Denpasar (Metrobali.com)-

 Banyak orang yang berusaha terlihat peduli lingkungan dengan menaman beberapa bibit pohon mangrove, esoknya sudah muncul di koran atau televisi. Hal ini dijelaskan AA Ariawan Ketua Karang Taruna Pemogan di Taman Hutan Raya (Tahura) Suwung Kepaon, Sabtu 11 Mei 2013, “Setelah itu, orang orang itu tidak datang lagi kemari. Tidak peduli lagi dengan Tahura dan masyarakat di sekitarnya.”

Ariawan menyesalkan akhir akhir ini hutan mangrove hanya menjadi lahan pencitraan, seolah olah yang menaman mangrove sudah jadi pahlawan lingkungan, “Kami yang ada di sebelah hutan mangrove hanya bisa membaca atau menonton lewat media massa hiruk pikuk soal mangrove. Tapi mana bukti nyata pelestarian yang sesungguhnya.”

Ariawan menunjukan kondisi Tahura terakhir, “Memang terlihat masih subur. Tapi ini seperti bom waktu, pohon pohon ini akan segera mati.” Menurut Ariawan, yang merupakan warga banjar Sakah  Pemogan, sudah terlalu banyak sampah plastik di dalam rawa rawa dimana pohon mangrove tumbuh, “Lihat di sebelah itu. Pohon pohon mangrove sudah kering dan segera mati.”

Karena itu, Ariawan yang didampingi beberapa tokoh masyarakat menyerukan untuk segera menyelamatkan mangrove, “Tentu bukan dengan koar koar di media, tapi datang kesini dan bicara bersama warga disini.”

Penyelamatan pertama kata alumnus Fakultas Tehnik Universitas Udayana ini adalah bagaimana mengeluarkan plastik plastik itu dari dalam hutan, “Tapi ini bukan urusan kami sebagai warga disini. Tapi urusan pemerintah, khususnya departemen kehutanan.”

Kedua adalah dengan memblokir masuknya sampah plastik lewat sungai sungai yang ada, “Ini juga tugas pemerintah, khususnya pemerintah kota Denpasar. Tahura saat ini tak bedanya dengan Tempat Pembuangan Akhir sampah plastik tersebut. Tapi sampai saaat ini, walau sudah berganti beberapa kali Walikota belum ada programnya.”

Ketiga, adalah melarang orang buang sampah, khususnya plastik ke sungai. Karena Suwung adanya di hilir, tentu yang buang sampah di hulu, “Siapa mereka. Saudara saudara kita yang ada di Kota Denpasar.”

Ariawan menjelaskan, desa dinas Pemogan memiliki 3 desa adat, yaitu Desa Pakraman Pemogan, Desa Pakraman Kapaon dan Kampung Islam Kepaon. Ada 17 banjar di desa Pemogan. Sedangkan yang dekat dengan Tahura adalah banjar Rangkan, Sakah dan Kajeng, yang terdampak langsung dengan adanya Tahura.

Saat ini, warga di tiga banjar ini tidak bisa mendapat manfaat dari Tahura, dulu kita bisa dapat udang dan kepiting, sekarang tidak ada lagi karena ekosistemnya sudah rusak oleh sampah, “Dulu janjinya ada pariwisata hutan mangrove, tapi buktinya tidak ada. Kalau sekarang akan ada, bagi kami tidak ada masalah. Itu urusan departemen kehutanan dengan pengusaha. Yang terpenting adalah, warga kami diberi pekerjaan apapun usaha yang akan dibuat.”

Ariawan minta segera ada upaya jelas untuk menyelamatkan hutan mangrove dan memberi kehidupan yang lebih jelas pada warga di sekitarnya. “Buktinya hutan di Bedugul bisa, kenapa di sini tidak. Yang terpenting hutannya tetap lestari, ada turis datang dan warga di sekitarnya bisa membuat usaha sebagai penunjang aktivitas pariwisata ini.”

Laki laki yang getol membela warganya ini, menambahkan bahwa warga yang dekat dengan hutan mangrove tidak punya sawah, dulu sempat bekerja di tambak tambak sebelum kawasan ini di reboisasi, saat hutan mangrove ada tidak ada lagi kesempatan bekerja, “Ini ironis, di kiri kanan kami, Kuta dan Sanur jadi kawasan wisata dan masyarakatnya makmur. Kami yang ada di tengah tengah tidak bisa berbuat apa apa, yang ada hutan mangrove, tapi tidak bisa memberi manfaat apa apa pada kami.”

Ariawan mengajak semua pihak duduk bersama, mendiskusikan kondisi ini, “Siapa yang peduli, ayo datang pada kami. Mari bicarakan hal ini dengan pikiran jernih, jangan sepotong sepotong. RED-MB