insinyur 1Malang, Jawa Timur (Metrobali.com)-

Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Dr Pitojo Tri Juwono, mengingatkan jangan anggap remeh kenyataan Indonesia kekurangan tenaga insinyur, apalagi sekarang sudah memasuki area pasar bebas, di antaranya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

“Kekurangan tenaga insinyur ini jangan dianggap remeh. Tenaga ahli untuk bidang tertentu masih menggunakan tenaga asing, sementara di Tanah Air lulusannya masih di level sarjana teknik. Insinyur memiliki level yang lebih tinggi ketimbang sarjana teknik,” kata Juwono, di Malang, Jawa Timur, Selasa (26/7).

Kekurangan tenaga insinyur itu karena lebih dari 50 persen sarjana teknik bekerja di luar bidang teknik. Oleh karena itu, kondisi ini tidak bisa dipandang remeh, apalagi saat ini sudah memasuki era MEA.

Selain masih kekurangan tenaga insinyur, lanjutnya, keberadaan sarjana teknik juga harus ditingkatkan levelnya menjadi insinyur, sebab mereka yang sudah menempuh pendidikan insinyur dibekali pengetahuan manajemen konstruksi, kode etik, dan jam praktik di industri yang lebih tinggi.

Semua itu menjadikan insinyur bernilai jual lebih tinggi daripada sarjana.

Berdasarkan riset Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, rasio antara tenaga ahli dengan jumlah penduduk di Indonesia masih sangat kecil, yakni hanya sekitar 1.000 insinyur per satu juta penduduk.

Jumlah tenaga ahli di Indonesia masih timpang jika dibandingkan dengan anggaran infrastruktur yang dikucurkan pemerintah, yakni sekitar Rp60-Rp100 triliun selama tiga tahun terakhir ini.

“Dengan anggaran sebanyak itu dibutuhkan lebih banyak tenaga ahli untuk menggenjot pembangunan. Oleh karena itu, dibukanya program profesi insinyur yang dimulai tahun ini, akan mempercepat tumbuhnya tenaga ahli, sehingga ke depan tenaga asing bisa diminimalisasi,” katanya.  Sumber : Antara