KONFERENSI Tingkat Menteri World Trade Organitation (KTM WTO) di Nusa Dua sudah, sedang dan akan berakhir. Sejumlah protes dan seruan: Hentikan (end) WTO, seakan angin berlalu. Sehingga, KTM WTO Bali dipandang sebagai “jamuan makan malam berlanjut” (The supper continue) pengusung gagasan pasar bebas. Mengingat, WTO sebagai Organisasi Perdagangan Dunia tetap menghargai dan memfasilitasi kepentingan kaum elite, dan seolah  peduli kaum ‘ekonomi sulit’ (miskin).

=============================

Kilas balik
Pada tahun 1999, kota Seattle, Amerika Serikat, menjadi saksi mata bagaimana Konferensi Tingkat Menteri WTO yang ketiga mendapatkan penolaknya yang sangat besar dari masyarakat. Pada saat itu, puluhan ribu orang dari berbagai golongan dan kelompok orang berkumpul dan memblokir jalan-jalan menuju ke tempat penyelenggaraan konferensi. Mereka menuduh WTO sebagai biang dari semua kekacauan dan kejahatan dunia: membuat orang miskin makin miskin, membuat pendidikan mahal, membuat lingkungan rusak, membuat buruh kehilangan pekerjaan, membuat kaum perempuan kian tertindas, membuat anak-anak dipaksa bekerja, dan sebagainya. 

Aksi tersebut mampu membuat pusat bisnis di kota Seattle berhenti. Konferensi yang dibayangkan akan menjadi pesta yang menyenangkan berubah menjadi ajang pertempuran. Di luar para demonstran menggebu menuju tempat konferensi dan dicegat oleh polisi. Pada awalnya aksi unjuk rasa berlangsung dengan damai dan tidak ada kekerasan, tetapi lambat laun kekerasan tidak terhindarkan. Tidak ada lagi suasana damai di Seattle, digantikan “suasana perang”.

Akibatnya Konferensi Tingkat Menteri WTO di Seattle gagal total dan tidak menghasilkan kesimpulan apapun. Para menteri perdagangan pulang dengan tangan hampa. Kejadian itu menjadi satu bentuk perlawanan oleh masyarakat sipil paling besar dan paling berhasil yang pernah dilakukan. Mereka berhasil menggagalkan konferensi elite tingkat tinggi yang diklaim sebagai persekongkolan antara pemerintah dan pelaku bisnis.

Apapun, tragedi Seattle 1999 menjadi pelajaran bagi para pemimpin dunia, bahwa keputusan harus diambil dengan memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Bila peringatan ini tidak diindahkan tantangan itupun akan hadir setiap saat. Suatu hal yang terus berulang, setiap WTO mengadakan pertemuan, yang berakhir gagal. 

Dalam artian, setelah mengalami kegagalan dalam KTM III Seattle, WTO kembali mengalami kegagalan dalam perundingan di KTM V Cancun, Mexico. Kegagalan perundingan di KTM V Cancun disebabkan karena sidang mengalami kebuntuan akibat perbedaan pandangan antara negara-negara maju dan negara berkembang mengenai isu-isu khususnya di bidang pertanian.

Bali memang bukan Cancun, apalagi Seattle. Namun, pulau ini punya sejarah panjang perlawanan atas liberalisme dan kapitalisme. Sejumlah perang habis-habisan (Puputan) pernah terjadi di pulau seribu pura ini untuk itu. Sayangnya semua itu pudar dan berlalu, seperti dalam sejumlah perhelatan sejenis sebelumnya,, APEC, BDF, atau WCF, meski hanya menghasilkan berbagai kesepakatan indah diatas kertas, tanpa ikatan untuk melaksanakan.

Berkat Paket Bali 
Setidaknya ada tiga agenda besar perundingan kali ini yang dikenal dengan: “Three Bali Deliverables’ atau Paket Bali. Agenda tersebut meliputi fasilitasi perdagangan, pertanian, dan pembangunan di negara miskin. Tiga hal yang menjadi titik krusial, yang di kemas dalam Paket Bali telah menjadi jalan bebas hambatan  perundingan WTO kali ini. Pernyataan keras, protes atau demonstrasi pasti berlalu seiring waktu.

Fasilitasi perdagangan merupakan salah satu konsesi bagi negara berkembang yang mau menyutujui proposal negara maju. Namun, Amerika Serikat bersikap skeptis terhadap fasilitasi perdagangan ini, khususnya tentang dana peningkatan kapasitas bagi negara miskin. Didasari asumsi yang menyatakan bahwa peningkatan kapasitas ini tidak diperlukan karena negara maju telah memberikan bantuan pembangunan untuk tujuan yang sama. 

Sementara itu, perundingan untuk isu pertanian diwarnai dengan munculnya joint paper AS-UE, proposal Group 20 (yang menentang proposal gabungan AS-UE) dan proposal Group 33, yang memperjuangkan konsep “mekanisme produksi dan ketahanan khusus” (special product dan special safeguard mechanism) untuk pertanian dan pangan.

Dimana, joint paper AS-UE antara lain memuat proposal yang menghendaki adanya penurunan tarif yang cukup signifikan di negara berkembang. Tetapi tidak menginginkan adanya pengurangan subsidi dan tidak secara tegas memuat komitmen untuk menurunkan tarif tinggi (tariff peak) di negara maju. Sebaliknya, negara berkembang yang tergabung dalam Group 20 (utara) menginginkan adanya penurunan subsidi domestik (domestik support) dan penghapusan subsidi ekspor pertanian di negara-negara maju, sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi Doha.

Sementara itu, kelompok negara-negara berkembang lainnya yang tergabung dalam Group 33 (group yang dimotori Indonesia dan Filipina) mengajukan proposal yang menghendaki adanya pengecualian dari penurunan tarif, dan subsidi untuk Special Products (SPs) serta diberlakukannya Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara-negara berkembang.

Mengingat, produk pertanian negara-negara berkembang di satu sisi sangat sulit menembus pasar internasional, disisi lain membanjirnya produk asing dalam pasar nasional. Akibatnya, pertumbuhan negara-negara tersebut  mengalami “tantangan”, mengingat tanpa “tentengan” dari negara maju. Hal ini sekaligus menghambat laju pembangunan negara miskin, lengkap dengan segala konflik dan kekerasan di sektor agraria. 
  
Indonesia juga merasakan diskriminasi dalam perdagangan internasional, di mana negara-negara maju melakukan proteksi sebagai hambatan perdagangan internasional terhadap produk-produk dari Indonesia. Sebagai contoh adalah pemberhentian impor rokok kretek buatan Indonesia oleh Amerika Serikat. Begitu pula dengan produk sawit. Kasus ini membuktikan suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Indonesia. 

Memang, kita perlu mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri-menteri ekonomi untuk tidak menandatangani perjanjian apapun dalam forum KTM ke-9 WTO. Sekaligus mendesak segera mempertanggungjawabkan kepada publik tentang kesepakatan-kesepakatan yang pernah dibuat dalam WTO terdahulu. Sehingga, KTM ke-9 WTO yang diselenggarakan di Bali kali ini kita tempatkan sebagai “Jamuan Makan Malam Berlanjut” (The supper continue) pengusung dan atau penenttang pasar bebas.

Oleh: Ngurah Karyadi*

*Penulis lepas, dan Anggota Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)