Denpasar (Metrobali.com)-

Tanpa publikasi yang luas pada awalnya, pemerintah akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan pada akhir tahun lalu. Regulasi ini sontak mendapat respon yang luas, termasuk penolakan dari kalangan petani tembakau. Bahkan aksi unjuk rasa penolakan itu sudah dilakukan di sentra penghasil tembakau di Temanggung, Jawa Tengah, pada Sabtu (12/01) dan Selasa (15/01) lalu.

Atas nama kesehatan, yang sebenarnya masih diperdebatkan, pemerintah telah mengesampingkan dampak instabilitas yang akan muncul dari pengesahan itu. Kenyataannya regulasi itu tidak hanya mengatur soal kesehatan, namun lebih jauh lagi masuk ke dalam ranah pengaturan tata niaga atau industri tembakau.

Kami dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Bali dan Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) MENOLAK Peraturan Pemerintah tersebut karena imbasnya terhadap petani tembakau. Hal itu dikatakan, A Zulvan Kurniawan. Koordinator KNPK, pada siaran persnya, Kamis (17/1).

Salah satu bukti nyata imbas itu adalah pada prediksi jumlah pembelian tembakau musim panen 2013. Biasanya bulan Januari ini pabrikan/industri rokok sudah mengeluarkan kuota/rencana angka pembelian tembakau dari petani. PP 109/2012 itu membuat pabrikan tidak berani mengeluarkan kuota tersebut, karena mereka belum mengetahui dampak langsung yang akan terjadi dari regulasi ini terhadap industri mereka.

Jelas bahwa kekhawatiran pabrikan itu telah melahirkan keresahan yang lebih luas di kalangan petani. Belum keluarnya rencana angka pembelian atau kepastian membeli dari pabrik, membuat petani saat ini bertanya-tanya, apakah mereka harus tetap menanam tembakau? Berapa banyak tembakau itu harus ditanam? Dan apakah itu akan terbeli ketika musim panen nanti? Akhirnya, bagaimana kelanjutan kehidupan petani tembakau?

Lebih jelas isi PP 109/2012 yang merusak tata niaga dan mengancam petani tembakau adalah sebagai berikut :

* Pasal 7 tentang diversifikasi produk dari tanaman tembakau

  • Pasal 12 tentang larangan penggunaan tambahan pada produk rokok, termasuk di dalamnya standarisasi bahan baku dan produk tembakau
  • Pasal 14 s/d 22 tentang peringatan kesehatan berupa gambar di kemasan rokok
  • Pasal 24 tentang larangan pencantuman kata/kalimat yang menunjukan rasa aman dan superioritas dari sebuah produk
  • Pasal 27 s/d 31 tentang pengendalian dan larangan iklan rokok
  • Pasal 35 s/d 37 tentang larangan sponsorship dan CSR perusahaan rokok
  • Pasal 49 s/d 52 tentang Kawasan Tanpa Rokok

 

Selain pengaturan ketat terhadap tata niaga tembakau yang ujung-ujungnya akan memiliki dampak ke petani, lebih jauh kami menilai PP 109/2012 ini cacat hukum. Hasil telaah hukum yang dilakukan oleh Tim Pembela Kretek menunjukan beberapa hal terkait aspek inkonstitusional dari PP 109/2012 ini, yaitu :

 

  • PP ini adalah amanat dari Pasal 116 UU Kesehatan 36/2009. Hal ini jelas tidak tepat, karena Pasal 116 itu tidak mengamanatkan untuk menetapkan zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, tetapi hanya zat adiktif saja. Dan ini telah ditegaskan juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 66/PUU/IX/2012.
  • Dalam Pasal 8 PP 109/2012 disebutkan soal Kawasan Tanpa Rokok. Hal ini telah melampaui apa yang diamanatkan Pasal 116 UU Kesehatan. Soal KTR sudah ada di Peraturan-peraturan Daerah yang merupakan amanat Pasal 115 UU Kesehatan, sehingga tidak pada tempatnya memasukkan poin itu dalam Peraturan Daerah.

 

Jelas untuk publik ketahui betapa lemahnya regulasi ini dan sarat dipaksakan. Sehingga APTI Bali bersama APTI-APTI dari berbagai daerah di Indonesia beserta seluruh stakeholder yang terkait dalam industri ini dengan tegas menyatakan:

 

  • Menolak tegas PP 109/2012 karena jelas mengancam kehidupan petani tembakau, yang selama ini menjadi sumber kehidupan kami. Pangan, sandang, papan, pendidikan anak, kesejahteraan kami berasal dari tembakau.
  • Respon kami selanjutnya adalah pembelaan diri lewat langkah hukum (gugatan hukum terhadap PP 109/2012) dan langkah politik.

RED-MB