Jangankan Seorang ‘’Wayan Sudirta’’, Awatara Krisna pun Dihujat
Semakin tinggi sebatang pohon, semakin keras angin meniup! Itu berlaku pada siapa saja, termasuk sosok Wayan Sudirta, kelahiran Desa Pidpid, Karangasem 20 Desember 1950. Semasa Orde Baru, sebagai advokat di kantor LBH Jakarta, dibawah pimpinan Adnan Buyung Nasution, SH (alm), dan berlanjut dengan mendirikan kantor sendiri di Jakarta, Sudirta merupakan advokat dan aktivis yang kritis melawan represi Orde Baru. Ia memela orang-orang kecil yang tertindas. Karena represi Orde Baru sangatlah keras, dan acapkali dengan kekerasan fisik, Sudirta melakukan pertahanan dan perlawanan yang ‘’keras’’ guna membela klien maupun masyarakat.
Sikap keras itulah yang diplesetkan sebagai ‘’kasar’’ dan kurang baik dengan ‘’kearifan lokal’’ yang adiluhung. Padahal, ketika Bima membunuh Duryudana, pertempurannya sangatlah keras dan ‘’kasar’’. Bima bertindak keras dan ‘’kasar’’ karena kekasaran Duryudana sejak merancang ‘Goa Gala-gala’’, meracun Bima, bermain dadu dan merampas istana Pandawa, menelanjangi Drupadi, menolak mengembalikan istana Pandawa dan menolak memberi ‘’hanya’’ lima desa, ditolah mentah-mentah; hanya bisa dilawan dengan tindakan keras. Krisna yang membunuh Sisupala serta Kangsa yang jahat pun, menerima hujatan dari Asura yang memuja ‘’Kegelapan’’.
Maka, kalau seorang Wayan Sudirta, disana-sini difitnah dan dijelek-jelekkan, sebetulnya bukan hal yang aneh. Awatara Krisna dihujat, Pandawa dituduh tidak adil, padahal mereka adalah putra-putra Dewa. Maka, sekali lagi, seorang Wayan Sudirta yang beberapa kali secara diam-diam diisukan melakukan hal-hal yang seakan-akan ‘’tidak adil, tidak taat hukum’’, masyarakat sudah tahu, dari mana fitnah itu berasal
Seperti ketika jaman Orde Baru, karena membela petani Pecatu yang tanahnya dirampas dan dikuasai tanpa ganti rugi, Sudirta diburu-buru dalam status DPO (daftar pencarian orang) tanpa alasan yang kuat, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh.
Maka, kalau kini di sisa waktu yang sedikit mendekati hari H 9 Desember 2015, fitnah-fitnah terus disebar, upaya menjelek-jelekkan terus dikumandangkan, itu bukanlah soal yang aneh.
Ada yang secara tanpa etika menyebut beliau sebagai Pak Tua. Ada yang ngomong beliau sebaiknya momong ucu, metamped-tamped…semuanya diluar konteks yang jelas dengan sesuatu yag kita perjuagkan untuk memajukan Karangasem.
‘’Apakah, kalau kita membalas segala sindiran dan caci maki terseut dengan mengatakan apakah secara moral seorang figur yang berpoligami, yang bisa disebut mengambil suami orang , bisa memimpin masyarakat???? Ujar Wayan Nuardi, Wayan Sumarta, Made Kastra dan lain-lain, barisan rakyat kecil yang hidupnya penuh suka dan duka, dan memimpikan Karangasem maju dan sejahttera. Mereka tidak suka menyaksikan orang melakukan serangan ke arah pribadi, yang tak ada konteksnya dengan pembangunan Karangasem.
‘’Namun kalau mereka terus-terusan melakukan hal itu, tak ada salahnya, demi keadilan dan asas proporsional, masalah-masalah cacat moral, cacat sosial dan cacat etika yang ada, sudah saatnya di-share…Berpoligami sebagai istri ke-sekian apakah benar itu berarti ‘’mengambil suami orang?”
Namun, Wayan Sudirta sendiri sudah sangat biasa mengalami berbagai ‘’bully’’, fitnah, dan caci maki yang dilakukan di belakang. “Siapalah saya ini, manusia biasa yang banyak kekurangan. Orang Awatara yang titisan Wisnu pun dihujat. Pandawa yang lahir dari para Dewa pun dihinakan, diasingkan ke hutan, dan akhirnya berperang dengan Saudara, kakek, guru-gurunya…Jadi, saya tidak bersedih oleh fitnah, tidak menyesal melakukan pelayanan masyarakat hanya karena sindiran dan cacian,’’ ujar Wayan Sudirta. RED-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.