Jakarta (Metrobali.com)-

Para karyawan minyak dan gas atau migas tak bertanggungjawab atas Production Sharing Contract (PSC) yang merupakan kontrak kerja sama bisnis antara PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan pemerintah Indonesia.

Hal itu disampaikan Maqdir Ismail, penasehat hukum karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), melalui Humas Chevron Heri Fandi Okta diterima Antara Riau, Rabu.

Menurut dia, Production Sharing Contract (PSC) merupakan kontrak kerja sama bisnis antara PT CPI dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh SKK Migas dalam ranah hukum perdata yang melandasi operasi migas tersebut.

“Sesuai PSC, Kepala SKK Migas harus menyetujui program kerja dan anggaran yang diajukan oleh pimpinan CPI. Hal ini sesuai dengan Permen ESDM No.9/2013 tentang Fungsi SKK Migas sebagai penandatanganan Kontrak Kerja Sama,” kata Maqdir Ismail.

Menurut Maqdir, dalam Kontrak Kerja Sama itu diatur tentang pemberian persetujuan rencana kerja dan anggaran, dan melaksanakan monitoring serta melaporkan kepada Menteri ESDM mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama.

Oleh karena itu, katanya, para karyawan dan kontraktor yang saat ini dijadikan terdakwa, tidak bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kontrak PSC.

“Mereka hanya karyawan yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan fungsi dan peran yang ditugaskan oleh perusahaan. Tindakan Kejagung terhadap klien kami yang merupakan para karyawan ini adalah kriminalisasi kontrak perdata dan pelanggaran hak asasi manusia seperti yang dilaporkan oleh Komnas HAM ke Presiden SBY,” katanya.

Hal itu terkait sidang perkara proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih.

Sementara itu Maqdir, memandang bahwa tak satupun dari para terdakwa yang berwenang memutuskan untuk melanjutkan atau menghentikan proyek bioremediasi atau pembayarannya karena proyek perusahaan serta mandat PSC dan undang-undang lingkungan.

Bahkan, katanya, beberapa terdakwa tidak terlibat dalam proyek ini. “Tuduhan yang ditujukan kepada para terdakwa ini jelas telah salah sasaran,” jelas Maqdir.

Karena itu, katanya, kedua kontraktor yang membantu CPI, Sumigita Jaya dan Green Planet Indonesia hanya mengikuti dan mengacu kepada semua syarat kontrak proyek bioremediasi yang ditetapkan oleh CPI. Mereka oleh CPI dinilai telah mengerjakan proyek dengan baik.

Mereka sama sekali tidak ada hubungan dan keterlibatan dengan perhitungan cost recovery yang disampaikan dan menjadi tanggungjawab CPI kepada SKK Migas, kata Maqdir.

Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, mengakui bahwa skema dan mekanisme kontrak dalam PSC bukan pengetahuan umum yang sudah dalam wacana publik. Bahkan bagi karyawan migas pun belum tentu mengerti sepenuhnya bagaimana cara kerja kontrak PSC.

“Sesuai PSC, CPI sebagai kontraktor pemerintah, mendanai dahulu semua biaya yang diperlukan untuk operasi migas sejak tahap eksplorasi, produksi dan pengembangan untuk memastikan bisa terus menghasilkan minyak yang diperlukan oleh negara,” katanya.

Menurut dia, biaya operasi inilah yang kemudian diperhitungkan atas minyak yang diproduksi oleh CPI sebelum menjadi produksi bersih. Prosentase bagi hasilnya adalah 12 persen untuk CPI dan 88 persen bagi pemerintah Indonesia.

“Tidak ada uang negara yang dipakai di operasi migas,” kata Dony dan menambahkan untuk mengatur biaya operasi mana yang bisa diganti, pemerintah menerbitkan PP No 79/2010 dan menetapkan 24 jenis biaya yang tidak dapat diberikan penggantian.

Berdasarkan PP 79/2010, jika kontraktor (CPI) telah mendapatkan penggantian biaya operasi namun jumlahnya tidak sesuai atau seharusnya tidak dapat dikategorikan sebagai biaya operasi maka pemerintah masih dapat menarik kembali jumlah selisih melalui mekanisme ‘over/under lifting settlement’. Pemerintah pun sewaktu-waktu dapat melakukan audit.

“CPI dan pemerintah berhak mendapatkan selisih dari kekurangan jatah bagi hasil minyak pada lifting berikutnya berdasarkan perhitungan audit atas biaya operasi yang telah disetujui kedua belah pihak. Selisih biaya operasi ini tidak dapat disebut kerugian CPI atau kerugian negara sepanjang mekanisme koreksi dan PSC dijalankan,” katanya.

Seperti dalam proyek bioremediasi ini, menurut Dony, SKK Migas telah menangguhkan pengembalian biaya operasi kepada CPI menunggu hasil audit yang menyeluruh terhadap proyek ini. Artinya tidak ada kerugian negara karena proyek masih sepenuhnya dibiayai CPI, apalagi dikatakan sebagai korupsi karena mekanisme koreksi over/under lifting merupakan kesepakatan kontrak yang telah dibuat pemerintah Indonesia. INT-MB