emrus sihombing

Jakarta (Metrobali.com)-

Sejumlah alternatif postur dan program kabinet Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) masih terus dirumuskan Tim Transisi.

Hampir saban hari opsi-opsi kementerian kabinet dibahas Tim Transisi dan pada gilirannya dilaporkan langsung kepada Jokowi melalui sebuah pertemuan di dalam sebuah rumah di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat.

Seusai pertemuan, biasanya, baik Jokowi maupun deputi Tim Transisi menyampaikan hasil pertemuan kepada awak media. Pada bagian ini lah kesempatan bagi media mengawal dan menginformasikan bagaimana sebuah kabinet baru akan dibentuk.

Menurut pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing, perumusan alternatif postur kabinet yang dilakukan tertutup oleh Tim Transisi, menimbulkan spekulasi adanya “king maker” (penentu keputusan) yang bekerja di balik panggung politik pembentukan kabinet Jokowi.

“Bisa jadi pembentukan kementerian dan susunan kabinet tidak hanya digodok oleh Tim Transisi. Realitas politik yang sesungguhnya ada di belakang panggung politik, dan mereka yang berpikir, merencanakan dan bekerja di belakang panggung politik biasanya tim inti yang sangat solid dan menjadi ‘king maker’ di partai politik pengusung Capres-Cawapres,” ujarnya.

Emrus mengatakan sangat mungkin para “king maker” menyusun postur kabinet dan menyodorkannya kepada Tim Transisi. Kemudian Tim Transisi mengusulkannya kepada Jokowi-JK.

Dengan demikian, Tim Transisi menjadi panggung politik yang berada di antara “king maker” dan hal-hal yang diekspos media.

“Namun proposisi itu perlu diuji untuk ditolak atau diterima.” katanya.

Emrus mengatakan sepanjang Tim Transisi tidak melibatkan publik secara terbuka dalam menyusun bidang kementerian, maka tidak heran publik akan menilai Tim Transisi menjadi eksklusif. Bahkan pada bagian lain Tim Transisi dinilai bisa menimbulkan kejengkelan bagi kader dari semua partai pengusung Jokowi-JK.

Seharusnya, kata dia, Tim Transisi melibatkan publik, sebab konsep yang mereka buat baru sebatas masukan kepada Jokowi-JK, dan bukan menjadi keputusan tentang susunan kabinet.

“Kalau publik dilibatkan, partisipasi publik dipastikan menjadi tinggi pada pemerintahan Jokowi-JK. Lagipula, Jokowi-JK selalu mendorong partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahannya lima tahun ke depan,” ujar dia.

Emrus sendiri mengaku belum dapat melihat secara jernih apa keunggulan dan kelemahan susunan kabinet Jokowi-JK lantaran belum ada pernyataan resmi dari pihak Jokowi-JK ihwal bidang-bidang kementerian yang definitif, dalam rangka mewujudkan janji politik yang disampaikan pada kampanye Pilpres.

Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih, kata dia, seharusnya mewacanakan secara tebuka kepada publik tentang bidang-bidang kementerian yang ada dalam pemerintahannya.

Dengan demikian, publik dapat turut serta memberikan pandangan tentang hal tersebut secara terbuka, sehingga dapat dibahas perlu atau tidak bidang kementerian tertentu. Termasuk memperbincangkan perlu tidaknya penggabungan kementerian yang sudah eksis sekarang.

Selain itu, ujarnya, publik juga bisa mengusulkan pembentukan kementerian tertentu yang belum ada pada pemerintahan sekarang, seperti Kementerian Pengelolaan Maritim dan Pulau Terluar, atau mengganti fungsi kementerian misalnya Kementerian Agama menjadi Kementerian Kerukunan Umat Beragama yang fungsinya mengurusi kerukunan bukan mengurusi agama.

“Jadi tidak hanya digodok di Rumah Transisi, seperti yang terjadi saat ini,” cetus dia.

Emrus menekankan sepanjang penggodokan penyusunan kabinet Jokowi-JK dilakukan di ruang privat seperti di Rumah Transisi, atau di tempat lain yang hanya melibatkan elit utama partai, akan sangat sulit bagi rakyat mengetahui dasar-dasar penyusunan kabinet.

Dia mengatakan secara akademis, apabila penyusunan kabinet terjadi di ruang privat, maka penentuan kabinet lebih mengutamakan politik transaksional. Sebaliknya, bila penyusunan kabinet terjadi di ruang publik, maka penentuan kabinet lebih mengutamakan integritas, professional dan kapabilitas.

“Sebab, jika komunikasi politik terjadi di ruang publik maka sifat komunikasi lebih terbuka, sedangkan jika komunikasi politik terjadi di ruang privat maka komunikasi lebih tertutup bahkan cenderung membohongi rakyat,” tegas dia.

Emrus mencontohkan salah satu upaya penyusunan kabinet yang terbuka bisa dilakukan dengan melakukan lelang jabatan menteri.

“Misalnya untuk menghindari mafia migas dan dana kesejahteraan rakyat, maka kabinet yang duduk di kementerian bidang Ekuin dan Kesra dilakukan lelang jabatan seperti yang dilakukan Jokowi di pemerintahan DKI,” papar dia.

Penentuan Postur Kabinet Emrus memandang penentuan postur kabinet hendaknya tidak berdasarkan istilah perampingan, karena cenderung dapat dimaknai bahwa penyusunan kabinet lebih mengutamakan pengurangan jumlah kementerian untuk tujuan efisiensi.

Padahal, menurut dia, efisiensi pembentukan kementerian seharusnya berdasarkan pencapaian kesejahteraan masyarakat, bukan persoalan penentuan jumlah kementerian.

“Kalau diperlukan jumlah kementerian yang lebih banyak dari yang sekarang, tetapi kesejahteraan masyarakat meningkat signifikan, maka hal tersebut jauh lebih efisien daripada sekedar pengurangan jumlah kementerian,” kata dia.

Dia menilai pengelolaan pemerintahan tidak boleh hanya berdasarkan angka jumlah kementerian karena dapat menyesatkan. Jokowi dinilai lebih baik mewacanakan bidang kementerian yang sangat diperlukan untuk membangun berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara seperti pertahanan keamanan, pertumbuhan ekonomi, melepaskan setiap rakyat dari rasa ketakutan akibat ulah sesorang atau sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu, kebebasan melakukan ibadah agama dan sebagainya.

“Penentuan jumlah pembentukan kementerian hanya berdasarkan kuantitatif, misalnya 34 kementerian, merupakan pemikiran yang keliru. Bahkan dapat menimbulkan spekulasi politik bahwa penetapan jumlah tersebut seolah membagi-bagi jatah kementerian kepada partai pendukung Jokowi-JK,” nilai dia.

Jika itu terjadi, maka kementerian Jokowi-JK menurut dia, tidak berbeda dengan kabinet SBY yang sangat kental dengan penjatahan kepada partai koalisi. Akibatnya, kementarian menjadi ATM partai.

“Buktinya, sudah tiga menteri SBY yang bermasalah pada periode kedua pemerintahannya. Artinya, orientasi pada jumlah kementerian lebih banyak menimbulkan kelemahan bagi pemerintahan Jokowi-JK ke depan,” kata dia.

Sementara itu lembaga antirasuah Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengingatkan kepada Presiden terpilih Joko Widodo untuk menghindari praktik “politik dagang sapi” atau bagi-bagi kekuasaan dalam menentukan postur kabinet pemerintahannya.

“Kabinet Jokowi posturnya harus disesuaikan dengan visi yang akan dijalankan, bukan didasari oleh ‘politik dagang sapi’,” kata Koordinator ICW Ade Irawan.

Ade menekankan, berapa pun jumlah kementerian dalam kabinet Jokowi-JK nantinya tidak boleh diperhitungkan berdasarkan pembagian kursi bagi kelompok kepentingan.

Sebaliknya, sebesar apapun postur kementerian Jokowi, asalkan didasari kebutuhan visi program Jokowi-JK, maka ICW tidak akan mempersoalkannya.

“Kalau visi Jokowi-JK nanti mendorong perampingan kabinet, atau ada penggabungan kementerian dan sebagainya, itu teknis saja, yang penting disesuaikan tujuan pemerintahannya. Orang yang bekerja di kementerian yang dirampingkan juga bisa dipindahkan ke tempat lain, atau kalau menolak bisa ditawarkan pensiun dini,” ujar dia.

Selebihnya terkait transparansi, Ade menilai sejauh ini pembentukan kabinet Jokowi-JK sudah mulai transparan yang diindikasikan dengan adanya partisipasi publik dalam mengusulkan nama-nama menteri yang bisa dipertimbangkan Jokowi untuk masuk kabinetnya.

Namun demikian dia mengatakan publik saat ini tetap harus mengawal pembentukan kabinet Jokowi, agar penentuan posturnya benar-benar tidak mendapat tekanan dari pihak luar.

Sejauh ini Tim Transisi telah membahas sejumlah opsi postur kabinet Jokowi-JK. Salah satu yang sempat mengemuka terkait tiga alternatif kementerian koordinator di kabinet mendatang.

“Kementerian koordinator akan tetap ada, tetapi ada tiga alternatif pilihan,” ujar Deputi Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla, Andi Widjajanto.

Dia menjabarkan alternatif pertama, akan tetap sama dengan kementerian koordinator yang ada saat ini, yang terdiri dari Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Kemananan.

Alternatif kedua, disusun berdasarkan pilar trisakti yakni Kementerian Koordinator Politik, Kementerian Koordinator Ekonomi Berdikari, serta Kementerian Koordinator Kebudayaan.

Sedangkan opsi ketiga yakni kabinet Jokowi tanpa kementerian koordinator, sehingga fungsi koordinasi seluruh kementerian akan dipegang langsung oleh presiden dan wakil presiden.

Jokowi bersama Tim Transisi juga telah membahas opsi postur kabinet berisi 34 kementerian. Dari opsi ini Jokowi bersama Tim Transisi mengkaji mana saja kementerian eksis, yang bisa dan tidak bisa dileburkan atau dihilangkan. AN-MB