PAWAI Ogoh-ogoh dalam rangka Nyepi bukanlah sesuatu yang diharuskan oleh agama, namun dibenarkan oleh agama. Ia sebagai kreativitas, penjabaran Hari Raya Nyepi agar lebih bisa dipahami, dalam visualisasi Bhuta. Demikian dipaparkan Dewa Gede Ngurah Swastha, SH, Petajuh Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman, Rabu (14/3).

Nyepi, sebagai perayaan tahun baru Caka umat Hindu di Bali dirayakan dengan nyomia: menetralisir kekuatan atau pengaruh buruk, negatif, sifat merugikan dari Bhuta Kala, menjadi baik. Watak Bhuta Kala disomia, dinetralisir, diharmoniskan menjadi sifat-sifat Dewa (penolong, baik, dan sebagainya), menjadi Dewa. “Bhuta Kala tidak boleh diusir,” ujar Swastha. “Mengusir Bhuta Kala itu salah kaprah, yang benar adalah menyomia Bhuta Kala,” terang pria yang juga pengamat politik dan budaya ini. Menurutnya, Bhuta Kala tidaklah jahat, jadi Bhuta Kala tidak diusir, tapi sekali lagi: dinetralisir.

Konsep Bhuta Kala seperti mata uang logam. Bhuta Kala dan Dewa mengisi dua muka pada sekeping uang logam. Dalam konsep Hindu, alam semesta terdiri dari Panca Maha Bhuta. Misalnya air. Jika alam diperlakukan baik, air hujan hanya akan menjadi penolong (Dewa). Ia bisa dipakai untuk minum, mandi, mengalir jadi sungai, laut, dan sebagainya. Tapi saat air laut menjadi gelombang Tsunami, air menjadi Bhuta.

Jika manusia memelihara alam dengan baik, maka alam akan meresponnya dengan baik pula. Mereka somia. Tapi saat manusia tidak bisa menyomia Bhuta Kala, ia muncul dalam watak-watak negatif. “Saya tidak berani menyebut Tuhan marah. Tuhan kok marah? Ia bekerja sesuai takdir. Alam yang marah. Saya juga tidak berani mengatakan Bhuta adalah jahat,” jelas pria yang juga Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Bali ini.

Alam adalah manifestasi Tuhan. Sifat-sifat negatif alam yang merusak, muncul dan menghancurkan manusia dan alamnya inilah yang disebut Bhuta. Sifat angker, bengis dan kejam yang berbanding terbalik dengan sifat Dewa, lalu divisualkan dalam wujud raksasa: bertaring, mata melotot, rambut beriap-riap, dan sebagainya. “Jadi tidak ada Bhuta Kala cantik, atau naik sepeda motor,” katanya. “Tidak ada dalam susastra Hindu yang seperti itu,” tegas Swastha.

Inilah Bhuta Kala yang disomiakan melalui upacara Tawur Kesanga (pengorbanan suci yang dilakukan sehari sebelum Nyepi). Bhuta Kala disomia dengan doa-doa pada Tuhan, sambil memberi sesaji pada Bhuta. Harapannya, supaya Tuhan memberi somia kepada Bhuta.

Namun agama tidak berhenti dalam upacara saja, ia harus dilakukan dalam tindakan nyata. Filsafatnya dikuasai, doa upacara dilakukan, tindakan nyata juga dikerjakan (Panca Maha Bhuta atau alam semesta dipelihara).

Dari sini kita melihat kedudukan ogoh-ogoh. Pawainya bukan perintah agama, namun sebagai budaya agama yang didukung oleh filsafat agama. Maka saat pawai ogoh-ogoh menjadi ajang kritik sosial atau hal lain, ia salah, karena tidak ada kesesuaian antara filsafat agama dan ogoh-ogoh dalam kaitannya dengan Nyepi. Ini sama ketidaksinkronan filsafat dan tindakan jika pawai ogoh-ogoh dilakukan di luar Tawur Kesanga.

Tidak ada ogoh-ogoh Bhuta Kala di luar Nyepi. “Tidak ada dalam susastra manapun Bhuta Kala mirip SBY, Angelina Sondakh, Nazaruddin. Cuma ya lepas dari orang melihat mereka baik atau buruk, jangan dihubungkan dengan Bhuta Kala, karena akan menggeser makna pawai ogoh-ogoh dalam kaitan dengan Nyepi. Tapi kalau dibuatkan boneka-bonekaan sebagai kritik sosial dan diarak di luar Nyepi tidak masalah,” tandas Swastha.

Ogoh-ogoh milik Nyoman Tanaya misalnya. Nazaruddin dan Angelina Sondakh dijadikan manifestasi Bhuta Kala oleh warga Banjar Tegal Sari, Dangin Puri, Denpasar ini. Tanaya menerima ide tokoh ogoh-ogoh itu dari Rizky, putra pertamanya yang masih duduk di Kelas 3 SMP itu.

Tersangka kasus korupsi itu dianggap mewakili sifat Bhuta Kala. “Jangan lihat casingnya, lihat maknanya, Patung ini mewakili sifat Bhuta Kala yaitu rakus, korup, dan merusak,” ujar Tanaya saat diwawancara Metro Bali (MB) di kediamannya.

Tenaya juga sedang membuat ogoh-ogoh Arjuna memanah dilengkapi lambang KPK di atasnya. “Panah itu sebagai simbol senjata KPK agar bisa memberantas korupsi dengan tepat tanpa tebang pilih,” imbuhnya di depan ogoh-ogoh yang menghabiskan dana Rp 2 juta itu.  Ogoh-ogoh itu akan dibakar usai diarak, perlambang pembakaran sifat buruk mereka, dengan harapan hanya akan bersisa sifat-sifat baik di bumi ini. GAB-MB