Jakarta (Metrobali.com)-

Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina, M.Si menilai bahwa konvensi Partai Demokrat menunjukkan sebuah mandulnya proses pengkaderan di partai politik.

“Banyak kalangan melihat bahwa konvensi Partai Demokrat sebagai suatu proses pembelajaran demokrasi di negara kita. Saya kira itu merupakan suatu pandangan yang keliru,” katanya di Jakarta, Minggu (25/8).

Memberikan ulasan mengenai konvensi Partai Demokrat, ia mengatakan bahwa selain menunjukkan bahwa hal itu adalah wujud mandulnya proses pengkaderan di partai, juga bentuk rendahnya kepercayaan dan masifnya praktik sosial oligarkhi di dalam tubuh Partai Demokrat.

Dikemukakannya bahwa jika Partai Demokrat tetap melakukan konvensi untuk menemukan Capres dari partai mereka, yang muncul adalah bukan “orang besar” yang merupakan representasi dari pemimpin yang dibutuhkan oleh Indonesia sekarang.

“Akan tetapi hanya orang yang kuat secara kapital atau wakil dari para pedagang/kapitalis,” kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu.

“Atau orang yang hanya mempunyai popularitas yang tinggi di dalam masyarakat,” tambahnya.

Menurut dia, telah menjadi pengetahuan bersama bahwa masyarakat Indonesia dalam pilihan politiknya belum berdasarkan pengetahuan atau rasionalitas.

Hal itu terjadi, kata dia, karena sebagian besar penduduk masih mengenyam pendidikan sebatas sekolah dasar.

“Mereka menyukai seseorang lebih cenderung kepada ‘performance-nya saja, bukan kepada integritas, atau visi,” katanya.

Dalam kondisi semacam itu, kata dia, media massa dan masyarakat madani (civil society) harus sama-sama memberikan informasi dan kesadaran kepada masyarakat.

“Penyadaran ketika para elite politik atau parpol kita mandul melakukan pendidikan politik,” kata Nia Elvina, yang juga anggota Kelompok Peneliti Studi Perdedaan Universitas Indonesia itu.

Ia juga mengemukakan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan “orang besar” pasca-kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“‘Orang besar’ yang dibutuhkan untuk memimpin itu krusial karena dengan kondisi masifnya korupsi di berbagai lini kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara saat ini,” katanya.

Ditegaskannya bahwa pemimpin yang dibutuhkan oleh Indonesia ke depan itu memang murni merupakan “orang besar” yang mewakili kemauan rakyat.

“Dan ‘orang besar’ inilah yang mestinya bisa menyuluhi kemauan rakyat yang sekarang banyak ‘terbungkam’ oleh apatisme politik,” katanya.

Menurut dia, pemimpin semacam itu dibutuhkan, selain karena terjadinya korupsi di berbagai lini kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara, juga karena kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin parah.

Kemudian, katanya, juga akibat semakin merajalelanya kapitalisme dunia serta masalah ekologi.

Ia mengemukakan bahwa untuk konteks Indonesia sekarang dengan kompleksitas pemasalahan yang demikian, rakyat Indonesia tidak membutuhkan sosok pemimpin yang hanya bertumpukan kepada popularitas.

“Akan tetapi, adalah sosok dengan kapasitas sebagai pemimpin besar,” katanya.

Dalam sejarah dunia, kata dia, menunjukkan bahwa “orang besar” dalam prosesnya menuju tampuk kepemimpinan dianggap sebagai virus atau bandit oleh status quo.

“Oleh sebab itu, keteguhan hati dan iman, serta keberanian itu merupakan salah satu tolok ukur ‘orang besar’ yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia ke depan,” katanya. AN-MB