anakmarah - Copy

Pekanbaru (Metrobali.com)-

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indonesia mengatakan bahwa banyak sebab anak-anak menjadi nakal sehingga tidak bisa ditimpakan kesalahan pada perempuan yang berkarir di luar rumah.

“Banyak sebab yang mempengaruhi anak menjadi nakal, sedangkan pengasuhan dan merawat anak juga menjadi tugas, tanggungjawab laki-laki di dalam rumah tangga,” kata Ninik Rahayu, Komisioner Komnas Perempuan Indonesia, dalam surat elektroniknya diterima Antara Riau, Sabtu (6/12).

Ia mengatakan itu terkait usulan “merumahkan perempuan” dengan memulangkan lebih cepat dua jam oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla berkaitan dengan harapan untuk meningkatkan kualitas generasi muda.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Yuddi Chrisnandi menyetujuinya guna menciptakan keluarga yang harmonis.

Bahkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama mengusulkan pemindahan lokasi kerja dekat rumah sebagai jalan keluar yang lebih baik.

Menurut Ninik, pembakuan peran pengasuhan pada perempuan, merugikan perempuan, anak dan juga laki-laki. Di sisi lain, kebijakan serupa ini akan meminggirkan perempuan di dunia kerja sebab ia akan dipandang sebagai tenaga kerja yang tidak kompetitif dan tidak produktif.

Ini semua, katanya lagi, menyebabkan perempuan memikul beban berlipat ganda di dalam dan di luar rumah.

“Artinya, dengan merumahkan perempuan untuk alasan pengasuhan ini merupakan langkah mundur dalam upaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan,” katanya.

Padahal, katanya lagi, pemerintah dapat mengusulkan berbagai perbaikan fundamental jika kebijakan dirumuskan melalui pengujian yang cermat dan tuntas. Seperti meningkatkan kualitas generasi muda, misalnya, perombakan sistem pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.

Di samping itu ketersediaan infrastruktur kota ramah anak, pusat-pusat pengetahuan, aktivitas dan kreativitas anak muda punya andil dalam hal ini.

Keluarga yang harmonis perlu dibina dengan pendidikan pranikah yang membangun pemahaman kesetaraan gender dan bekerja sama dalam tanggung jawab pengasuhan anak dan merawat keluarga berpengaruh dalam mencegah terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga.

“Waktu cengkrama dengan keluarga bagi kedua orang tua dapat bertambah secara substantif ketika infrastruktur transportasi menjadi lebih baik sehingga waktu dan energi tidak terbuang percuma saat pergi dan pulang kerja akibat waktu tempuh yang panjang karena macet atau waktu tunggu transportasi publik yang juga dinaiki dalam kondisi berdesakan,” katanya.

Ia memandang pemerintah juga perlu menyediakan tempat penitipan anak (daycare) agar orang tua dapat bekerja dengan tenang, serta penyediaan ruang laktasi, sebagai upaya pelaksanaan UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Pemerintah harus mempertimbangkan waktu cuti berbayar yang lebih panjang untuk ibu yang hamil dan melahirkan serta suami yang mengambil cuti pengasuhan anak.

“Usulan merumahkan perempuan mendasarkan diri pada pemikiran yang kolot dan kaku tentang peran perempuan, sebagaimana dikukuhkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perempuan dikerangkeng untuk menjadi ibu sebagai tugas utama dan menjadi pendamping suami,” katanya.

Oleh karena itu, perempuan bekerja dianggap sebagai sekedar pencari nafkah tambahan, yang akibatnya tidak dihargai serupa dengan pekerja laki-laki dan juga keberhasilannya dinilai dengan mempertanyakan perannya sebagai ibu dan istri di saat bersamaan.

Ini semua menyebabkan perempuan memikul beban berlipat ganda di dalam dan di luar rumah, akan tetapi tidak seharusnya perempuan dengan karier kerap dituding sebagai penyebab anak nakal atau suami berpoligami. AN-MB