Lomba Layang Layang Sanur

Layang-layang bukan sekadar ornamen di hamparan birunya langit Pulau Bali pada musim kemarau seperti sekarang, melainkan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya masyarakat setempat.

Sebagian anak muda di Bali mencoba mengaktualisasikan fenomena budaya yang terancam punah itu. Layang-layang yang biasa mengawang, diangkatnya ke layar lebar melalui film dokumenter berjudul “Janggan Harvesting The Wind”.

Pemutaran film perdananya bertepatan dengan umat Hindu merayakan Umanis Galungan, Kamis. Hal itu pula yang menyebabkan tiga ruang pertunjukan di Denpasar Cineplex penuh oleh penonton, baik tua maupun muda, berbaur tanpa membedakan warna kulit dan latar belakang suku bangsa.

Film berdurasi satu jam 18 menit itu bercerita tentang perjalanan Janggan sebagai salah satu jenis layang-layang tradisional sejak 1918 hingga 2012.

Kisah dalam film tersebut dibuka oleh rasa penasaran Petra Moerbeek, mahasiswi asal Belanda, atas foto layang-layang Janggan pada tahun 1918. Foto itu dia dapatkan dari leluhurnya di Amsterdam, Belanda, yang pernah bertugas di Indonesia saat masa penjajahan.

Berbekal foto tersebut, Petra menjejakkan kakinya ke Bali. Dari pelayan hotel tempatnya menginap di kawasan Sanur, Denpasar, Petra mendapatkan nomor kontak Anak Agung Yoka Sara, produser film dokumenter tersebut yang juga “rare angon” atau penggemar layang-layang.

Petra tidak hanya menemui sekelompok anak muda yang gemar bermain layang-layang, tetapi juga mendengarkan cerita para sesepuh dari Puri Gerenceng, Banjar Abian Timbul, dan tokoh-tokoh dusun adat di Bali sebagai peletak dasar tradisi permainan tersebut.

Bahkan, mahasiswi berusia 19 tahun yang fasih berbahasa Indonesia itu terlibat langsung membantu anggota “sekaa” (kumpulan anak muda) merancang dan membangun Janggan, termasuk ritual-ritual keagamaan, baik sebelum maupun setelah festival layang-layang digelar di Pantai Padanggalak, Denpasar, digambarkan secara apik dalam film garapan sutradara Erick Est tersebut.

“Film ini memotret sejarah Janggan sejak 1918 hingga 2012. Selama masa itu, Janggan tidak hanya menghiasi langit Bali tiap musim layangan tiba, tetapi juga adu gengsi antar-‘sekaa rare angon’,” kata Yoka Sara.

Menurut dia, sejarah tersebut tidak hanya direpresentasikan oleh warna-warni ekor Janggan yang panjangnya mencapai 240 meter, tetapi juga melalui pencarian jejak falsafah di balik fenomena tradisi masyarakat Pulau Dewata.

Film yang pembuatannya dimulai pada bulan September 2012 hingga Oktober 2013 merefleksikan layang-layang sebagai bagian dari budaya masyarakat Bali berikut perbedaan pembuatan, bahan, dan hal-hal yang terkait lainnya.

“Hingga saat ini belum ada satu pun media, baik visual maupun tekstual, yang telah mendokumentasikan proses di balik megahnya Janggan. Akibatnya, tidak banyak pula generasi muda yang tahu proses di balik pembuatan Janggan, kecuali penyampaian secara lisan secara turun-temurun,” ujar Yoka Sara.

Menatap Cannes Secara umum film yang bakal diikutsertakan dalam Festival Film Cannes, Prancis, mampu memberikan gambaran secara visual mengenai seluk-beluk pembuatan layang-layang raksasa itu yang sudah menjadi bagian ritual dan budaya masyarakat Bali.

Namun, sayang film tersebut kurang memberikan tempat kepada sebagian masyarakat yang kontra atau terusik oleh layang-layang. Apalagi, festival tahunan di Padanggalak telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa.

Peristiwa tewasnya seorang bocah akibat tertimpa Janggan saat asyik menonton Festival Layang-Layang di Pantai Padanggalak pada tanggal 15 Juli 2012 hanya digambarkan melalui potongan-potongan berita di media “online”.

Film itu juga masih menonjolkan arogansi anggota “sekaa rare angon” saat berkonvoi di jalan raya sambil mengusung layang-layang yang lebarnya melebihi bak truk, sedangkan pengguna jalan lainnya tengah pasrah di tengah kemacetan arus lalu lintas.

Dari segi pengambilan gambar, film tersebut juga terkesan membosankan karena keterangan narasumber lebih mendominasi ketimbang figur layang-layang yang menjadi kebanggaan masyarakat dusun adat. Masyarakat luas tentu ingin mengetahui detail pembuatan badan layang-layang, “tapel” (kepala dan hiasan), dan “buntut” (ekor) yang dikerjakan secara terpisah oleh ahlinya.

Selain itu, gambar narasumber sering kali terpotong, terutama pada bagian kepala, termasuk wajah Petra sebagai tokoh utama dalam film tersebut juga sering kali tidak utuh. Padahal, eksotisme Petra sebagai warga negara Belanda keturunan pribumi layak ditampilkan secara utuh. Begitu pula, latar belakang ketertarikannya pada layang-layang sebagai permainan tradisional yang tertelan modernitas teknologi.

Walau begitu, film karya sineas lokal Bali yang pertama itu layak diapresiasi. “Film ini bisa meningkatkan motivasi generasi muda dalam mendokumentasikan ekspresi kebudayaan khas Bali yang mengandung banyak nilai sejarah, budaya, dan spiritual. Film ini bisa menjadi media informasi dunia luar akan beragamnya budaya Bali,” kata Wakil Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara sebelum menonton bareng “Janggan Harvesting The Wind” itu.

Film yang narasinya diisi oleh Sandrina Malakiano itu juga berisi pesan tentang gotong royong dan semangat pantang menyerah layaknya Janggan yang tangguh menghadapi tiupan angin di atas langit.

“Kuasa matahari menjadi kawan, bukan lagi lawan yang mampu menyilaukan mata mereka,” komentarnya mengenai heroisme “Rare Angon”. AN-MB