I Made Pria Dharsana

Sering terjadi pembeli rumah atau rumahsusun tertipu oleh pengembang atau depelover karena ketidak tahuan merekan tentang apa saja yang mesti diketahui jika mau membeli rumah.

Oleh karena itu ketentuan dasar sudah seharusnya disampaikan dn diatur oleh pemerintah agar masyarakat tidak terus menerus menjadi korban penipuan..
Demi menjawab kebutuhan hunian yang membludak, peraturan pemilikan perumahan yang ada dan banyaknya pembeli rumah tapak atau rumah susun yang sering disebut Apartemen, tertipu sehingga merugikan konsumen. memenuhi kebutuhan penyediaan rumah bagi rakyat dan menjawab tantangan menyejahterskan rakyat menjadi penyebab pemerintah memfokuskan salah satu kebijakannya pada regulasi Peraturan Menteri PUPR nomor 11 tahun 2019 mengenai Perjanjian Pendahuluan Jual-Beli Sarusun. Walaupun menemui banyak penafsiran setelah pengesahannya , tetap patut diapresiasi keberadaan nya walaupun agak terlambat setelah banyak korban penipuan..

Ditengah perekonomian Indonesia yang sedang tertekan oleh persng dsgsng antara Amerika dengan Cina, pemerintah menyusun strategi paket kebijakan yang menjadi sumber pendapatan yang menguntungkan bagi Negara dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Dengan kemajuan teknologi dan globalisasi di era seperti sekarang, pemerintah mengeluarkan persturan yang dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi persaingan perekonomian untuk mengatasi tekanan Global. Peraturan perumahan ini diharapkan berdampak positif serta mempunyai aspek penting Indonesia sendiri yaitu untuk meningkatkan daya beli masyarakat, mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan, meningkatkan sumber daya manusia yang unggul sehingga pemanfaatan sumber daya alam bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Indonesia terus gencar melakukan perbaikan arah pembangunan termasuk didalamnha , pembangunan infrastruktur maupun industry dan teknologi perindustrian. Kebijakan ekonomi yang ampuh dapat menciptakan terwujudnya tahun ke-emasan Indonesia disebut-sebut di tahun 2045 sebagai negeri industry maju. (Anwar Nasution, kompas, 21/08/2019)

Pertambahan jumlah penduduk , menyebabkan kebutuhan akan hunian terus bertambah baik rumah tapak maupun rumah susun. Kemampuan menyediakan kebutuhan dasar akan rumah tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat karena kemampuan ekonomi. Di sisi lain, ketersediannya terbatas atau kalaupun ada, hanya kalangan ekonomi menengah keatas yang mampu menjangkau akan rumah tinggal seiring kondisi lahan kota yang makin terbatas dan mahal. Berdasarkan data pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, secara nasional tingkat kepemilikan hunian (home ownership rate) Jakarta terburuk, yaitu hanya di angka 51,09 persen. Jumlah backlog kepemilikan hunian di Ibu Kota 1,3 Juta Unit.

Rendahnya kepemilikan hunian di kawasan perkotaan ini juga tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas, awal Agustus lalu. Sekitar 31 Persen responden menyebutkan sudah memiliki rumah sendiri. Mayoritas reponden menyebutkan sudah memiliki rumah sendiri. Namun, mayoritas responden justru masih tinggal di rumah orang tuanya/saudaranya (42,3 persen), sementara sebagian lainnya menyewa kamar kos, rumah kontrakan atau apartemen. Penyediaan hunian yang berorientasi pada lokasi strategis dan jaraknya dekat dengan pusat aktivitas mulai digalakkan sejak pengemabangan kawasan berorientasi transit (TOD). Konsep hunian vertical Kondotel yang berpedoman (TOD) ini merupakan angin segar alternative mengatasi penyedian hunian di Jabodetabek. Tak kurang dari 41,4 persen responden setuju jika paling ideal untuk orang perkotaan berbentuk hunian vertical seperti apartment, rusun, dan kondominium

Salah satu alasan dikeluarkannya Regulasi mengenai Permen PUPR No 11 Tahun 2019 yang mengatur mengenai system perjanjian pendahuluan Jual Beli yang erat hubungannya dengan Sarusun, rusun kondotel, atau rumah tapak berupa rumah deret. Jadi dengan adanya permen ini, baik dari pihak pemilik satuan, developer dan pemilik tanah (jika terpisah) yang biasa disebut asas Pemisahan horizontal. Jadi para pemilik yang telah melakukan peralihan nantinya akan diuntungkan dikarenakan dapat memiliki satuan atas rumah susun melalui perjanjian pendahuluan yang diatur dalam permen tersebut, namun banyak hal yang menjadi faktor persoalan dimulai dari regulasi dan juga kasus yang terdapat di lapangan. paling tidak masyarakat yang berminat membeli rumah tidak selalu menjadi korban penipuan dari pengwmbang yang tidak bertanggung jawab.. Munculnya banyak permalasahan yang dilakukan oleh pihak yang mengaku pengembang yang merugikan banyak calon pembeli rumah tapak maupun sarusun karena ketidak tahuan atau ketidak cermatan calon pembeli atas obyek rumah yang ditawarkan oleh pengembang tersebut. Pengembang model seperti ini memanfaatkan celah hukum untuk melakukan penipuan kepada calon pembeli. Termasuk memanfaatkan kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Karena tidak semua calon pembeli rumah dari pengembang paham tentang aspek hukum dan komponen kelengkapan yang mesti ada didalam pembangunan sebuah rumah apalagi rumahsusun.

Dalam perkembangan hukum dikotomi public-privat ini tidak bisa lagi dipertahankan secara tegas, kecuali untuk kepentingan akademis. Pada masa sekarang ini disadari bahwa subjek-subjek hukum tidak mungkin dapat dibiarkan bertransaksi dengan menggunakan asas kebebasan berkontrak seluas-luasnya, mengingat ada kepentingan umum yang harus dijaga dan dilindungi oleh Negara. Hal ini dapat dilihat dalam hukum perlindungan konsumen, yang mengatur tentang transaksi antara pelaku usaha dan konsumen. Negara perlu campur tangan untuk mengatur agar hak-hak konsumen yang mendasar, seperti hak untuk memperoleh keamanan, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk memilih, dan hak untuk didengar, agar benar-benar dapat dijamin pemenuhannya. Pelaku usaha tidak lagi dapat semaunya, dengan alasan kepraktisan, menetapkan isi perjanjian baku yang memindahkan kewajiban pelaku usaha kepundak konsumen. Jika hal itu dilakukan oleh pelaku usaha, maka Negara yang akan memproses dan menjatuhkan sanksi. (Abdul Rasyid, 27/08/2019). Sependapat dengan apa yang dikatakan Abdul Rasyid dalam hal ini Negara harus hadir dalam agar tidak terjadi penipuan kepada konsumen perumahan karena ketidak mengertian mereka pada saat membeli rumah dari pengembang.
Ada dua hal pokok yang diatur di dalam permen PUPR nomor 11 tahun 2019 tersebut. Pertama, setiap pembeli yang telah membayar uang, pertama kali wajib dibuatkan PPJB yang dibuat dihadapan Notaris untuk menjaga legalitas hukum perjanjian. Kedua, diatur jadwal pembangunan dan sanksi masing-masing pihak bila terjadi pembatalan.”Dampak bagi konsumen memastikan keterbangunan rumah dan melindungi hak konsumen dalam transaksi rumah,”. Sebelumnya, permen baru ini dinilai kurang memberikan keadilan kepada pengembang. “Ada pengaturan mengenai keterlambatan pengembalian pembayaran oleh pengembang kepada pembeli, tapi tidak ada ketentuan denda jika pembeli terlambat bayar. Hal ini tidak ada adil untuk pengembang,” kata analis hukum pertanahan dan properti Eddy Leks . (Harian Kompas, 27/08/19).
Peran Notaris didalam pembuatan akta otentik berupa PPJB , sebagaimana diatur dalam UU Jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004 junto UU Jabatan Notaris Perubahan nomor 2 tahun 2014, diharapkan akan memberikan perlindungan hukum kepada calon konsumen perumahan begitu pula kepada pengembang. Sebelum pembangunan rumahsusun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tapak atau rumah deret harus dinyatakan dalam akta Notaris. Yang dikenal sebagai Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB sebagaimana ditentukan dalam PERMEN PUPR Nomor 11 Tahun 2019 Pasal 1 angka 2. Dalam hal membicarakan PPJB diatur ketentuan, Pasal 3 ayat (1) Pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran rumah tunggal atau rumah deret yang masih dalam tahap proses pembangunan. Pasal 3 ayat (2) Pelaku pembangunan dapat melakukan pemasaran sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dan ayat (2) harus memuat informasi mengenai perencanaan dan kondisi pisik yang ada. Yang perlu juga diperhatikan agar tidak terjadi unsur-unsur penipuan kepada konsumen, dengan diantisipasi pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) Pelaku pembangunan yang melakukan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) harus memiliki paling sedikit ;
a. Kepastian peruntukan ruang;
b. Kepastian hak atas tanah;
c. Kepastian status penguasaan rumah;
d. Perijinan pembangunan perumahan atau rumahsusun; dan
e. Jaminan atas pembangunan perumahan atau rumahsusun dari lembaga penjamin.

Hal yang menjadi dasar adanya celah mengapa banyak indikasi pengembang bodong yang memanfaatkan menggunakan pasal ini sebagai dasar untuk melancarkan aksinya yakni dengan iming-iming fasilitas penyedia property namun dibalik itu semua terdapat kehendak yang berlawanan dengan itikad baik, yang menyebabkan kerugian bagi para pihak yang menjadi korban dari tindak pidana penipuan tersebut.
Dengan banyaknya muncul sengketa calon pembeli dengan pengembang tentu banyak timbul kerugian dari calon konsumen, maka diperlukan pembuktian berupa surat-surat perijinan maupun pembayar pajak yang dapat divalidasi kebenarannya dan wajib dipenuhi agar tidak terjadi pembiaran terhadap terjadinya penipuan berkedok pengembang. Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) bahwa pelaku pembangunan harus menjelaskan kepada calon pembeli mengenai materi muatan PPJB, karena dalam bentuk akta otentik sudah seharusnya Notaris membacakan isi akta PPJB tersebut dan menjelaskan apa isi akta tersebut kepada para pihak. Sebagaimana diatur dalam pasal 16 huruf m UUJN P, Notaris wajib membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikitnya 2 (dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta Wasiat dibawah tangan , dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Bagaimana dengan ketentuan permen PUPR 11/2019 yang telah memberikan ketentuan dimuat dalam PPJBnya : Syarat yang ditentukan dalam Permen PUPR ini sangat baik bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum.
Dengan adanya rujukan ketentuan yang menyebutkan diatas maka hendaknya pembeli tidak perlu merasa resah karena apabila salah satu pihak terbukti dengan niat buruk melakukan perjanjian dan terbukti melakukan fraud (dwelling) dan tentu saja telah melanggar unsur kaidah hukum yang berlaku maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.
Pada pasal 10 ayat 4 bahwa kepemilikan izin mendirikan bangunan induk atau izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, disampaikan salinan sesuai asli kepada calon pembeli pada saat penandatanganan PPJBnya. Semestinya copi salinannya sesuai aslinya dilekatkan dalam minuta ppjbnya bukan malah sebaliknya. Lalu bagaimana nasib copy Salinan sesuai asli yang seharusnya dilekatkan tersebut karena merujuk pada kewenangan UUJN bahwa notaris selaku pejabat umum wajib menyimpan copy Salinan sesuai asli dilegalir sedemikian bersamaan dengan minuta akta yang dilekatkan tersebut sesuai dengan protocol notaris
Hal lain yang urgensinya tak dapat terbantah mengenai perjanjian yang ditentukan oleh Permen PUPR No 11 Tahun 2019 yakni mengenai bentuk daripada Perjanjian itu sendiri jika dilihat termasuk kedalam unsur kontrak baku yang mana tentu saja sedikit mengekang dari asas kebebasan berkontrak dengan adanya ketentuan sebagaimana dinyatakan bahwa para pengembang dapat menentukan bagaimana bentuk dari pada PPJB itu sendiri melalui permen tersebut. Jadi disini dapat dilihat bahwa secara tidak langsung mengurangi beban notaris namun mengambil peran notaris sebagai pejabat umum dalam hal pembuatan akta, namun tidak menjamin keotentikan akta dalam hal tersebut merupakan wewenang notaris itu sendiri karena isi akta adalah kehendak bebas para pihak.

Kembali lagi pada hal regulasi Permen PUPR 11 Tahun 2019 ini, hendaknya pemerintah segara melakukan inventarisasi atas permasalahan yang terjadi, agar dampak/akibat hukum yang merugikan konsumen dapat tereleminir dan terminimalisir, baik dalam pengaturan maupun penerapannya. Jika ingin mengejar paket kebijakan yang mendatangkan keuntungan bagi semua pihak atau siklus dampak investasi yang sehat di Indonesia jika pengaturannya sudah dapat terselenggara dengan baik. Tugas selanjutnya yakni melakukan evaluasi menyeluruh dalam penyelenggaraan penyedian hunian perlu dilakukan, mulai dari perbaikan data, penyusunan perencanaan dan pembangungan, hingga pengawasan dalam proses penjualan unit. Dengan demikian, perlahan nantinya penyediaan hunian bagi masyarakat dapat di control oleh pemerintah dengan baik dan pada akhirnya dapat menciptakan tata kelola ruang yang baik, efisien, harga rumah yang terjangkau dan mengurangi kerugian yang dialami konsumen serta potensi konplik antara pengembang dengan perhimpunan penghuni rumahsusun. (***)