MetroBali

Selangkah Lebih Awal

JPU KPK: uang untuk Setnov disamarkan

Dokumentasi Terdakwa kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (26/3/2018). Mantan Ketua DPR itu kembali diiperiksa oleh KPK sebagai saksi dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik untuk tersangka Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Masagung. (ANTARA /Hafidz Mubarak A)

Jakarta (Metrobali.com)-
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyatakan uang sebesar 7,3 juta dolar AS untuk mantan Ketua DPR Setya Novanto diberikan dengan cara disamarkan.

“Guna melaksanakan kesepakatan tersebut, Johannes Marliem dan terdakwa kemudian mengirimkan uang kepada Setya Novanto dengan terlebih dahulu menyamarkannya,” kata JPU KPK Lie Putra Setiawan dalam sidang pembacaan dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabut.

Hal itu terungkap dalam sidang pembacaan dakwaan Direktur Utama PT Quadra Solutions Anang Sugiana Sudiharjo.

Pemberian “fee” tersebut sudah dibicarakan sejak Februari 2010 yaitu ketika Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri saat itu Irman memberitahu pengusaha Andi Agustinus terdapat komitmen fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak yang nantinya harus ditanggung oleh penyedia barang/jasa, yang mana sebesar 5 persen untuk DPR RI dan 5 persen lainnya untuk Kemendagri.

Pada sekitar akhir Desember 2011, ketua Komisi II saat itu Chairuman Harahap menagih “commitment fee” kepada Irman dan Irman menagih ke Anang, Andi Agustinus, Paulus Tannos, dan Johannes Marliem.

Akhirnya pemberian “fee” disepakati sebesar 3,5 juta dolar AS oleh Anang dan dananya akan diambil dari bagian pembayaran PT Quadra Solution kepada Johannes Marliem melalui perusahaan Biomorf Mauritius dan PT Biomorf Lone Indonesia untuk kemudian ditransfer ke rekening Made Oka Masagung di Singapura dan akhirnya diserahkan kepada Setya Novanto.

Johannes Marliem akan mengirimkan beberapa “invoice” kepada Anang sebagai dasar untuk pengiriman uang, sehingga seolah-olah pengiriman uang tersebut merupakan pembayaran PT Quadra Solution kepada Biomorf Mauritius atau PT Biomorf Lone Indonesia.

“Selain itu, terdakwa juga melakukan pertemuan dengan Johannes Marliem dan Sugiharto guna membahas jumlah `fee` yang akan diberikan kepada Setya Novanto yang rencananya akan diberikan sejumlah Rp100 miliar, namun jika tidak memungkinkan maka akan diberikan hanya sejumlah Rp70 miliar,” tambah jaksa.

Cara pengiriman uang adalah dengan memberikan uang-uang tersebut tidak langsung kepada Setya Novanto, tetapi melalui proses transfer ke beberapa rekening perusahaan dan “money changer” tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri.

Uang tersebut selanjutnya diterima oleh Setya Novanto dengan cara dan perincian sebagai berikut:

1. Diterima oleh Setya Novanto melalui Made Oka Masagung dengan jumlah keseluruhan 3,8 juta dolar AS dengan rincian melalui rekening OCBC atas nama OEM Investment, Pte. Ltd sejumlah 1,8 juta dolar AS dan melalui rekening Delta Energy, Pte. Ltd di Bank DBS Singapura sejumlah 2 juta dolar AS.

2. Diterima oleh Setya Novanto melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo pada 19 Januari-19 Februari 2012 dengan jumlah keseluruhan 3,5 juta dolar AS. Sehingga total uang yang diterima Setnov berjumlah 7,3 juta dolar AS

“Bahwa uang yang diberikan kepada Setya Novanto, Irman, Sugiharto, Diah Anggraeni, dan pihak-pihak lainnya menjadi penyebab Konsorsium PNRI tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya sebagaimana tercantum dalam kontrak,” tegas jaksa.

Realisasi biaya atas pekerjaan barang yang dilakukan oleh PT Quadra Solution dalam pelaksanaan proyek KTP-e adalah Rp1,87 triliun dan mendapatkan keuntungan sejumlah Rp79,039 miliar.

Atas perbuatannya, Anang didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Anang tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) sehingga sidang dilanjutkan pekan depan.

Sumber : Antara