bbm

Jakarta (Metrobali.com)-

Rahasia yang menyelubungi materi pembicaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan presiden terpilih Joko Widodo akhirnya mulai terkuak dengan “dibocorkannya” rahasia itu oleh presiden terpilih tahun 2014-2019 Jokowi di Jakarta, Jumat (28/8).

“Saya minta Presiden Yudhoyono untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak,red). Tapi Pak SBY menyatakan bahwa momen untuk menaikkan harga BBM belum tepat,” kata Jokowi kepada pers di Balaikota Pemerintah DKI Jakarta, Jumat (29/8).

Pertemuan kedua tokoh nasional itu di Bali pada hari Kamis mengundang perhatian jutaan masyarakat di Tanah Air terutama yang menyangkut harga BBM. Di satu pihak, Jokowi sangat berharap SBY mau menaikkan harga BBM sebelum turun “takhta” pada 20 Oktober tapi di lain pihak SBY menolak harapan itu dengan memberikan alasan “momen yang belum tepat”.

Terus melonjaknya subsidi BBM mengakibatkan pemerintah harus menurunkan jumlah BBM yang disubsidi dari 48 juta kiloliter menjadi “hanya” 46 juta kiloliter. Penurunan jumlah BBM yang disubsidi itu mengakibatkan pemerintah harus menaikkan harga, sehingga persoalannya adalah siapa yang harus melakukan hal itu yakni apakah pemerintahan petahana atau incumbent ataukah yang baru akan memerintah pada 20 Oktober 2014 hingga 20 Oktober 2019.

Pembatasan penjualan BBM terutama solar dan premium saja selama beberapa hari terakhir ini telah menimbulkan dampak yang luar biasa bagi masyarakat. Di berbagai kota, ratusan ribu bahkan mungkin jutaan para pemilik mobil dan motor harus antre di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum atau spbu. Lagi-lagi orang-orang kecillah yang menjadi korban padahal kehidupan mereka sudah begitu susah.

Kalau sudah begini, maka pertanyaannya adalah siapa yang salah? Bagi rakyat, sangat tidak penting siapa yang memutuskan untuk menaikkan harga atau sebaliknya mempertahankan harga bahan bakar itu. Yang penting bagi rakyat kecil adalah BBM harus tersedia setiap saat sehingga kapan pun dan dimana pun mereka harus membeli bbm, maka bahan pokok itu harus tersedia.

Kalau begitu persoalannya adalah apakah SBY yang menjadi Presiden hingga 20 Oktober ikhlas atau sukarela untuk menaikkan harga BBM ataukah akan diwakafkan” kepada penggantinya yang merupakan mantan wali kota Solo? Sebenarnya, walaupun SBY sudah beberapa kali bertemu dengan Jokowi misalnya di Bali beberapa hari lalu dan saat Jokowi berlebaran ke Istana, ketidakcocokan kedua pihak sudah mulai terbaca.

Pada 16 Agustus, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan Rancangan Undang- Undang APBN Tahun Anggaran kepada DPR untuk segera dibahas sehingga bisa disahkan presiden – terutama Jokowi – sebelum tahun anggaran 2014 usai.

Sebelum RUU APBN 2015 itu diserahkan kepada para wakil rakyat, pemerintah berjanji akan mengajak atau mengikutsertakan Jokowi untuk membahasnya sehingga RUU itu tetap mewakili aspirasi pemerintahan SBY tapi juga sudah melibatkan Jokowi.

Gugatan calon presiden Prabowo kepada Mahkamah Konstitusi tentang keputusan Komisi Pemilihan Umum atau KPU yang telah menetapkan Joko Widodo sebagai presiden terpilih dan Mohammad Jusuf Kalla sebagai wakil presiden terpilih rupanya telah “dimanfaatkan” oleh pemerintahan sekarang ini untuk tidak mengajak Jokowi untuk ikut membahas dan merancang APBN 2015 itu, dengan alasan harus menunggu keputusan Hakim Agung Hamdan Zoelva dan delapan hakim konstitusi lainnya tentang siapa yang bakal menjadi presiden terpilih walaupun sebagian besar masyarakat di Tanah Air sudah bisa meramalkan bahwa Joko tetap bakal diputuskan sebagai kepala negara untuk lima tahun mendatang.

Karena itu, pertanyaan yang sekarang harus dijawab adalah kapan keputusan untuk menaikkan harga BBM akan diambil dan siapa pengambil keputusan itu? Karena Susilo Bambang Yudhoyono akan turun pada 20 Oktober, maka dia tentu ingin namanya tetap baik di kalangan masyakat. Dia bisa dipastikan tidak ingin namanya menjadi tercoreng atau jelek “hanya” karena menaikkan harga BBM sehingga keputusan itu ” diserahkan” saja kepada pemerintahan pengantinya. Akibatnya tentu saja kenaikan harga bbm menjadi tugas utama atau terpenting bagi Jokowi yang akan segera mundur sebagai Gubernur Jakarta.

Walaupun sudah berulang kali menyatakan “Saya siap tidak populer dengan menaikkan harga BBM” tetap saja Jokowi dengan berat hati mengambil keputusan yang menyangkut BBM.

Jadi, hampir bisa dipastikan kenaikan harga BBM akan diambil oleh Jokowi dan Jusuf Kalla begitu mereka dilantik pada 20 Oktober mendatang, apa pun risikonya.

Rampingkah kabinet? Selain masalah BBM, maka tugas utama yang harus diselesaikan pasangan presiden dan wakil presiden baru adalah menyusun kabinet untuk lima tahun mendatang.

Pertanyaan yang mengusik saat ini adalah apakah jumlah menteri akan tetap berjumlah 34 orang seperti sekarang ataukah haru diciutkan atau dikurangi? Karena itu, di kalangan orang-orang terdekat Jokowi, sudah ada wacana untuk menyusun kabinet terutam yang menyangkut jumlahnya. Ada wacana untuk mempertahankan jumlah 34 orang seperti sekarang ini. Kemudian pikiran kedua adalah menguranginya menjadi 27 orang. Sedangkan wacana ketiga adalah jumlahnya hanya 20 orang atau menjadi 24 orang.

Mengenai jumlah, maka dasar pemikirannya adalah berapa dulu kementeriannya ataukah berapa orang PDIP atau partai-partai politik pendukung presiden-wapres yang bakal ” ditampung” sehingga bisa ditentukan berapa kementerian yang diperlukan.

Jokowi dalam berbagai kesempatan berulang kali menyatakan” Syarat untuk menjadi partai pendukung atau koalisi adalah tanpa syarat”. Jika Jokowi taat asas atau konsekuen dengan sikapnya itu, maka tentu dia akan lebih mudah mengambil keputusan. Tapi pertanyaan mendasarnya adalah apakah dengan mudah Jokowi bisa mengambil keputusan tentang jumlah menteri dengan melihat atau menyaksikan begitu banyaknya tokoh nasional yang membantu selama masa kampanye pemilihan presiden.

Masyarakat tentu tidak bisa melupakan wajah- wajah yang mengerubungi Jokowi selama masa kampanye. Tanpa perlu menyebut nama atau inisial nama mereka, rakyat bisa menonton ada seorang rektor perguruan tinggi swasta yang terus mendampingi presiden terpilih. Kemudian ada mantan menteri luar negeri. Belum lagi sejumlah tokoh partai politik yang “setia” mendampingi sang presiden dalam menghadiri acara- acara kampanye di berbagai daerah di Tanah Air.

Selain itu, bisa diduga tentu sudah ada tokoh-tokoh yang telah melakukan “pendekatan” agar mereka berpeluang menjadi menteri.

Jokowi sudah menyatakan kabinetnya akan merupakan gabungan dari politisi, teknokrat dan birokrat yang harus siap bekerja secara jujur dan profesional dan benar-benar bertanggung jawab selama lima tahun mendatang.

Jika sekarang ada tiga wacana jumlah menteri, maka bagaimana reaksinya terutama dari orang- orang terdekat sang presiden lima tahun mendatang? Jusuf Kalla sudah menyatakan jumlah 34 orang itu sudah ideal. Apa alasan sang mantan wakil presiden masa bakti 2004-2009 itu? “Kabinet dalam pemerintahan mendatang adalah kabinet kerja. Karena itu, tidak perlu bongkar pasang kementerian yang radikal,” kata Jusuf Kalla yang juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang sukses. Jika masyarakat merenungkan pernyataan Jusuf Kalla ini, maka tentu bisa diperkirakan jumlah menteri selama lima tahun mendatang tidak akan banyak berbeda jauh dengan yang sekarang ini.

Yang diperlukan atau didambakan rakyat adalah berapa pun jumlah mereka, kabinet harus mampu mengabdi kepada rakyat dan bukannya rakyat yang bekerja untuk sang menteri.

Kasus mantan menteri pemuda dan olah raga Andi Alifian Mallarangeng dan mantan menteri agama Suryadharma Ali yang diduga terlibat dalam masalah korupsi sehingga harus “dipecat” dari jabatannya harus menjadi pelajaran berharga bagi Jokowi dan Jusuf Kalla dalam memilih para pembantunya, karena jika kasus- kasus itu terulang lagi pada masa mendatang maka kapan rakyat bisa mempercayai presiden dan wakil presiden bersama puluhan menteri serta pejabat- pejabat tinggi lainnya. AN-MB