Kepahlawanan (heroisme) anak-anak muda belia berkibar di Indonesia, yang menolak UU Cipta Kerja/Omnibus Law, yang sebelumnya disebut: Cipta Lapangan Kerja (sehingga diplesetkan: Cilaka).

Adegan tahun lalu seakan berulang kembali, saat aksi penolakan revisi UU KPK. Orang-orang tua sebagian menangis melepas anak-anak itu menemukan kekerasan di jalanan, lengkap dengan prasangka: Anarkhis. Belum lagi ancaman risiko Covid-19, yang belum berlalu hingga kini.

Bermacam reaksi di daerah. Risma memaki-maki anak-anak muda itu karena dari luar Surabaya merusak kotanya Risma. Anies Baswedan tersenyum minta anak-anak muda pulang dulu karena sudah malam. Ganjar Pranowo temuii dan berdialog dengan mereka. Ridwan Kamil, atau pun Sultan. Jogja, turun menerima aspirasi para demonstran, dan langsung menyurati Presiden RI.‎

Sementara di pusat, Airlangga Hartarto menuduh ada penunggang. Mahfud MD  dan para jendral menuduh ada aktor-aktor dan keluarkan 7 komando, serta berjanji akan meniindak tegas para aktor termaksud. Di tutup dengan, Pidato Presiden RI, menjelaskan kenapa UU ini harus disahkan demi investasi dan seterusnya.



Perlawanan mahasiswa, dan anak-anak belia ini adalah peristiwa revolusioner dalam sejarah. Sebab, risiko perjuangan terlalu besar dan tujuan perjuangannya terlalu mulia, yakni menolak UU beraroma kepentingan cukong -meski katanya untuk ciptakan lapangan kerja untuk mereka. Fragmen Ke-cilaka-an menghantui generasi, pastinya.‎

Namun, sejarah akan menemukan jalannya sendiri. Revolusi akan mencari jalannya sendiri. Berbagai elemen dan ekosistem dalam sebuah revolusi maupun perubahan sosial besar harus dimaknai secara benar. Di antaranya adalah lahirnya elemen anak-anak revolusi itu.

Saatnya semua pihak membaca situasi secara benar. Melihat dalam bingkai demokrasi, bukan otoritarian -lengkap dengan kambing hitam-nya. Mari kita tempatkan analisis sosial secara tepat demi menghormati keberadaan anak-anak revolusi ini. Merekalah penentu gerak sejarah!

*Ngurah Karyadi, Petani mandiri dan penulis lepas