Ilustrasi..Bule Naik Padmasana di Pura Gelap Besakih

Oleh : I Gede Sutarya

PARIWISATA Bali kembali dihebohkan kasus wisman yang menaiki padmasana di Pura Gelap, Besakih (Bali Express, 18/3). Dalam foto, wisman bahkan terlihat duduk di padmasana yang merupakan tempat yang paling suci, yang merupakan simbol stana Tuhan di bumi. Foto dan video ini sempat menjadi viral sehingga membuat heboh pemuka-pemuka agama di Bali. Pengelola Besakih mengatakan, kejadian itu mungkin terjadi ketika wilayah Besakih kosong karena seluruh warga mengungsi. Tetapi pertanyaannya kemudian, kenapa ketika wilayah itu kosong, wisman masih bisa masuk pura? Polisi seharusnya melarang juga wisman memasuki kawasan berbahaya letusan Gunung Agung. Bagaimana ini bisa terjadi?
Secara mitologi, penodaan tempat suci oleh orang luar Bali (Hindu) merupakan sebuah tanda-tanda yang serius. Apalagi itu terjadi ketika Gunung Agung meletus. Mitologi Shri Astasura Ratna Bumi Banten menyatakan, ketika Majapahit ingin mengalahkan Bali maka Gajah Mada berpura-pura sebagai tamu untuk melemahkan kekuatan Bali. Gajah Mada mengetahui wilayah yang paling sakral pada kekuatan Bali adalah rajanya yang tidak bisa dilihat wajahnya. Karena itu, sebagai tamu, patih Majapahit ini meminta masakan sayur paku pada perjamuan dengan raja. Pada saat perjamuan, Gajah Mada makan sayur paku dengan mengangkat tinggi-tinggi sayur yang panjang itu agar bisa masuk mulutnya. Itu dilakukan sambal melihat wajah sang raja. Begitu wajah raja dilihat maka pamornya runtuh sebab kesakralannya telah ternoda.
Mitologi ini kini terjadi pada kasus pariwisata Bali. Kesakralan Bali mulai dinodai dengan berbagai cara. Hal itu terjadi karena kelemahan pengelolaan pariwisata Bali. Sebelum wisman datang ke Bali, mereka seharusnya sudah mendapatkan informasi tentang wilayah-wilayah suci yang tidak boleh diperlakukan seenaknya. Pada setiap destinasi, pengelola juga seharusnya memiliki bagian-bagian yang menjaga destinasi tersebut dari tangan-tangan jail atau prilaku yang kurang baik. Ketika suatu destinasi ditutup karena bencana alam, seharusnya siapa pun tidak bisa masuk ke destinasi tersebut sehingga kejadian seperti itu tidak terjadi. Tetapi kenyataannya, semua itu tidak dilakukan, pengelola memberikan kemudahan kepada wisman untuk mengakses destinasi pada situasi apa pun.
Kelemahan pengelola yang berujung pada masalah bagi pariwisata Bali, tidak hanya terjadi saat ini. Pada tahun 1938, pemerintah kolonial juga sempat telodor sehingga Bali sempat diisukan menjadi sorganya kaum homo. Pemerintah kolonial kemudian cepat beraksi menangkapi wisman pelaku-pelaku homoseksual di Bali. Pada tahun 1970-1980-an sempat juga beredar isu hippies yang menggunakan narkoba dan seks bebas di Bali. Pada tahun 1990-2000-an, isu investasi pariwisata yang mencaplok kawasan suci menjadi isu sentral pariwisata Bali. Pada tahun 2000-anini, isu homoseksual, seks bebas, narkoba dan penodaan kawasan suci kembali menjadi isu negatif bagi pariwisata Bali. Isu-isu ini merupakan realisasi dari tanda-tanda yang muncul di Besakih tersebut.
Pada zaman Sri Astasura Ratna Bumi Banten, raja Bali terlambat menangkap tanda-tanda tersebut sehingga serangan Majapahit yang mendadak mengakhiri kekuasaannya. Pada saat ini, pengelola pariwisata Bali tidak boleh terlambat mengantisipasi tanda-tanda tersebut. Tanda-tanda tersebut harus diantisipasi dengan mengevaluasi kembali pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali. Apakah pariwisata Bali sudah berada dalam rel pariwisata budaya ataukah sudah menjauh dari rel tersebut?
Pariwisata budaya adalah ide besar dari pariwisata elite abad ke-19 di Eropa yang disebut dengan Grand Tour. Pada Grand Tour, wisatawan mengunjungi pusat-pusat peradaban dunia seperti Italia dan Prancis untuk belajar tentang peradaban besar masa lalu. Pada masa berikutnya, sejalan dengan kemajuan pengetahuan, diketahui peradaban besar tidak hanya peradaban Romawi tetapi juga peradaban lainnya di dunia. Karena itu, wisatawan kemudian berkunjung ke berbagai tempat lainnya di dunia, seperti Mesir, India, China dan yang lainnya. Perkembangan pariwisata menuju pusat-pusat peradaban ini yang disebut pariwisata budaya.
Pariwisata budaya mengemban tugas untuk menjadikan destinasi sebagai tempat belajar (pusat pendidikan). Saat ini, konsep pusat pendidikan ini telah melebar pada pariwisata lingkungan dan yang lainnya. Sebab, pada pariwisata lingkungan misalnya, terdapat tugas untuk menjadikan lingkungan sebagai destinasi yang dijadikan tempat belajar bagi wisatawan terutama mengenai bagaimana mengelola lingkungan yang baik agar dapat dinikmati keindahannya.
Tugas untuk menjadikan destinasi budaya sebagai pusat pendidikan rupanya menjadi tugas berat bagi pengelola pariwisata Bali. Wisatawan lebih cenderung datang ke Bali untuk bersenang-senang dengan menikmati pantai dan pesta. Hal itu dapat terlihat dari semakin diminatinya destinasi dekat Bali di Gili Terawangan, Lombok yang menjadi tempat pesta bagi wisman. Tempat-tempat lainnya seperti Kuta juga merupakan tempat-tempat untuk pesta. Hal ini juga berakibat pada tumbuhnya pariwisata seks yang sembunyi-sembunyi diperkirakan ada di Bali. Karena itu, pariwisata budaya hanya menjadi “kepura-puraan”nya pariwisata Bali.
Pariwisata Spiritual
Kejadian di Besakih ini menjadi pelajaran bagi pengelola pariwisata Bali untuk mengembalikan pariwisata Bali pada rel yang sebenarnya yaitu pariwisata budaya. Untuk mengembalikan ke rel ini maka wisatawan seharusnya tidak hanya diajak untuk melihat monument-monumen, tetapi juga diajak untuk menikmati kehidupan masyarakat Bali. Salah satunya adalah kehidupan spiritual masyarakat Bali, misalnya dengan belajar bagaimana orang Bali hidup sehari-hari untuk mencapai tujuan hidupnya. Kelas-kelas seperti ini sangat jarang di Bali, walaupun sudah semakin tumbuh di beberapa tempat.
Berbagai negara telah mengembangkan pariwisata budaya model ini. Di Amerika misalnya, wisatawan diajak untuk belajar hidup di alam liar. Di India, wisatawan diperkenalkan tradisi ashram, hidup dengan jalan spiritual. Bali bisa meniru pola ini dengan memperkenalkan kehidupan spiritual masyarakat Bali. Hal ini di masa lalu sering menjadi perdebatan, sebab akan berpengaruh negatif bagi budaya lokal. Tetapi pada kenyataannya, pariwisata model ini justru menjadi agen budaya Bali ke luar negara.
Bayangkan jika banyak wisatawan bisa menjadi murid dari guru-guru spiritual di Bali, maka mereka akan menjadi juru bicara Bali di luar negeri. Juru bicara ini akan menjadi tim promosi gratis bagi pariwisata Bali. Hal ini terjadi dalam pariwisata India di mana mereka mengandalkan guru-guru yoga sebagai tim promosi pariwisata India. Guru-guru yoga sebagian memiliki murid yang terdiri dari artis-artis dari berbagai negara, sehingga bisa menjadi tim promosi yang paling efektif.
Karena itu, pariwisata spiritual adalah jalan revolusi bagi pariwisata budaya di Bali, sebab model pariwisata budaya yang lama telah menjadikan Bali hanya sebagai tontonan. Tontonan ini pun tidak dapat dibahasakan dengan baik, sehingga menjadikan budaya Bali sebagai sarana pendidikan semakin menjauh. Model pariwisata budaya yang lama, juga hanya menempatkan masyarakat Bali sebagai pelayan wisatawan, dengan bekerja sebagai penari dan sejenisnya. Dengan model pariwisata budaya yang baru ini, masyarakat Bali akan ditempatkan sebagai guru peradaban. Karena itu, ini adalah model pembalikan (revolusi) dari pelayan menjadi guru.
Pariwisata spiritual juga akan menempatkan masyarakat Bali sebagai pemilik dari fasilitas-fisilitas spiritual. Sebab fasilitas seperti itu adalah aset masyarakat Bali. Kapitalis dapat membangun hal itu pada hotel-hotel berbintang tetapi itu tidak akan menunjukkan keaslian. Wisatawan menginginkan keaslian ini. Karena itu, pertarungan dalam wilayah ini akan dimenangkan masyarakat lokal. Dengan demikian, revolusi pariwisata budaya Bali harus dilakukan, untuk menemukan model-model baru yang berpihak kepada masyarakat lokal, ekonomi lokal dan lingkungan.
(Dr. I Gede Sutarya, SST.Par.,M.Ag adalah Dosen Prodi Industri Perjalanan, IHDN Denpasar)