut justru tidak diserahkan oleh Pemprov NTT dan malah dialihkan pengelolaannya kepada swasta, ini jelas-jelas melanggar UU Nomor 8 Tahun 2003,” tandas Maksimus, yang didampingi Direktur Advokasi dan Publikasi ILS, Marianus Susanto Edison, S.T.

Selain UU Nomor 8 Tahun 2003, privatisasi Pantai Pede juga melanggar UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 13 yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota.

“Terhadap pelanggaran atas dua undang-undang ini, kami menduga ada yang tidak beres dalam pengalihan pengelolaan Pantai Pede kepada investor. Karena itu, kami mendesak KPK untuk segera menelusuri ini,” tegas Maksimus.

ILS juga mendesak Pemprov NTT untuk segera menyerahkan aset berupa tanah di Pantai Pede kepada Pemkab Manggarai Barat, sesuai ketentuan Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2003. “Jika Pemprov NTT tidak menyerahkan aset tersebut, kami mendesak Pemkab Manggarai Barat menempuh upaya hukum sesuai perintah UU Nomor 8 Tahun 2003,” ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, ILS juga meminta Pemkab Manggarai Barat agar tidak memberikan izin terhadap rencana pembangunan hotel di Pantai Pede. “Gubernur NTT dalam surat Nomor: EK.556/ 1.010/ XI/ 2014 kepada Bupati Manggarai Barat, meminta agar diterbitkan izin untuk pembangunan hotel di Pantai Pede. Kami minta agar izin dimaksud tidak diterbitkan,” pungkas Maksimus.

Sementara itu, penolakan privatisasi Pantai Pede hingga saat ini terus meluas. Bahkan, sudah ada 6 ribu orang menandatangani form petisi penolakan privatisasi Pantai Pede, dalam aksi yang galang ILS di Labuan Bajo. RED-MB