Keterangan foto: Ilustrasi anak-anak

Jakarta, (Metrobali.com)  –

Ditinjau dari sisi pembangunan kesehatan, Indonesia masih dalam proses menuju konsep negara sejahtera. Hal itu terlihat dari berbagai isu kesehatan yang masih menjadi headline pemberitaan nasional. Mulai dari akses terhadap fasilitas kesehatan, sistem jaminan kesehatan / BPJS hingga kasus-kasus kesehatan anak seperti  stunting atau gizi buruk yang masih bermunculan.

Dalam rangka menuju negara sejahtera, Indonesia telah menerapkan social security state (jaminan sosial nasional) melalui Undang-Undang Nomor: 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang menurunkan Undang-Undang Nomor : 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Selain itu, dalam UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, terdapat beberapa hal yang menjadi tanggung jawab pemerintah terhadap kesehatan masyarakat, diantaranya:

·         Pasal 17 menekankan pada tanggung jawab pemerintah atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

·         Pasal 18 mewajibkan pemerintah untuk memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.

·         Pasal 19 memuat soal tanggung jawab pemerintah atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) melihat adalah tanggung jawab pemerintah atas kesehatan masyarakat telah diakomodir melalui peraturan tersebut. Namun implementasinya, masih banyak yang perlu dibenahi, terutama pemenuhan hak kesehatan anak.

Salah satu yang jelas terlihat adalah anak penderita stunting/ gizi buruk yang masih bermunculan di sejumlah daerah. Meski Riset Kesehatan Dasar 2018 menyatakan prevalensi stunting Indonesia menurun dari 37,2 % pada Riskesdas 2013 menjadi 30,8 % Riskesdas 2018, namun angka tersebut masih berada di atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Prevalensi stunting/kerdil balita Indonesia ini terbesar kedua di kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%.

Ketua Umum KOPMAS Arif Hidayat, SE., MM mengatakan bahwa pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai yaitu pemenuhan hak kesehatan anak, terutama tentang gizi. Oleh karena itu, KOPMAS berharap pada pemerintahan periode 2019 – 2024 untuk menempatkan gizi dan hak kesehatan anak dalam skala prioritas pembangunan kesehatan bangsa.

 “Tanggung jawab pemerintah adalah menjamin kesehatan masyarakat. Oleh karena itu kami berharap pemerintahan periode berikutnya memprioritaskan pemenuhan gizi dan kesehatan anak dalam program kerjanya. Kami yakin, apabila gizi dan kesehatan anak menjadi prioritas, Indonesia dapat keluar dari zona gizi buruk yang ditetapkan oleh WHO. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap pangan olahan yang kerap dikonsumsi anak namun tinggi kandungan gula garam lemak (GGL), mengingat konsumsi GGL yang tinggi menyebabkan anal rentan terkena penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas. Pemerintah, dalam hal ini BPOM dan Kemenkes harus memiliki sistem dan regulasi yang lebih baik terkait peredaran pangan olahan yang tinggi kandungan GGL tersebut,” ujar Arif Hidayat.

Lebih lanjut, KOPMAS berharap dalam debat calon presiden putaran ketiga yang akan dilaksanakan 17 Maret 2019 di Hotel Sultan, ada kandidat yang bisa memberikan langkah nyata dalam rangka mengintervensi kesehatan anak.

“Sejauh ini kami belum melihat pasangan capres yang memberikan langkah nyata untuk mengangkat gizi dan kesehatan anak. Harapannya, pada debat ketiga ini yang mengangkat tema Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan serta Sosial dan Kebudayaan, isu gizi dan kesehatan anak dapat menjadi perhatian,” tegas Arif Hidayat.

Sumber: Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS)