Presiden Joko Widodo memeriksa pasukan dalam upacara HUT Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-72 di Dermaga Indah Kiat Cilegon. (Foto ilustrasi).

Komisi Nasional hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak rencana Presiden Joko Widodo membentuk Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengatasi terorisme.

Dalam jumpa pers di kantornya, Kamis (8/8), Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menjelaskan pelibatan TNI dalam pencegahan dan pemulihan serangan terorisme merupakan hal yang tidak boleh dilakukan TNI dan dapat mengancam demokrasi. Dia menegaskan pelibatan TNI semacam itu melanggar Undang-undang TNI dan Undang-undang Penanganan Terorisme.

“Apalagi menggunakan skema teritorial, itu nggak boleh. Itu bukan pekerjaan milik TNI. Di mana-mana di negara yang demokratis, itu bukan pekerjaannya militer. Itu pekerjaannya polisi dan aktor-aktor lain yang memang punya kemampuan untuk menangkal radikalisme. Lebih penting guru daripada TNI dalam konteks pencegahan radikalisme,” kata Anam.

Anam menambahkan lebih penting ahli kejiwaan ketimbang TNI dalam konteks pemulihan sehabis serangan teroris. Juga lebih penting kiai dibanding TNI dalam konteks melawan doktrin-doktrin keagamaan yang keras.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (tengah) dalam jumpa pers di kantornya, Kamis (8/8). (Foto: VOA/Fathiyah)
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (tengah) dalam jumpa pers di kantornya, Kamis (8/8). (Foto: VOA/Fathiyah)

Presiden Joko Widodo saat ini sedang menyusun rancangan peraturan presiden untuk melibatkan TNI dalam menangani terorisme. Rancangan peraturan presiden tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI.

Dalam Peraturan Presiden itu, Joko Widodo mengesahkan pembentukan Komando Operasi Khusus TNI yang salah satu tugasnya melakukan pencegahan, penindakan dan pemulihan aksi terorisme.

Melibatkan TNI dalam menangani terorisme, menurut Anam, mengisyaratkan paradigma lama akan tumbuh kembali.

“TNI mau masuk dalam semua lini kehidupan kita, kehidupan demokratis dan kehidupan penegakan hukum. Itu melanggar konstitusi, itu melanggar Undang-undang TNI sendiri. Itu yang paling bahaya,” ujar Anam.

TNI, kata Anam, hanya boleh dilibatkan dalam menangani terorisme pada konteks penindakan namun skalanya, jenis tindakan, dan batasan waktunya, harus jelas. Tidak boleh permanen. Dia menegaskan, TNI tidak boleh dilibatkan dalam konteks pencegahan, kontra radikalisme, dan pemulihan.

Mengenai anggaran TNI, Anam menekankan sejak reformasi, pendanaan untuk TNI hanya boleh melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sumber anggaran TNI dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pun tidak boleh. Kalau pendanaan boleh dari mana saja maka akan terjadi ketimpangan dalam TNI dan TNI sulit untuk menjadi profesional.

Kalau Presiden Joko Widodo nekat menandatangani peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam menangani terorisme, menurut Anam, masyarakat tidak boleh disalahkan kalau menggugat hal tersebut. Juga jangan menyalahkan jika ada tuduhan Presiden Joko Widodo tidak demokratis, presiden yang jauh dari gagasan bagaimana membangun TNI yang profesional, presiden yang jauh dari ide membangun negara yang tunduk pada doktrin-doktrin hukum.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi enggan mengomentari penolakan Komnas HAM. Menurutnya, TNI akan tetap menjalankan apa yang diputuskan presiden. Dalam menjalankan tugas, kata Sisriadi, TNI melakukanya dengan sangat terukur dan hati-hati, dan juga sesuai dengan aturan yang ada.

“Terserah kalau mereka punya alasan, silakan saja. Tugas kita menyelamatkan negara tidak boleh, menjaga kedaulatan tidak boleh, tugas kita menjaga keutuhan negara, tidak boleh, jadi yang boleh yang mana?” ujar Sisriadi. (fw/ka)