Megibungan Ala Muslim Bali
Megibungan Ala Muslim Bali/MB
Denpasar (Metrobali.com) –

Ada banyak tradisi yang telah berlaku turun temurun di kalangan umat Muslim Nusantara, utamanya kala Ramadan tiba. Di Bali, umat Muslim di Kampung Islam Kepaon, Denpasar memiliki tradisi unik. Tradisi itu yakni megibungan. Megibungan merupakan kosa kata Bahasa Bali. Artinya makan bersama-sama dalam satu wadah.

Ya, umat Muslim di Kampung Islam Kepaon memiliki tradisi megibungan. Tradisi ini dilakukan bersamaan dengan waktu berbuka puasa di Masjid Al-Muhajirin. Pelaksanaannya tiap kelipatan 10 hari Ramadan. Dalam satu bulan Ramadan, tradisi megibung dilakukan tiga kali yakni pada hari kesepuluh Ramadan, hari kedua puluh Ramadan dan hari ketiga puluh Ramadan.

Tokoh masyarakat setempat, H Ishaq Ibrahim menceritakan, tradisi ini bermula ketika Islam masuk ke Bali. Kala itu, banyak umat Muslim Nusantara dari berbagai suku bermukim di Bali mulai dari Melayu, Jawa, Madura, Bugis dan Lombok dan serta sejumlah wilayah lainnya.

“Mereka kemudian berfikir untuk menyatukan diri. Dibuatlah sebuah paguyuban,” kata Ishaq ditemui di sela pelaksanaan tradisi megibungan, Rabu 15 Juni 2016. Salah satu program kerja paguyuban adalah mengkhatamkan Al-Quran tiap Ramadan. “Kalau kita khatam Al-Quran pertama dibuatkan tasyakuran,” jelas dia.

Lantaran jumlah anggota paguyuban terus berkembang, tiap kali tasyakuran digelar dilakukan dengan cara makan bersama. “Makan bersama itulah yang dinamakan megibung,” papar dia.

Megibung bukan tak memiliki makna atau sekedar makan bersama belaka. Kala itu, ketika paguyuban dibentuk, suasana Indonesia dalam penjajahan Belanda. “Tujuan megibung untuk mempersatukan umat Muslim Bali agar tak tercerai berai. Jika sudah bersatu, Ishaq melanjutkan, maka akan sulit dihancurkan oleh Belanda. “Tujuannya supaya kita jangan mau dikalahkan sama Belanda. Dulu dia itu rukun. Kita jangan mau dipecah belah. Kita ini saudara,” katanya.

Tradisi itu dilestarikan hingga kini dan menjadi atraksi budaya. Tak sedikit warga yang menyempatkan diri hadir untuk sekadar menyaksikan jalannya tradisi yang terajut sekian lama itu. Agar tradisi ini terus lestari, Ishaq mengaku tiap megibung digelar, selalu diikutsertakan anak muda dan anak-anak. “Jadi, dalam satu tempat makan ada orangtua, remaja dan anak-anak,” urainya.

Soal menu makanan, warga dengan sukarela memberikan sumbangan kepada jamaah masjid. Sebelum tradisi ini dimulai didahului dengan berbuka puasa bersama. Makanan dan minuman ringan disajikan. Usai itu, mereka terlebih dahulu melaksanakan shalat Maghrib. Usai sholat, barulah tradisi ini dilaksanakan.

Tanpa dikomando, tua muda sudah duduk melingkar bersama kelompoknya. Satu kelompok berjumlah lima sampai enam orang terdiri dari orangtua, remaja dan anak-anak. Usai membaca doa bersama, santap malam pun dilangsungkan. Tak ada rasa jijik. Semua menu makanan yang disajikan disantap dengan lahap.

“Setiap tahun saya ikut tradisi megibung ini,” kata seorang remaja bernama Sayuti. Sayuti sendiri mengaju sejak kecil sudah diajak oleh orangtuanya berbuka puasa bersama ala megibung.

Hal senada diutarakan Muhammad Abdullah, bocah yang masih duduk di bangku kelas 5 SD. Sejak ia menginjak sekolah dasar, Abdullah selalu mengikuti tradisi ini saban tahunnya. “Senang ikut megibung. Sudah dari kelas 1 SD ikutnya,” tutup Abdullah.JAK-MB