CEMAS dan gelisah bercampur aduk di benak Wayan Suastika saat menunggui ibunya yang tergolek lemah di ruang perawatan Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya, Denpasar, belum lama ini.


Perut ibundanya, Ni Nyoman Alit (45), membesar bukan karena hamil, melainkan akibat penyakit yang membutuhkan penanganan medis agar bisa bertahan hidup.

Bukan saja merasakan penderitaan sang ibu yang melahirkannya ke dunia ini, kegelisahan Suastika lebih pada masalah biaya pengobatan. Namun kegelisahan itu tak berlangsung lama setelah pihak rumah sakit menyatakan bahwa biaya perawatan Nyoman Alit ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). “Tentu sangat meringankan beban kami. Kalau tidak ada JKBM, saya tidak tahu lagi dengan kondisi ibu,” ucapnya.

 Baginya tak ada yang rumit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis itu sehingga dia menginginkan program tersebut tidak terhenti di tengah jalan karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat di Provinsi Bali.

 Dewa Rai Oka juga merasakan manfaat dari program sosial milik Pemprov Bali itu. Pria berusia 37 tahun asal Manduang, Kabupaten Klungkung, karena sejak Januari 2013 ada mobil khusus yang membawakan obat untuk cuci darah ke tempat tinggalnya di Mengwi, Kabupaten Badung. Kardus-kardus berisi obat dan cairan seperti infus untuk cuci darah semuanya dibiayai lewat JKBM.

Sebelumnya Dewa Rai hampir putus asa menerima kenyataan pahit penghentian tanggungan pengobatan cuci darah dari Dinas Sosial Kabupaten Klungkung akhir tahun lalu. Sejak lima tahun silam kondisi kesehatannya digantungkan pada bantuan Dinsos Klungkung. Namun alasan klasik terbatasnya anggaran menjadikan Pemkab Klungkung menghentikan bantuan kesehatan yang sangat dibutuhkan masyarakat itu.

 “Saya merasa makin memberatkan keluarga dan tak berguna karena semenjak menderita gagal ginjal sudah tak bisa bekerja lagi. Sehari-hari saya hanya membantu istri berjualan di warung,” katanya menuturkan.

Ia merasa sebagai manusia yang paling beruntung setelah mendapatkan informasi tentang JKBM. Saya pun langsung datang ke UPT JKBM di Renon. Dari sanalah saya mendapat harapan baru untuk dapat meneruskan hidup kembali,” kenangnya.

Hampir semua rumah sakit daerah di kabupten/kota di Bali, termasuk RSUP Sanglah terjadi penumpukan pasien, khususnya di ruang perawan kelas III. Lorong-lorong rumah sakit pun disulap menjadi ruang perawatan sementara untuk menampung luberan pasien yang tak pernah diduga sebelumnya itu.

 Sejak Januari 2010 Pemprov Bali meluncurkan program JKBM. Program prorakyat yang digagas di bawah pemerintahan Made Mangku Pastika dan Anak Agung Ngurah Puspayoga itu bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari berbagai biaya kesehatan dasar, rawat inap, operasi, dan obat-obatan.

Pastika menggagas program tersebut kondisi nyata di lapangan bahwa dari 4,2 juta penduduk di Pulau Dewata, sekitar tiga juga jiwa belum memiliki asuransi kesehatan yang ditanggung lewat Askes, Asabri, ataupun asuransi lainnya. Berulangkali Gubernur asal Bali utara itu “blusukan” ke rumah sakit daerah dan mendapatkan kenyataan pahit, warga yang sudah miskin harus menderita sakit parah.

 Kalau tidak ada JKBM, maka sindiran “orang miskin dilarang sakit” akan jadi kenyataan. Harta benda dan simpanan berharga orang miskin menjadi satu-satunya aset pemliharaan kesehatan. Orang yang terpuruk di lembah kemiskinan akan semakin sulit membayar biaya pengobatan yang kian melambung. Tanpa JKBM, bisa jadi Nyoman Alit dan Dewa Rai Oka putus asa dalam menjalani sisa hidupnya itu.

Program yang Dinantikan  Bali dengan gemerincing dolarnya dari wisatawan mancanegara sangatlah ironis oleh deraan kemiskinan, pengangguran, dan persoalan kesehatan. Badan Pusat Statistik mencatat dari 700-an desa yang ada di Bali, sebanyak 82 desa hidup pada garis kemiskinan di atas 35 persen dan lebih dari 100 desa dengan tingkat kemiskinan di atas 25 persen.

 Dinas Kesehatan Provinsi Bali juga mencatat jumlah penderita gizi buruk di Pulau Dewata pada 2012 meningkat dibandingan tahun sebelumnya. Jumlah kasus gizi buruk pada 2012 ditemukan sebanyak 86 kasus, sedangkan 63 kasus pada 2011. Dari 86 kasus gizi buruk yang ditemukan, terbanyak di Kabupaten Karangasem yakni 23 kasus, disusul posisi kedua Buleleng (19) dan ketiga terbanyak di Gianyar (12). Kasus gizi buruk ditemukan merata pada semua kabupatenn/kota.

Gubernur Bali dalam berbagai kesempatan menyatakan sungguh tidak pas kalau daerah yang dipimpinnya dengan julukan pulua surga itu masih banyak penduduk yang miskin dan sakit. “Yang namanya Pulau Dewata, seharusnya di dalamnya bermukim dewa-dewa, tentu yang namanya dewa semua dalam keadaan sejahtera. Tak ada yang bodoh, sakit dan miskin,” seloroh Pastika.

JKBM sebagai penopang layanan kesehatan dasar asyarakat dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan jumlah klaim. Pada 2010, dari total anggaran yang disiapkan Pemprov Bali dan dana pendampingan kabupaten/kota untuk JKBM sebesr Rp179,25 miliar, telah dicairkan sebesar Rp119,80 miliar atau 66,81 persen.

Pada 2011 meningkat lagi dana yang terserap untuk JKBM menjadi 72,6 persen atau yang diklaim mencapai Rp136,06 miliar dari total Rp187,23 miliar anggaran yang dialokasikan. Demikian juga pada 2012, total dana yang digunakan mencapai87,45 persen (Rp206,35 miliar) dari dana yang disiapkan sebesar Rp235,95 miliar.

 Dilihat dari total kunjungan pasien yang menggunakan JKBM pada 2010 yakni 1.233.639 jiwa, terbanyak di Kabupaten Gianyar 217.794 pasien, sementara pada 2011 tingkat kunjungan mencapai 1.481.325 pasien dan posisi kunjungan teratas di Kabupaten Buleleng sebesar 258.075 jiwa. Sedangkan pada 2012, JKBM sudah dimanfaatkan oleh 1.907.102 pasien. Tahun 2013 hingga akhir Maret, JKBM sudah melayani 487.181 pasien.

Kepala Biro Humas Pemprov Bali Ketut Teneng mengatakan, peningkatan klaim JKBM itu menunjukkan bahwa betapa JKBM sangat dicintai, dibutuhkan dan dinanti-nanti oleh masyarakat untuk membantu mereka mendapatkan layanan kesehatan. “Masyarakat makin sadar manfaat nyata yang bisa dinikmati dari JKBM,” ujarnya.

 Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya juga menyampaikan berkat adanya JKBM telah berdampak pada penurunan angka kematian ibu dan bayi akibat melahirkan di Bali. Untuk 2011 saja, angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Pulau Dewata jauh lebih baik dibandingkan rata-rata yang ditargetkan nasional. AKI Bali sebesar 84,25 per 100 ribu kelahiran hidup, sementara secara nasional 126 per 100 ribu kelahiran hidup. Sedangkan AKB Bali sebesar 7,21 per 1.000 kelahiran hidup jauh lebih baik dibandingkan rata-rata nasional yakni 120 per 1.000 kelahiran hidup.

 Di sisi lain, para penderita katarak ikut pula menikmati berkah adanya JKBM. Rumah Sakit Indera, Denpasar yang merupakan RS milik Pemprov Bali setiap tahunnya rata-rata telah mengoperasi 6.764 penderita. Sekitar 70 persen dari total pasien yang menderita gangguan mata itu dibiayai dari JKBM.

 Mulai awal 2013, lewat JKBM juga ditanggung biaya cuci darah atau hemodialisis seumur hidup bagi penderita gagal ginjal. Bahkan mulai 15 April 2013, kelainan cacat bawaan bayi seperti hidrosepalus, bayi tanpa anus, dan bayi tanpa saluran kencing juga digratiskan melalui JKBM.

Komoditas Politik

 Jika lima tahun lalu Gubernur Pastika-Wagub Puspayoga beradu argumentasi menguji efektivitas JKBM sekaligus mengevaluasinya di lapangan, maka mereka kini dihadapkan pada kenyataan politik yang pragmatis. Mereka harus beradu kepala (head to head) untuk menjadi pemimpin sejati di Pulau Seribu Pura itu.

 Beragam cara dilakukan untuk menarik simpati masyarakat. Termasuk saling klaim dan saling jegal JKBM yang sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dari beberapa kali kesempatan debat kandidat, baik yang disiarkan televisi nasional, televisi lokal, maupun penyampaian visi dan misi dalam Sidang Paripurna DPRD Bali, JKBM menjadi komoditas politik untuk kepentingan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur.

Puspayoga misalnya mengaku sebagai penggagas awal JKBM. Program itu digagasnya sejak masih menjabat Wali Kota Denpasar, sedangkan Pastika mengklaim program tersebut dia implementasikan setelah belajar dari Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin.

 “Pemprov Bali mengirimkan tim ahli untuk ke Palembang (Sumsel) belajar jaminan kesehatan di sana, dan JKBM merupakan layanan kesehatan dengan sebelumnya dilakukan banyak penyesuaian dibandingkan program yang sudah diterapkan di Palembang,” tegasnya dalam beberapa kesempatan kampanye Pilkada Bali.

 Kenyataan yang sangat menyedihkan adalah terungkapnya ulah oknum kepala desa dan kepala dusun yang tidak membagikan kartu JKBM elektronik (e-JKBM) kepada warganya. Padahal kartu itu disiapkan untuk mempermudah akses masyarakat mendapat layanan JKBM. Kenyataan itu sulit dihindarkan dari konstelasi politik menjelang Pilkada Bali pada 15 Mei 2013.

Dari penelusuran pada 16 April 2013 didapati fakta bahwa 707 lembar e-JKBM di Desa Unggahan, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, menumpuk di kantor kecamatan. Padahal kartu itu telah ditelah diterima pihak Kecamatan Seririt dari Pemprov Bali sejak akhir 2012.

Pemandangan yang sama terjadi di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, polisi telah memeriksa enam kepala dusun karena hampir 90 persen warga desa itu belum menerima kartu JKBM.

Akhirnya Gubernur Bali sampai meminta pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan untuk memastikan pendistribusian kartu JKBM bagi 5.000 warga Desa Bungkulan tersebut. Di sisi lain, mantan Kapolda Bali itupun sempat dibuat terkejut ketika melakukan inspeksi mendadak ke RSUD Bangli karena ditemukan salah satu warga yang bernama Nengah Dompet (65) diharuskan membayar uang panjar Rp610 ribu oleh pihak rumah sakit akibat tak mengantongi kartu JKBM.

Padahal desa-desa di Kabupaten Bangli seharusnya sudah menerima kartu JKBM karena dari total 857.219 kartu yang disiapkan Pemprov Bali, telah terdistribusi pada semua kecamatan.

Ketua Komisi I DPRD Bali I Made Arjaya geram dengan hal itu karena secara tidak langsung para politikus telah menzalimi masyarakat yang membutuhkan bantuan layanan kesehatan. Meskipun JKBM di beberapa desa itu sudah dibagikan, dia mendorong polisi mengusut kasus penyelewengannya. “Kecuali ada pencabutan laporan, tetapi ini memberikan pelajaran bagi siapa yang menghambat program untuk rakyat, supaya tidak mempermainkan hak-hak rakyat,” katanya.

 Di sisi lain, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof Dr dr Ketut Suastika berpandangan konsep JKBM yang sudah baik dan mencakup pelayanan kesehatan untuk semua masyarakat, tidak sepatutnya direcoki oleh kepentingan politik. Dengan konsep yang sudah bagus, sebenarnya tinggal Pemprov Bali memperbaiki dari sisi implementasinya, terlepas siapa pun nanti yang memenangkan Pilkada. Jikapun belum semua masyarakat memiliki kartu JKBM, diharapkan sosialisasi yang dilaksanakan pemerintah supaya lebih meluas dan sistemnya diperjelas.

 “Tahun depan dengan mulai diberlakukan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS), maka kebijakan pemerintah pusat juga harus disinergikan dengan JKBM,” katanya. Intinya Suastika berharap jangan sampai rakyat dikorbankan.

Atas kisruh JKBM terkat dengan hajatan politik, Pemprov Bali telah mengambil langkah pendirian Posko JKBM beralamat di UPT Jaminan Kesehatan Masyarakat Bali Jalan Cut Nyak Dien nomor 1 Denpasar. Di sana masyarakat Bali akan difasilitasi untuk memberikan masukan, kritik dan keluhan tentang JKBM.

Kepala Biro Humas Pemprov Bali Ketut Teneng menggugah nurani semua pihak agar jangan mencampuradukkan unsur politik dengan masalah kemanusiaan. Apalagi tahun ini alokasi dana yang diarahkan untuk JKBM meningkat lebih dari Rp44,6 miliar dibandingkan pada 2012 atau total anggaran JKBM tahun ini menjadi Rp280,66 miliar.

Wartawan Antara

Ni Luh Rhismawati