febri-diansyahJuru Bicara KPK Febri Diansyah

 

Jakarta (Metrobali.com)-

 

KPK belum menerima rancangan resmi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga belum bisa berkomentar mengenai konsep yang banyak beredar tersebut.

“Kita mendengar ada draft yang beredar, tapi secara kelembagaan kami belum pernah menerima itu, tentu kita harus cek dulu draft itu benar atau tidak. Namun sebagai pelaksanan undang-undang tentu saja porsi KPK adalah melaksanakan aturan hukum yang berlaku dan perppu ini kewenangan presiden, kalau memang presiden menginginkan penguatan terhadap pemeberantasan korupsi, tentu itu akan baik,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Kamis (5/1).

Sebelumnya beredar di media massa dan media sosial yang menyebutkan kewenangan penuh KPK dalam menyelidik, menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi sehingga menghilangkan peranan kejaksaan dan kepolisian.

“Kita belum bisa banyak bicara soal draft perppu yang beredar tersebut karena secara kelembagaan kita juga belum melakukan apa-apa dan kita juga belum tahu apakah draft itu benar atau tidak,” tambah Febri.

KPK, menurut Febri, hanya pernah melakukan kajian perbandingan lembaga antikorupsi di beberapa negara.

“Tapi kebutuhannya lebih kepada bagimana mendesain orang untuk bisa belajar dari lembaga antikorupsi yang sudah ada seperti di Hong Kong, singapura dan di beberapa negara lain,” ungkap Febri.

Karena KPK belum menerima rancangan resmi perppu tersebut, maka KPK pun tidak bisa berkomentar lebih banyak karena perppu tersebut bila benar seharusnya bukan hanya untuk kepentingan KPK tapi untuk kepentingan lebih besar yaitu pemberantasan korupsi.

“Saya kira saya harus membaca lagi secara rinci apa bunyi pasal-pasal tersebut. Namun kami ingin menyampaikan, draft tersebut memang kita tahu beredar di luar dan kami juga belum bisa memastikan draft itu benar atau tidak,” tegas Febri.

Dalam dokumen bernomor B-930/F.1.2/Fs/12/2016 yang dikeluarkan pada 27 Desember 2016 dengan tertera tanda tangan Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kepala Bagian Tata Usaha Andi Darmawangsa disebutkan ada ketentuan Pasal 11 menjadi ayat (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan semua tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi.

Ayat (2) KPK merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi.

Sebelumnya, Pasal 11 berbunyi, Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: (a). melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (b). mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau (c). menyangkut kerugian negara paling sedikitnya Rp1 miliar.

Selanjutnya ada juga penambahan Pasal 68A pada ayat 2 yang menyatakan KPK memiliki wewenang untuk menghentikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sebelumnya, KPK tak memiliki wewenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Namun Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) membantah adanya rancangan perppu tersebut.

“Bahwa adanya Perppu KPK itu tidak benar,” kata Ketua Umum Persatuan Jaksa Indoensia (PJI) yang juga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Noor Rachmad. Sumber : Antara