Realita perdagangan manusia di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa dikatakan telah sampai pada kategori bencana kemanusiaan.

Dengan menyeruaknya sejumlah kasus yang menyita perhatian publik belakagan ini, menjadi indikasi logis adanya transaksi bisnis kemanusian di NTT.

Media-media di Kupang, NTT, akhir-akhir ini juga kembali mengangkat kasus kemanusiaan, yang mana masalah ini sudah bisa disebut bukan hanya isu nasional, tetapi internasional.

Di bulan Januari 2015, dalam satu pekan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) berhasil mengagalkan pengiriman 38 calon tenaga kerja indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar NTT dengan tidak membawa dokumen-dokumen asli.

Dengan jumlah yang demikian, hal tersebut menunjukkan betapa maraknya perdagangan manusia berkedok TKI yang terjadi di NTT. Bahkan dari jumlah tersebut diketahui adanya anak di bawah umur atau berusia di bawah 18 tahun yang seharusnya berada di bangku sekolah.

Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) El tari Kupang Kolonel Pnb Andi Wijaya saat ditemui pada Selasa, (27/1) mengatakan pemberantasan kasus perdagangan manusia sudah merupakan gugus tugas dari TNI AU.

“Semenjak kedatangan saya, telah saya ajarkan dan sampaikan kepada anggota saya agar mulai memeranggi perdagangan manusia yang marak terjadi di NTT,” katanya.

Oleh karena itu untuk membuktikan kebaktiannya kepada masyarakat NTT, pihaknya terus melakukan razia di Bandara El Tari untuk mengetahui adanya gerak-gerik pelaku perdagangan manusia dengan menggunakan modus pengiriman TKI.

Ia sendiri menilai kerja sama yang terjalin kembali akhir-akhir ini antara Badan Pelayanan Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) dengan Satuan Tugas (Satgas) Perdagangan Manusia Kepolisian Daerah NTT sejauh ini berjalan dengan baik.

Hal tersebut terbukti dengan adanya pengungkapan pasangan perekrut calon TKI ilegal yang telah melakukan aksinya semenjak 2012.

Kasus ini pernah terkuak ketika ada penyekapan 26 tenaga kerja wanita (TKW) di sarang burung walet di Medan, Sumatra Utara dan ditemukannya 302 TKI ilegal asal NTT oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) di Tangerang Selatan pada September 2014.

Selain itu ditemukannya 21 anak di bawah umur asal NTT yang telah siap untuk diperdagangkan ke Malaysia di Batam dan Mataram.

Hal ini menjadi perhatian khusus dari Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Anti-Perdagangan Manusia (Amasiaga) Pater Paul Rahmat di Kupang. Pertengahan bulan lalu ia mengatakan dari semua provinsi di Indonesia, NTT merupakan provinsi yang berada di urutan pertama kasus perdagangan manusia.

Melihat kasus itu di NTT yang dinilainya semakin mewabah, Amasiaga dalam pertemuan dengan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny F. Sompie di Jakarta, Selasa (13/1), meminta Badan Reserse Kriminal Polri untuk mengadakan operasi khusus di NTT “Kami sudah meminta bantuan Mabes Polri, karena saat ini NTT telah masuk dalam kategori darurat perdagangan manusia dan sudah sangat mendesak untuk dilakukan operasi,” ujarnya.

Polri sendiri dalam pertemuan tersebut, menurut Paul, mempunyai komitmen untuk memberantas perdagangan manusia di Indonesia dan terutama di kantong-kantong, termasuk NTT.

Hal senada juga beberapa waktu lalu pernah disampaikan oleh Kepala Kepolisian Daerah NTT Brigadir Jenderal Polisi Endang Sunjaya yang mengatakan bahwa NTT saat ini telah berada di urutan pertama kasus perdagangan manusia setelah sebelumnya sempat berada di urutan keenam.

Endang sendiri pernah menyampaikan akan menindak tegas jaringan mafia yang selama ini marak di NTT.

Dalam kurun waktu empat tahun terakhir Polda NTT sudah menangani 42 kasus perdagangan manusia dengan rincian tahun 2011 sebanyak tiga kasus, tahun 2012 tiga kasus, 2013 sebanyak 24 kasus, dan tahun 2014 sebanyak 12 kasus.

Menanggapi hal tersebut, antropolog serta beberapa organisasi kemahasiswaan di Kupang menilai seharusnya Pemerintah Provinsi membuka dan memberikan lapangan pekerjaan agar tidak lagi terjadi perdagangtan manusia.

Antropolog budaya Pater Gregor Neonbasu, SVD, PhD melihat bahwa maraknya kasus perdagangan manusia di NTT diakibatkan oleh persoalan ekonomi yang menjadi pemicu utama sehingga para calon TKI yang direkrut tersebut pergi meninggalkan kampung halaman meski tanpa dilengkapi dokumen untuk bisa bekerja di suatu negara.

“Boleh saja mereka bekerja di luar negeri, namun pembekalan pembelajaran juga perlu dipersiapkan dengan baik, terutama keterampilan sebagai seorang pekerja, sesuai kebutuhan pasar kerja. Dengan demikian nilai mereka menjadi tinggi sekalipun hanya menjadi seorang pembantu rumah tangga,” katanya.

Selain itu, Dinas Tenaga Kerja sebagai instrumen pemerintah dalam menangani masalah ketenagakerjaan perlu lebih ketat lagi dalam melakukan pengawasan tertutup kepada setiap pengerah jasa tenaga kerja (PJTKI) yang terdaftar resmi sebagai penyalur tenaga kerja ke luar negeri.

Menanggapi penyataaan tersebut, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur Simon Tokan mengatakan pemerintah telah bersikap tegas terhadap PJTKI yang diketahui bermasalah dalam merekrut calon TKI.

Tindakan tegas ini, menurut Simon, sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap calon tenaga kerja yang berkeinginan bekerja di luar negeri maupun dalam negeri, sekaligus memberikan efek jera terhadap PJTKI nakal.

Tindakan tegas tersebut terbukti dengan penutupan sementara PT Malindo Mitra Perkasa (MMP) Cabang Kupang untuk merekrut calon TKI pada tahun 2014. Larangan itu berdasarkan keputusan Pemerintah Provinsi NTT No: 562/65/KPSP tertanggal 5 Desember 2014.

Selain tindak tegas terhadap PJTKI, pemerintah juga akan menyiapkan rancangan peraturan daerah (ranperda) tentang pelayanan perizinan satu atap bagi warga yang ingin bekerja di negara sendiri maupun menjadi tenaga kerja di luar negeri.

“Pemerintah sedang mempelajari regulasinya dan segera menyiapkan ranperda untuk diajukan ke DPRD,” katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Komisi V DPRD NTT Winston Rondo yang menilai pelayanan izin satu atap ini merupakan salah satu upaya meminimalisir tingginya angka pekerja bermasalah dan perdagangan manusia dengan modus TKI.

Menurut dia, persoalan utama yang dihadapi terkait perekrutan dan pengiriman tenaga kerja adalah pemalsuan dokumen, seperti kartu keluarga, dan kartu tanda penduduk (KTP). Pemalsuan dokumen ini, dilakukan oleh para calo maupun secara sukarela oleh pencari kerja itu sendiri.

“Kita dorong pemerintah agar menyiapkan pelayanan izin satu atap untuk para pencari kerja, sehingga masalah utama pemalsuan dokumen bisa ditekan,” kata Winston.

Maraknya kasus perdagangan manusia selain karena kebutuhan tenaga kerja di luar negeri sangat tinggi dengan upah yang lebih baik dibandingkan di negeri, juga upah tenaga kerja Indonesia yang murah, tidak memiliki keterampilan memadai dan kurangnya informasi tentang prosedur kerja yang baik.

Untuk mengatasi kasus tersebut juga Pemprov NTT juga telah mengeluarkan Perda No 14 tahun 2008 tentang pencegahan perdagangan manusia dan penanganan korban serta keputusan Gubernur NTT no 08/Kep/HK/2009 tentang pembentukan tim koordinasi pencegahan dan penanganan tenaga kerja Indonesia nonprosedural asal NTT.

Oleh Kornelis Kaha