pernikahan dini

Jakarta (Metrobali.com)-

Pemerhati perempuan Misiyah menyatakan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang memperbolehkan nikah di bawah umur berpotensi melanggar konstitusi.

“UU Perkawinan berpotensi melanggar UUD 1945, karena itu sudah waktunya direvisi dengan menaikkan usia perkawinan setara dengan laki-laki 21 tahun atau minimal di atas 18 tahun sesuai dengan UU Perlindungan Anak,” kata Ketua Badan Eksekutif Institut Kapal Perempuan Misiyah saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang Pengujian UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Kamis (30/10).

Ia mengatakan Indonesia sudah semestinya tidak boleh memiliki UU yang melegalkan perkawinan di bawah umur karena berdampak pada diskriminasi dalam mendapatkan hak pendidikan dan kemiskinan yang berkelanjutan.

Menurut Misiyah, UU Perkawinan berpotensi terhadap pelanggaran konstitusi tentang hak atas pendidikan, karena telah menyebab angka putus sekolah perempuan lebih tinggi dari pada anak laki-laki, presentase penduduk perempuan yang tidak memiliki ijazah lebih besar dibanding laki-laki.

Dia menyebutkan UUD 1945 pasal 28I ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Misiyah juga mengungkapkan UU Perkawinan juga berpotensi terhadap pelanggaran konstitusi tentang hak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Ia juga menyebutkan UU Perkawinan ini bertentangan dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 7 tahun 1984 tentang ratifikasi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan, dan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sedangkan Guru Besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada Prof Dr Muhadjir M Darwin mengatakan bagi masyarakat strata rendah, kemiskinan merupakan alasan utama nikah muda, sehingga memastikan mereka untuk mengurangi orang untuk diberi makan.

“Tapi dalam kenyataannya nikah muda justru memperpanjang kemiskinan,” kata Muhadjir.

Di dalam kebanyakan negara berkembang perkawinan anak-anak terus menjadi norma sosial yang kuat, terutama bagi para anak perempuan.

“Di Indonesia 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan pada 2008 adalah perkawinan anak,” ungkapnya.

Muhadjir mengatakan Indonesia menyebut definisi anak merujuk kepada UU Perkawinan yang menetapkan batas minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.

“Definisi ini sesuai dengan pandangan ilmu sosial yang melihat masa kanak-kanak bukan hanya sebagai masa belajar, tetapi juga masa rentan dan penuh ancaman yang memerlukan perlindungan,” katanya.

Muhadjir juga mengatakan nikah muda telah menghasilkan masalah keuangan yang akan berakibat kepada kriminalitas.

Pengujian UU Perkawinan ini diajukan oleh Indry Oktaviani, Yohana Tantria, Dini Anitasari Sa’Baniah, Hadiyatut Thoyyibah, Ramadhaniati, Yayasan Pemantau Hak Anak.

Mereka menguji pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 yang dinilai batas minimum umur perkawinan yakni 16 tahun untuk perempuan dianggap terlalu muda dan tidak memiliki kesesuaian dengan sejumlah aturan perundangan nasional.

Para pemohon mengatakan ketentuan tersebut juga melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak khususnya anak perempuan yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, maraknya kasus perkawinan paksa, ancaman kesehatan reproduksi, serta mengancam hak anak atas pendidikan.

Untuk itu, mereka meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni sepanjang frasa “umur 16 tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dibaca ‘umur 18 tahun’. AN-MB