beras

Jakarta (Metrobali.com)-

Satu hal yang perlu dibenahi dalam struktur pasar beras yang terdapat di Indonesia adalah masih adanya sejumlah pihak yang dinilai dapat berkolusi yang implikasinya dapat mengakibatkan harga menjadi naik.

Hal tersebut dicetuskan, antara lain oleh ekonom dari IPMI International Business School Jimmy M. Rifai Gani, yang menyebutkan bahwa pasar komoditas beras di Indonesia dinilai bermasalah karena bersifat oligopolistik yang berarti dikuasai beberapa pedagang besar.

“Jika pemain beras berskala besar ini berkolusi dan menahan distribusi beras ke masyarakat, otomatis pasar akan terpengaruh. Harganya bisa naik signifikan,” kata Jimmy Gani dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (24/2).

Menurut dia, pemerintah tampaknya belum perlu melakukan impor beras karena stok beras di Bulog relatif cukup untuk menstabilkan harga di pasar. Apalagi, lanjut dia, impor komoditas beras akan merugikan harga di tingkat petani dan memperlemah daya saing beras lokal.

Kalaupun mesti mendatangkan beras dari luar negeri, menurut mantan Direktur Utama PT Sarinah itu, beras yang diimpor hanya untuk keperluan tertentu dan jenis produknya tidak bisa dihasilkan di Tanah Air.

“Sarinah juga importir beras. Akan tetapi, beras yang diimpor Sarinah jenisnya khusus, seperti japonica rice asal Jepang untuk pasar terbatas. Beras ini berbeda dengan yang dikonsumsi masyarakat umum dan jenisnya tidak ada di Indonesia,” paparnya.

Sebagaimana dilaporkan, harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang sempat menyentuh Rp12 ribu per kilogram, padahal hitungan Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog seharusnya dijual Rp7.400,00/kg.

Pemerintah akan memberantas mafia beras. Pasalnya, saat ini harga kebutuhan pokok masyarakat tersebut terus mengalami kenaikan mencapai 30 persen kendati operasi pasar telah dilakukan sejak Desember 2014.

“Mafia beras itu ada dan harus diberantas, itu harus kita lakukan. Kita harus lawan dan harus kita bersihkan,’ kata Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dalam jumpa pers di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (20/2).

Kecurigaan tersebut, lanjut Rachmat, akibat masuknya beras Bulog, khususnya di Pasar Induk Beras Cipinang, dalam waktu beberapa hari terakhir yang mencapai 1.800 ton, sementara dari gudang Bulog sendiri tidak ada pengiriman.

Pemerintah pada bulan Desember 2014 sampai dengan Januari 2015 telah melakukan operasi pasar, kurang lebih sebanyak 75.000 ton beras Bulog disalurkan namun masih belum bisa menurunkan harga kebutuhan pokok tersebut.

Pada bulan Februari 2015, pemerintah akhirnya menurunkan satgas untuk segera mendistribusikan beras Bulog langsung ke tengah masyarakat melalui 12 titik pasar rakyat dan 50 titik permukiman di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

“Kami menggunakan satgas karena langsung ke tengah masyarakat. Karena saat dilihat, skenario dengan menggunakan sebelumnya kurang efektif, apakah sistemnya harus diubah? Kita akan audit sistem yang ada selama ini,” kata Rachmat.

Intervensi Merata Sementara itu, intervensi yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kenaikan harga beras dinilai perlu dilakukan secara merata di seluruh daerah sehingga dampak yang ditimbulkan juga dapat menyeluruh ke seluruh Tanah Air.

“Operasi pasar telah dilakukan Bulog. Akan tetapi, belum dapat secara efektif melakukan intervensi terhadap pasar karena tidak merata,” kata anggota DPR RI Rofi Munawar.

Menurut dia, pemerintah juga perlu menemukan segera penyebab utama dari kenaikan harga beras yang telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama atau sekitar satu bulan terakhir ini.

Apalagi, lanjut dia, kenaikan pada komoditas beras tersebut dinilai banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak terkait dengan produksi secara langsung, seperti biaya transportasi dan logistik.

Untuk itu, dia juga menginginkan pemerintah juga dapat lebih mengoptimalkan peran Bulog guna meningkatkan penyerapan hasil panen petani seperti pada masa panen raya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menegaskan bahwa pemerintah perlu tegas dan serius guna menindak sejumlah pihak yang mengakibatkan polarisasi distribusi yang tidak sehat sehingga berpotensi disebut mafia beras.

Tidak hanya di tingkat anggota legislator, Ketua DPR RI Setya Novanto juga mendukung pemerintah memberantas mafia beras karena menyangkut kepentingan masyarakat dengan mengerahkan para anggota Polri untuk mengawasi para tengkulak.

“Kami sudah minta pihak kepolisian untuk langsung terjun melihat adanya tengkulak-tengkulak melakukan hal penyimpanan sekarang. Mudah-mudahan bisa selesai,” kata Setya di DPR, Jakarta, Jumat (27/2).

Setya menyatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah dan kepolisian menindak berbagai pihak melakukan penimbunan beras seperti yang disebut Menteri Perdagangan Rachmat Gobel penyebab harga beras mahal, yakni permainan mafia beras.

Ia menilai masalah beras menyangkut kehidupan masyarakat sehingga jangan sampai ada mafia beras dalam pola distribusinya.

“Kami benar-benar prihatin sehingga para mafia harus diberantas,” ujarnya.

Investasi Besar-besaran Sementara itu, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai investasi beras secara besar-besaran dapat meningkatkan produksi beras sekaligus mengatasi melambungnya harga komoditas tersebut.

“Kami akan dorong anggota kami untuk masuk di beras. Solusinya harus ada investasi dan industrilisasi beras,” kata Ketua Hipmi Bahlil Lahadahlia dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (24/2).

Menurut Bahlil, pada saat ini terdapat ketidakseimbangan antara sisi pasokan dan sisi permintaan beras di Tanah Air yang menimbulkan krisis beras yang harus diatasi secara sistematis agat tak terulang.

Ia menyoroti bahwa sejumlah analisis yang dicetuskan sejumlah pakar dan pengambil kebijakan masih luput dalam melihat faktor demografi yang berkembang di Indonesia.

“Bayangkan sebagian besar dari penduduk (Indonesia) memasuki usia produktif. Pada tahun 2018, kita masuk era bonus demografi. Pada usia tersebut bisa dibayangkan konsumsi pangannya seperti apa? Beras masih menjadi sumber utama pangan kita,” ujarnya.

Bahlil memaparkan pada tahun 2020 jumlah penduduk usia produktif di Indonesia mencapai 2/3 dari total jumlah penduduk sehingga kebutuhan pangan ke depan akan meningkat tajam.

Setiap 100 tahun, kata dia, penduduk Indonesia naik lima kali lipat. “Seratus tahun lagi, kita sudah satu miliar jiwa. Kita harus pikirkan mulai sekarang bagaimana memberi makan anak cucu kita,” katanya.

Di sisi lain, Bahlil mengingatkan bahwa lahan pertanian makin sempit dan infrastruktur irigasi terbengkalai sehingga membuat para petani tidak tertarik lagi memanfaatkan lahannya untuk menanam padi.

Untuk itu, menurut dia, dibutuhkan modal yang besar serta investasi agar industri yang membuka lahan-lahan baru untuk persawahan. “Kita harus membantu petani yang kapasitas dan modalnya sangat kecil,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan tidak perlu ada kebijakan impor beras untuk mengatasi melambungnya harga kebutuhan pokok itu karena panen besar beras akan segera datang.

“Tidak perlu impor pada dewasa ini karena bulan Maret sudah bulan panen besar. Jadi, kalau mengimpor pada bulan panen, kasihan petaninya,” kata Jusuf Kalla dalam rapat koordinasi penanaman modal di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jakarta, Selasa (24/2).

Wapres menekankan bahwa harga beras yang belakangan melambung disebabkan oleh pasokan yang berkurang akibat musim paceklik, bukan oleh mafia.

Menurut Wapres, stok beras di Perum Bulog saat ini mencapai 1,4 juta ton. Jumlah tersebut, belum ditambah dengan stok dari pedagang dan petani.

Dengan tambahan hasil panen besar yang diperkirakan sudah bisa dimulai Maret hingga Mei mendatang, Jusuf Kalla optimistis harga beras bisa turun lagi. Dia bahkan mengatakan hingga Mei Bulog diprediksi akan memiliki stok hingga 3.000.000 ton beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Bulan ini saya suruh (Bulog) keluarkan 400.000 ton beras. Kalau masih kurang lagi, kita keluarkan 500.000 ton. Karena bulan depan sudah panen, jadi akan ditambah panen. Jangan khawatir soal beras,” katanya. AN-MB