Jakarta (Metrobali.com)-

Kesatupaduan atau kekompakan elemen bangsa, yang populer diistilahkan sebagai konsolidasi politik nasional, dalam menghadapi tantangan bersama kembali digaungkan oleh berbagai pihak di saat terjadi gesekan antara kekuatan-kekuatan politik.

Itu sebabnya seruan tak henti-henti dari berbagai elemen bangsa mendukung terjadinya konsolidasi politik selalu memiliki relevansi dan landasan yang kuat.

Belakangan ini seruan itu muncul dari Zainuddin Maliki, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya. Dia menyerukan elemen organisasi kemasyarakatan Muhammdiyah berperan dalam politik kebangsaan.

Menurut dia, selama ini konsolidasi berbagai elemen bangsa belum terwujud sepenuhnya. Hal ini harus terus diperjuangkan sebab konsolidasi bangsa menjadi syarat penting bagi Indonesia untuk menghadapi berbagai tantangan.

Tampaknya, dalam menelaah persoalan konsolidasi bangsa, ada dua perkara yang harus dibedakan agar konsolidasi politik itu tak terjerembab dalam situasi yang justru berdampak buruk bagi demokrasi. Pertama, konsolidasi berbagai elemen bangsa yang dibutuhkan ketika harus menghadapi kekuatan antidemokrasi, yang datangnya bisa dari manapun. Kedua, konsolidasi di antara elemen bangsa untuk melawan kekuatan jahat yang bersarang pada kepentingan oligarkis kelompok-kelompok tertentu.

Pada kasus pertama, konsolidasi dibutuhkan jika ditengarai mulai muncul benih-benih ideologi yang hendak mengubah sendi-sendi dasar bernegara, yang sudah disepakati bahwa Pancasila merupakan ideologi final yang tak boleh diganti dengan ideologi lain yang berseberangan dengannya.

Dalam kasus pertama ini, organisasi kemasyarakatan yang bernafaskan keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dari kubu Islam bersama ormas keagamaan dari Hindu, Buddha, Kristen dan Protestan sering memperlihatkan kiprahnya dalam mengukuhkan arah ideologi bangsa ketika ada gejala bangkitnya ideologi sektarian.

Tokoh-tokoh berbagai ormas berbasis keagamaan tersebut yang juga dikenal sebagai tokoh lintas iman sering bersuara lantang untuk mengukuhkan tekad mereka membentengi negara kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila.

Bahkan yang terakhir yang bersuara soal perlunya menempatkan cinta tanah air pada tingkat pertama disusul cinta pada ideologi keimanan adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nadlatul Ulama Said Agil Siroj. Secara argumentatif, Said memperlihatkan bahwa justru dengan bertanah air lah, kalangan umat beragama dapat memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.

Sebetulnya, konsolidasi politik yang lebih pelik justru yang berkaitan dengan tantangan internal elemen-elemen bangsa itu sendiri. Sebab, dalam perkara ini, antara konsolidasi dari persekongkolan kekuatan politik elit justru bisa menenggelamkan kepentingan rakyat banyak yang berada di luar kelompok elite tersebut.

Makanya ketika polarisasi kekuatan politik di awal-awal pemerintahan Joko Widodo, yang menifestasinya berupa dua kekuatan koalisi antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, bisa mendatangkan berkah tersebunyi bagi dinamika demokrasi.

Perbedaan kepentingan dan pandangan dua kelompok itu justru baik bagi masyarakat luas. Sebab, masing-masing akan berlomba memperlihatkan pemihakan mereka pada rakyat dengan cara masing-masing. Ada ikhtiar saling mengontrol dan mengoreksi di antara dua koalisi itu. Justru ketika dua koalisi itu berpadu dan bekerja untuk kepentingan oligarkis parpol, risiko tak menguntungan bagi rakyat mulai tampak di depan mata.

Tentu konsolidasi dalam arti yang positif sangat dibutuhkan, terutama konsolisasi berbagai elemen penegak hukum dalam mengatasi tantangan terberat saat ini, yakni masih menggejalanya korupsi di semua sektor.

Konsolidasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian beserta lembaga penegak hukum lain dalam mencegah dan memberantas korupsi pastilah tak pernah menghadirkan kerugian bagi rakyat.

Sesungguhnya konsolidasi politik selalu mengalami pergeseran dan tak pernah berada dalam situasi utopia yang utuh rapi padu. Kehidupan politik itu sendiri adalah kompleks dan selalu terjadi perubahan konstelasi dan konfigurasi kekuatan yang ada di masyarakat.

Namun, kompleksitas itu bisa diurai agar tidak semakin keruh dengan penegakan aturan hukum yang disepakati bersama. Lemahnya penegakan hukum inilah yang kadang justru membuat konsolidasi bernegara menjadi rapuh.

Salah satu contoh kasus di masa lalu adalah pembiaran oleh aparat atas tindak kekerasan yang dilakukan elemen keagamaan tertentu terhadap elemen keagamaan yang dipandang sebagai musuhnya. Sikap pembiaran smacam ini jelas mencederai ideologi Pancasila yang antara lain mengajak semua warga negara untuk menjunjung nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Tantangan atas konsolidasi elemen bangsa juga bisa muncul karena masih adanya kelompok-kelopok masyarakat yang tertinggal secara ekonomi dan sosial. Itu sebabnya semua elemen bangsa juga perlu ditingkatkan taraf kehdupan eknomi mereka.

Di negara-negara yang praktik demokrasinya sudah matang dan mantap, konsolidasi elemen bangsa hanya ditujukan untuk menghadapi ancaman dari luar negeri. entah itu ancaman keamanan maupun ideologi.

Yang paling fenomenal adalah konsolidasi dalam menghadapi kekuatan komunisme, dan yang terakhir adalah ancaman terhadap terorisme.

Namun, ancaman yang terakhir ini tak seserius ancaman komunisme sehingga konsolidasi elemen bangsa atau keutuhan tekad negara-negara demokrastis dalam menghadang komunisme jauh lebih kuat dibanding menghadapi terorisme yang fragmentaris.

Tampaknya, seruan tentang urgensi konsolidasi elemen bangsa sebagaimana dilontarkan sejumlah tokoh itu selayaknya dipahami dalam konteks penguatan negara kesatuan dan peningkatan kesejahteraan segmen masyarakat yang masih tertinggal secara ekonomis. AN-MB