Penyelanggaraan ASEAN Summit XIX di Bali pada tangal 17-19 November 2011 serta kekuatan Indonesia di ASEAN, nampaknya tidak membawa manfaat berarti buat bangsa Indonesia sendiri.  KTT ASEAN kali ini menghasilkan Bali Declaration on ASEAN Community in a Global Community of Nations, dokumen tunggal yang diharapkan akan menjadi wahana bagi  ASEAN  untuk mengembangkan peranan pada tataran Global.

Deklarasi yang juga dikenal sebagai Bali Concord III itu, bagi Indonesia mendesak adanya peningkatan kapasitas  dalam menghadapi tantangan global, antara lain terorisme, korupsi, kejahatan lintas batas, krisis keuangan, perubahan iklim, food an energy crisis, kemiskinan, migrant workers, dan sebagainya.  Substansinya adalah semakin mengintegrasikan ASEAN ke dalam proses globalisasi produksi, investasi, jasa, modal dan tenaga trampil dalam rantai pasokan (supply chain) skala global.

Sebagaimana disinggung dalam pidato pembukaan presiden Susilo Bambang Yudhoyono di KTT ASEAN pada tangal 17 November 2011, maka ASEAN akan semakin memantapkan ASEAN Economic Community (AEC) dengan memperkuat ASEAN Connectivity yang berkoneksi dengan program nasional MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Ini adalah inti dasar penyelenggaraan ASEAN Summit kali ini.  Sampai saat ini ASEAN sudah mengagendakan pelaksanaan Koridor Ekonomi (KE) di seluruh ASEAN, yaitu ;  Program Kerjasama Ekonomi Sub-Wilayah Mekong Besar ( Greater Mekong Sub-Region Economic Cooperation Program/GMS-ECP); Koridor Ekonomi di Malaysia : 5 KE; Koridor Ekonomi di Indonesia: 6 KE dibawah MP3EI.

Di dalam koridor ekonomi ASEAN ini, maka prasyarat utama bagi berlangsungnya rantai pasokan adalah dengan membangun infrastruktur besar seperti jalan raya, jembatan, jalur kereta api, pelabuhan, bandara dan sebagainya. Jika ini benar, maka aka ada berbagai mega proyek yang luar biasa besarnya di seluruh wilayah ASEAN. Di Indoensia, berbagai proyek infrastruktur MP3EI telah dijajakan di berbagai forum international, termasuk forum G-20 dan APEC. Kali ini di ASEAN Summit tempat “menjual” infrastruktur tersebut adalah di ASEAN Businee and Investment Summit yang diadakan parallel pada tanggal 16 – 18 November 2011.

Sayangnya proyek-proyek ASEAN Connectivity ini sebenarnya tidaklah berorientasi kepada kebutuhan rakyat ASEAN sendiri. Konektivitas ASEAN berorientasi kepada kebutuhan bisnis dan investasi dalam rangka membangun mata rantai pasokan bahan mentah dan logistic pasokan tersebut. Seperti diketahui, Asia Timur dan ASEAN telah menjadi basis produksi dari berbagai industry global. Kini juga menjadi “bemper” dari krisis global yang melanda Eropa dan Juga AS.  Dalam hal ini kepentingan baik AS maupun China adalah sama, yaitu mengamankan produksi dan investasi global agar tidak ikut kolaps dari krisis keuangan dan utang.

Seluruh skema Bali Concord III,  hanya akan melayani rantai pasokan global agar indutri dan investasi jkapitalisme global dapat terus berjalan. Di lain pihak, koridor ekonomi akan semakin mempercepat dan memperluas eksploitasi kapitaslisme global dalam hal bahan-bahan mentah tambang, minyak dan gas, serta berbagai komuditas pertanian, perkebunan dan perikanan di berbagai Negara ASEAN, khususnya Indoensia yang kaya dengan sumber daya alam. Jika tidak diantisipasi, skema Bali Concord III  akan meligitimasi  perampasan lahan, monopoli tambang dan lahan perkebunan agribisnis, monopoli rantai perdagangan dan eksploitasi yang menyedot sumber daya alam rakyat.

Di Indonesia, maka MP3EI hanya akan  mengekalkan posisi Indonesia sebagai pemasok bahan mentah, persis sama dengan posisinya sejak jaman colonial. Sebagai pemasok bahan mentah, maka rakyat Indonesia akan tetap miskin dan tidak pernah memperoleh nilai tambah. Semua keuntungan hanya dinikmati oleh modal asing dan para kompradornya yang mengambil kentungan dari kekayaan alam Indonesia. Sementara rakyat tidak mendapat apa-apa, lingkungan menjadi hancur dan sumberdaya alam terkuras habis. Tentu hal ini bentuk baru Neo-Kolonialisme. Juga semakin dipercepatnya dan diperluasnya proses liberalisasi di seluruh kawasan ASEAN, bahkan hingga ke daerah-daerah plosok yang belum terjamah modal sebelumnya.

Bali dan Tantangan Berikutnya

Liberalisasi perekonomian yang disepakati di ASEAN juga mencakup liberalisasi yang sangat luas, yakni liberalisasi perdagangan, investasi, serta finansial. Skala liberalisasi ini lebih luas daripada apa yang dirundingkan dalam WTO. Skema liberalisasi di ASEAN ini juga mendesak kebijakan di tingkat nasional untuk ikut meliberalisasi perekonomiannya. ASEAN juga menjadi pintu masuk bagi perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi ke negara berkembang  akibat krisis di negara maju.

Ekonomi pasar yang dipromosikan oleh komunitas Ekonomi ASEAN ini sangat membahayakan kehidupan masyarakat adat. Tanah-tanah adat yang kaya dengan potensi sumber daya alam, tatanan dan kearifan budaya lokal akan dieksploitasi. Tentu Bali juga tidak terhindar dari dampaknya.

Oleh sebab itu tantangan Bali kedepan adalah bagaimana menyiapkan diri untuk bernegosiasi di tingkat lokal, nasional dan international untuk mendudukan posisi  Bali seutuhnya.  Di tingkat lokal Bali, saat masih menyisakan “PR kesepahaman”  RTRW antar pemerintah provinsi dan kabupaten, termasuk  rencana infrasturktur yang cendrung “mengingkari” regulasi serta tidak selaras dengan potensi alam Bali, sebutlah pemanfatan lahan, air bersih, energy dan lain sebagainya.  Belum lagi mekanisme hubungan pemerintahan pusat dan daerah, yang menuntut adanya percepatan dan kualitas pelayanan publik yang semakin berkualitas.

Sementara ditingkat industri, pengusaha Bali  sebagian besar termasuk golongan menengah, kecil dan mikro, tentu membutuhkan perhatian yang lebih serius, baik aspek permodalan, SDM maupun teknologi, sebelum dihadapkan pada mekanisme pasar terbuka. Bisa-bisa SDM Bali kalah saing dengan pekerja asing. Model-model pengembangan ekonomi kreatif yang bertumpu pada potensi lokal harus disiapkan sejak dini.

Dan yang belum menjadi perhatian serius dalam KTT ASEAN kali ini adalah posisi dan hak-hak masyarakat adat. Bukan hanya di Bali, Indonesia dan negara ASEAN lainnya masih kental dengan komunitas adatnya. Hak-hak masyarakat adat adalah bagian dari hak asasi manusia dan keadilan sosial. Jika tidak ada pengakuan secara khusus atas hak-hak masyarakat adat terutama hak-hak kolektifnya atas sumber daya alam, maka tujuan pembangunan komunitas ASEAN 2011 mustahil tercapai, karena menghilangnya satu elemen komunitas ASEAN, yaitu masyarakat adat ASEAN.

Dan bagi Bali, yang perekonomiannya bertumpu pada talenta lokal yaitu; adat dan budaya, tentu hal ini akan menjadi ancaman serius kedepannya, terutama dalam pemanfataan lahan, transportasi, kependudukan, persaingan tenaga kerja dan regulasi di tingkat daerah.

 

Made Nurbawa

Mantan Aktivis Lingkungan