SEORANG remaja putri berwajah ayu mengenakan baju kebaya menyolok serasi dengan kain sarung motif keemasan yang dikenakan saat tampil di atas pentas memeriahkan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXV di Taman Budaya Denpasar.

Rambut panjang terurai dihiasi bunga cempaka putih dan kuning serta “gegelungan”, perhiasan kepala yang dibuat sedemikian rupa khas Pulau Dewata lebih menambah keanggunan serta kecantikan sang penari.

Diiringi alunan suara tingklik, musik instrumen gamelan tradisional yang terbuat dari bahan bambu, para penari tampil gemulai dengan mengumbar senyum yang mengundang kekaguman penonton, terutama ana-anak muda sehingga tidak mengherankan setiap pentas tari joged mampu menyedot pengunjung aktivitas seni tahunan di Pulau Dewata.

Itulah joged, tari sosial (pergaulan) yang cukup populer di Pulau Bali yang mampu menjadi menarik perhatian pengunjung dan menjadi primadona kedua setelah penampilan gong kebyar wanita, tutur dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Nyoman Cerita SS Kar, MSA, yang juga pengamat seni dan wakil Ketua III bidang pertunjukkan Listibya Kabupaten Gianyar.

Suasana pementasan terkesan sangat akrab dan jauh dari kesan formalitas. Penonton yang terdiri kalangan anak-anak muda umumnya berharap dapat menari bersama, dalam bahasa daerah setempat disebut “Ngibing”.

Penonton duduk atau berdiri berdesakan melingkari arena pentas. Mereka menanggil-manggil atau memberikan isyarat kepada penari joged agar datang dan menyentuhkan kipas kepadanya sebagai undangan untuk menari bersama.

Tontonan joged bersifat partisipatif, seperti halnya tarian pergaulan sejenis di daerah lain seperti Jaipongan di Jawa Barat (Jabar) atau Ganrung di Banyuwangi, Jawa Timur. Aktivitas atau antusiasisme tinggi diperlihatkan oleh penonton kawula muda, termasuk wisatawan yang sedang berliburan di Pulau Dewata.

Penonton pria yang diundang (pengibing) menari dan bergoyang bersama penari joged. Selama sebulan PKB berlangsung, 15 Juni-13 Juli 2012 menampilkan sekitar 21 sekaa joged bumbung, hasil seleksi terbaik dari delapan kabupaten dan kota di Bali maupun sebagai peranserta untuk memeriahkan PKB.

I Nyoman Cerita yang juga koordinator pementasan tari joged PKB menegaskan, pihaknya sebelumnya telah melakukan pembinaan kepada sekaa joged yang akan tampil di arena PKB.

Pembinaan itu menekankan agar kesenian joged yang mempunyai daya tarik tinggi bagi penonton dari semua palangan tetap menjunjung tinggi filsafat etika, logika dan estetika.

Dengan demikian mampu meningkatkan kualitas dan martabat kesenian joged yang memiliki kekhasan daerah masing-masing.

Seni dan hiburan Sekaa joged Bumbung Seraya Kanti Desa Getakan, Kabupaten Klungkung tampil di Kalangan Ayodya Taman Budaya Denpasar pada hari Selasa, 18 Juni 2013 atau memasuki hari keempat pelaksanaan PKB mampu menarik perhatian pengunjung PKB.

Tari Joged Bumbung sebenarnya bukanlah tari yang menonjolkan kesan sensual tetapi merupakan seni dan hiburan. Hal itu tergantung reaksi antara penonton dan penari, tutur Koordinator Sanggar Seni tersebut.

Untuk menepis kesan erotis pada tarian tradisional itu, pihaknya selalu memberikan pembinaan dan penekanan kepada para penari untuk membatasi gerak tari agar penampilan dalam bingkai etika, sopan, namun mampu menyuguhkan unsur keindahan.

“Kesan seni dan estetika setiap penampilan tetap menjadi acuan karena disaksikan penonton dari semua golongan umur mulai anak-anak, remaja, orang dewasa hingga orang tua,” ujarnya.

Demikian pula penampilan Sekaa joged Bisama Banjar Boongan Jawa, Kabupaten Tabanan dan sekaa joged Adhi Merdu Suara Banjar Mujul, Desa Sangkan Gunung, Kabupaten Karangasem tampil memukau penonton.

Sekaa joged yang menampilkan empat penari wanita bersama sejumlah pengibing itu mampu mengundang gelak tawa penonton, berkat memperkaya materi gamelan dengan memasukkan instrumen jenis kesenian lainnya.

Sekaa joged masing-masing duta seni dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali maupun secara sekaa yang tampil memeriahkan PKB mempersiapkan diri secara matang dengan harapan mampu tampil terbaik dibanding sekaa joged lainnya.

I Made Sumarta seorang penari “pengibing” mengaku, sangat senang bisa ikut serta menari dengan penari joged, karena gerakannya penuh dengan canda maupun kedipan matanya yang binal.

Ia mengaku, mempunyai kesenangan “ngibing”, rasanya kurang puas jika tidak dapat menari bersama sang joged saat menonton pementasan tersebut. Melihat banyak yang ingin “mengibing”, begitu pementasan dimulai sengaja memilih tempat duduk paling depan dengan harapan diundang penari untuk menari bersama, tuturnya.

Menurut Kadek Suartaya, SS Kar MSI pengamat seni yang juga dosen ISI Denpasar tari joged di Bali sudah berlangsung sejak lama secara turun temurun, meskipun belum diketahui secara pasti kapan tari pergaulan itu muncul dan siapa pula yang menciptakannya.

Ketika zaman raja-raja berkuasa di Bali, seperti halnya daerah lain di Nusantara sekitar tahun 1881, seorang raja di Bali menampilkan lima penari joged bumbung untuk menghibur tamunya.

Kelima penari joged itu merupakan “koleksi” pribadi sang raja. Mereka menari diterangi lampu minyak kelapa. Dalam keremangan malam, sinar lampu itu menyorot kain yang dikenakan sang penari, dengan ukuran ketat dan pendek.

Diiringi alunan gamelan yang lirih dan terkesan lincah, sang penari dengan “nakal” melirik tajam tamu-tamu sang raja yang memperhatikan setiap geraknya.

Dr Jacobs, seorang ahli medis Belanda ketika mengunjungi Bali pada zaman kerajaan, menulis laporannya dalam sebuah buku yang menguraikan, penari joged pada waktu itu selesai pentas, mendekati tamu-tamu raja.

Sebelumnya seorang ilmuwan Belanda, Van Eck tahun 1880 juga sempat membuat catatan tentang kesenian joged yang disaksikan lewat pementasan sebuah pesta rakyat di Bali.

Pada zaman kerajaan di Bali, kesenian joged dikuasai oleh sang raja dan kaum bangsawan. Bahkan diduga antara joged dan perseliran (Wanita simpanan) mempunyai interaksi yang sangat erat.

“Joged milik kaum bangsawan harus setia dan siap mengabdi serta mentaati semua perintah raja. Begitu pula bila sang raja ingin menyenangkan tamu-tamunya dengan suka cita akan menampilkan penari joged kesayangannya,” tutur Kadek Suartaya.

Namun, sejak penjajah Belanda menguasai nusantara, termasuk Bali “perseliran” dilarang, joged tidak lagi menjadi kesenian para bangsawan, namun berkembang bebas di luar tembok kerajaan.

Joged yang sekarang berkembang dan populer di kota maupun pelosok pedesaan Pulau Dewata, merupakan perkembangan lanjutan dari lunturnya kejayaan sang raja.

Dipandang miring Kadek Suartaya yang kesehariannya bergelut mencetak kader-kader penerus seni budaya Bali, melihat dalam perkembangan masyarakat Bali modern, penari joged masih dipandang miring, meskipun kehidupan seorang penari joged seperti zaman feodal dulu tidak ada lagi.

Artis joged umumnya wanita yang baru menginjak remaja, bahkan hampir tidak ada penari joged yang sudah membentuk rumah tangga. Oleh sebab itu, seorang wanita Bali untuk memutuskan menjadi penari joged yang profesional, mesti melewati berbagai pertimbangan yang matang.

Seniman yang menikmati pendidikan formal khususnya mendalami bidang seni tari seperti ISI Denpasar tidak seorangpun yang terjun menggeluti jenis tarian joged. Padahal seorang penari joged tidak menuntut keterampilan tari yang tinggi. Wajah yang relatif cantik menjadi modal utama untuk menjadi seorang penari joged.

Penari joged agar disegani penonton dan bisa menjadi populer merubah gerak-gerak (pakem) tari joged menjadi gerak yang erotis mengudang kegairahan kaum pria. Padahal gerak erotis itu tidak sesuai dengan tatanan tari Bali yang diwarisi secara turun temurun.

“Tari joged ibarat mengandung unsur bisnis, moral dan budaya,” tutur Kadek Suartaya seraya menambahkan, hal itu harus disadari jika sepenuhnya sekaa joged hanya berpatokan pada “pakem” tari Bali tidak mampu lagi mengundang kegairahan penonton untuk menyaksikan, padahal pada sisi lain tari itu mengandung unsur bisnis dan menciptakan lapangan kerja.

Cara-cara seperti itu terpaksa dilakukaan sekaa agar lebih populer dengan target makin banyak tanggapan dari masyarakat, buntutnya orientasinya materi seperti ini membuat joged dinilai miring atau tarian sensual yang “mengenyampingkan” moral.

Namun tidak semua sekaa berorientasi seperti itu, khususnya kesenian joged yang tampil di arena PKB, karena sebelumnya telah mendapat pembinaan dengan mengedepankan nilai-nilai moral, tradisi, aturan dan etika yang tidak tertulis tentang bagaimana praktek joged pergaulan yang sesungguhnya, tutur Kadek Suartaya.

Ketut Sutika/Ant/MB