Mengenal Agus Edy Santoso sejak 30 tahun lalu. Di tahun awal tahun 1990-an, era saya mahasiswa akhir, Mungkin karena Agus seringkali memakai kacamata bundar seperi John Lennon, atau penerbitan selebaran Frans Fanon Foundation, atau mungkin gaya Ke-lenong-an (bahasa Madura), yang suka jalan dan sering tak terduga. Menjadi awal ia dipanggil Gus Lenon.


Suatu era, ketika Pak Harto sedang kuat-kuatnya, dia rajin “kelenongan”, tepatnya turba, menyambangi kantong-kantong gerakan mahasiswa, buruh atau pun petani di segenap belahan negeri. Disana kita bertemu dan merajut perlawanan. Tidak ada kata letih dan lelah untuk itu, katanya suatu waktu. Jejaknya masih tercatat hingga hari ini: Ke-lenon-gan

Pak Harto dan rezim Orba-nya terkenal sangat keras dan tegas terhadap kaum “Eka dan Eki.” Eka itu ekstrem kanan: Islam radikal. Eki itu ekstrim kiri: komunisme.Tapi Gus Lenon punya banyak teman baik dari kalangan “kiri” dan “kanan.”

Pernah suatu waktu, saya diajak Gus Lenon bertandang ke salah satu tokoh kiri, Joebar Ajoeb, mantan Sekjen Lekra. Kami ke sana berjalan diam diam. Lenon pun sepakat menerbitkan dan memperbanyak/mengkopi buku JA, Mocopat Kebudayaan, atau karya penulis lain, yang kemudian di sebarkan dikalangan aktivis .

Dalam kesempatan lain, pernah pula diajak Agus jumpa para aktivis yang dulu aktif peristiwa Tanjung Priok. Ini aktivis dari jalur Islam keras. Agus malah menerbitkan pledoi/pembelaan mereka, dan sekaligus memberikan copy buku Ali Shariati. Kata Agus, ini supaya mereka lebih revolusioner, tapi juga sekaligus visioner.

“Gus,” tanya saya, “Dirimu simpatisan ekstrimis?” Ini buat bacaan saja, kita cukup minum eskrim aje, jawab Lenon  santai.‎

Gus Lenon pun dekat dengan tokoh moderat, terutama kalangan  Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti LBH, WALHI, Bina Desa, atau pun Forum Demokrasi. Kerap disindirnya sebagai organisasi papan nama. Namun, Lenon selalu hadir dalam setiap pertemuan atau diskusi lembaga-lembaga tersebut.‎

Begitu pula ketika Gus Lenon menemukan tumpukan surat di kantor HMI, tempatnya menginap. Tarnyata, itu surat menyurat sangat penting antara Nurcholish Madjid dan Mohamad Roem. Agus dengan tekun membukukan surat itu. Dengan izin Noercholis Madjid, buku itu disebarkan, menjadi pembicaraan luas. Isu utama buku tersebut, bahwa tak ada negara Islam, mencuat.

Pergaulan Gus Lenon juga meluas ke aneka kalangan. Karaoke, atau Kanan/Kiri Ok, katanya suatu waktu. Ia aktif di PIPHAM, LAPASIF, InDemo, sampai Lasimu-nya Muhammadiyah. Sudah tentu dengan dukungan percetakan TEPLOK Press, yang jadi andalanyan. Lenon juga pendukung aliran kepercayaan suku asli seperti Badui. Sekaligus aktif bermeditasi dalam tradisi Budha.‎

Paska Reformasi 1998, Gus Lenon kian inten bersahabat dengan aneka kelompok yang beragam, bahkan saling bertentangan. Hal yang membuatnya lebih mudah mengatasi perbedaan. Ia punya banyak teman yang dekat dari aneka kubu politik. Ini pula yang menumbuhkan spirit, beda politik itu biasa. “Karaoke, yang penting melawan!!”‎

Setahun belakangan ini, Gus Lenon sering bertandang ke kawan-kawan aktivis ProDem, termasuk ke Bali -namun saya lupa janji akan ketemu di SumberKlampok. Terakhir, sempet telpon dan  curhat. Kesehatannya menurun. Ia tak bisa ke-lenon-gan lagi. “Bersama sejumlah kawan membuka usaha bisnis Cafe, sambil diskusi, dan bisa di jalankan dengan duduk di rumah saja Ngurah,” katanya.
Selamat Ke-lenon-gan di alam sana Gus!!!

Ole : Ngurah Karyadi‎