Berikut komentar saya terkait tulisan Sdr. Nyoman Wijaya yang dimuat Bali Post Kamis (18/7) berjudul “Hak Jawab atas Artikel Widminarko”.

1.     Sdr. Nyoman Wijaya menulis di buku “Menerobos Badai Biografi Intelektual Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus” penggranatan Fakultas Sastra terjadi 20 Mei 1966. Katanya tanggal itu dikutip dari tulisan di Tokoh 18-24 November 2003. Coba Sdr. Wijaya cek lagi Tokoh atau klipingnya, dalam tulisan Love Story Asmariani-Bawa itu tidak disebutkan tanggal 20 Mei 1966 terjadinya penggranatan. Yang ditulis tanggal, bulan dan tahun Wayan Bawa dibebaskan dari tahanan yakni 20 Mei 1968. Bunyi kalimatnya: “Terdakwanya seorang pemuda asal Peguyangan (Denpasar Barat). Ia dipidana hakim karena telah terbukti melemparkan granat di serambi Fakultas Sastra. Setelah hampir 2 tahun, tepatnya 20 Mei 1968, Bawa dan teman-temannya yang memang tidak bersalah, baru dibebaskan dari tahanan”. Kejadiannya yang benar 13 Juli 1966 malam. Setelah mendapat informasi terjadinya penggranatan, esok harinya, 14 Juli 1966, saya datang ke tempat kejadian bersama Sdr. Wayan Sayun (kami berdua wartawan Suluh Marhaen Edisi Bali). Sdr. Sayun menulis beritanya di Suluh Marhaen 15 Juli 1966 berjudul “Granat Meledak di Fak. Sastera – Surat dan Peluru Diketemukan”.

2.      Tentang mengapa terpidana 5 tahun I Gusti Gde Rai Weda Adnyana tidak disebut-sebut dalam tulisannya, Sdr. Wijaya menulis, sumbernya hasil wawancara dengan Prof. Dr. I Wayan Bawa 30 Agustus 2003. Saya tidak mempersoalkan apa dan siapa sumber informasinya, yang saya koreksi tulisan Sdr. Wijaya yang terbaca dalam buku itu. Pelaku penggranatan yang dihukum 5 tahun tidak ditulis. Yang ditulis malah orang-orang yang tidak pernah dihukum dengan menyatakan yang tiga orang masing-masing dihukum 3 tahun dan  delapan orang tertuduh lainnya dikenai kurungan masing-masing selama satu tahun (kapan mereka menjadi tertuduh?). Jika Sdr Wijaya membaca tulisan di Tokoh 18-24 November 2003 mestinya tahu dalam tulisan itu telah disebutkan, pemuda asal Peguyangan dipidana Hakim karena terbukti melemparkan granat. Mengapa bagian tulisan ini tidak dijadikan referensi kemudian dicek kebenarannya, siapa dia, asal Peguyangan mana, berapa hukumannya, misalnya?

3.     Memang ada pertanyaan besar yang berkembang di kalangan mahasiswa saat itu (1968) dan belum terjawab sampai sekarang. Misalnya, I Gusti Gde Rai Weda Adnyana (adik kelas saya di FS) yang sehari-hari dikenal teman-temannya sebagai pendiam itu, dari siapa mendapatkan granat. Tentang informasi yang simpang-siur juga pernah terjadi menjelang Ketut Robin menjadi Wakil Wali Kota Denpasar; ada pihak yang mempertanyakan karena dia katanya “pernah dihukum”.

4.     Sdr. Wijaya menulis, “Untuk sebuah biografi, dengan hanya menampilkan ilustrasi seperti itu, saya rasa sudah cukup. Lain halnya jika yang ditulis adalah buku Sejarah”. Apakah tulisan ilustrasi sebuah buku biografi boleh salah, boleh tidak sesuai dengan faktanya?

5.     Sdr. Wijaya mengaku menyimpan dokumentasi “surat kabar terkenal di Bali” 5 Mei 1964 hingga 31 Desember 1979. Apakah yang dimaksudkannya Suara Indonesia hingga Bali Post?  Jika demikian halnya, sebenarnya Saudara memiliki bahan bacaan lengkap yang dapat dijadikan referensi dalam penulisan peristiwa penggranatan agar tidak salah. Tidak usah dibaca semua, cukup baca edisi Juli 1966, Maret, Mei dan Juni 1968, di situ dapat dibaca fakta dalam berita-berita  tentang penggranatan FS. 

Substansi persoalan intinya adalah saya menulis artikel di Bali Post Sabtu (13/7) untuk mengoreksi tulisan Nyoman Wijaya di buku biografi Ngurah Bagus yang salah karena tidak sesuai dengan faktanya. Untuk itu saya sajikan serangkaian fakta yang saya himpun dari dokumen dan penuturan teman-teman yang pernah ditahan. Juga, saya cek kebenaran penuturan itu pada data yang disimpan Sdr. Darma Putra. Selain itu saya memang menyimpan dokumennya, bukan hanya kliping, juga koran, buku, foto-foto, fotokopi surat pembebasan, catatan saya tentang hakim, jaksa dan pengacara. Jadi saya tidak hanya tergantung pada satu sumber. Jika ada fakta yang salah dalam tulisan saya, terbuka bagi siapa pun untuk mengoreksinya termasuk Sdr. Wijaya. Jika ada, tunjukkan fakta mana yang keliru. Koreksian seperti itu sangat berguna bagi publik termasuk generasi penerus. Sebaliknya, jika Sdr. Wijaya merasa bersalah, apa tidak sebaiknya untuk menjaga kredibilitasnya sebagai penulis, diakui saja kesalahan itu secara terbuka. Publik akan acungkan jempol jika Sdr. Wijaya pun minta maaf  atas keteledorannya kepada mereka yang pernah ditulis dengan fakta yang salah itu. Sebab, hal itu menyangkut pencemaran nama baik, mengingat tulisan yang salah itu tersebar di masyarakat, seiring tersebarnya buku biografi Ngurah Bagus. Tetapi, semua itu terserah Sdr. Wijaya.                                                                                                                                                                  

Widminarko

Komentar Widminarko ini dimuat Bali Post, Jumat, 19 Juli 2013,

di rubrik Surat Pembaca, halaman 6