Foto: Ketua Umum Badan Independent Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH) Bali Komang Gede Subudi.

Denpasar (Metrobali.com)-

Bali menghadapi masalah pelik yakni defisit air. Kondisi ini pun menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan dan masa depan peradaban Bali.

Karenanya Ketua Pendiri Badan Independent Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH) Bali, Komang Gede Subudi mengapresiasi dan mendukung penuh gebrakan Gubernur Bali Wayan Koster untuk menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Perlindungan Sumber Air di Bali.

Sebab upaya menjaga ketersediaan air Bali secara holistik adalah hal krusial sebagai bagian tatanan untuk membangun mewujudkan Bali Era Baru sesuai visi Gubernur yakni Nangun Sat Kerthi Loka Bali.

“Kepemimpinan Pak Gubernur Koster yang sangat peduli dengan alam adalah momentum kita semua untuk kembali pada kesadaran menjaga dan melestarikan alam, salah satunya sumber air Bali,” kata Subudi di Denpasar Kamis (17/10/2019).

Pria yang juga Wakil Ketua Umum (WKU) Bidang Lingkungan Hidup Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Bali  ini mengingatkan bahwa Bali jangan terlena dengan kondisi saat ini. Dimana pertumbuhan perekonomian masih cukup positif, pariwisata masih berkembang dan jadi primadona.

Namun ada tantangan nyata bahwa Bali mengalami defisit atau krisis air yang akan berdampak kepada seluruh sendi kehidupan masyarakat Bali. Sebab air adalah sumber kehidupan. Tanpa air tidak ada kehidupan.

Berdasarkan data dari Balai Wilayah Sungai (BWS)Bali Penida tahun 2018, diketahui kebutuhan air di Bali telah mencapai 119,96 meter kubik/detik. Masalahnya kebutuhan air yang begitu tinggi ternyata tak diimbangi dengan ketersediaan yang memadai.

Masih berdasarkan data BWS Bali Penida 2018, ketersediaan air baru mencapai 101,23 meter kubik/detik. Ketersediaan air ini dibagi dalam air baku sebesar 7,08 meter kubik/detik dan air irigasi 94,15 meter kubik/detik.

Dengan demikian, jika dibandingkan antara ketersediaan dengan kebutuhan yang ada, Pulau Dewata mengalami defisit air sebanyak 18,73 meter kubik/detik.

“Jadi Bali tidak sedang baik-baik saja. Kita jangan lengah dengan kondisi defisit air ini. Lama-lama ketersediaan air Bali bisa habis dan kita baru kelimpungan kalau tidak ada aksi nyata dari sekarang,” kata Subudi.

Karenanya BIPPLH siap selalu satu barisan dan pasang badan dengan aksi nyata melindungi sumber-sumber air Bali. Termasuk mendukung penuh segera dirampungkannya Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Perlindungan Sumber Air di Bali. “Bahkan tidak cukup sampai Pergub nanti kita dorong ada perdanya,” imbuh Subudi.

Hidup Selaras dengan Alam

Ia mengajak bahwa kesadaran menjaga air Bali harus jadi kebutuhan dan komitmen bersama. Terlebih lelulur orang Bali sudah meletakkan lantas filosofis dan spiritual yang cukup kuat untuk membentengi Bali dari krisis air dengan penekanan pada hidup harmonis dengan alam.

Hal ini misalnya tercermin dalam filosofi Tri Hita Karana hingga berbagai prasasti, lontar serta bhisama terkait pelestarian air khususnya juga berkaitan dengan sumber air.

Seperti yang menjadi wejangan dalam bhisama yang tertuang pada lontar Batur Kelawasan dalam bahasa Bali Kuno. Intinya, terang Subudi, bhisama ini menekankan agar manusia hidup selaras dengan alam. Sebab alam adalah manusia itu sendiri dan alam adalah orang tua kita yang harus dipelihara, dijaga dan dihormati.

Leluhur orang Bali juga sudah meletakkan konsep nyegara gunung dimana gunung sebagai tempat penyucian dan sumber air Bali sedangkan laut tempat peleburan. Manusia Bali diajarkan untuk hidup di tengah-tengah antara gunung dan laut. Jangan sekali-kali kali bersenang-senang dengan merusak alam.

Kalau hal itu dilakukan, menurut bhisama dalam lontar Batur Kelawasan ini, maka manusia akan dikutuk. Kutukannya adalah tidak dapat makan minum, penyakitan, pendek umur dan berkelahi dengan bersama.

“Ingatkan pesanku. Wahai anak-anakku sekalian. Di kemudian hari jaga kelestarian gunung dan laut. Gunung sumber kesucian. Laut tempat menghilangkan kekotoran. Di tengah dataran melaksanakan kegiatan kehidupan.”

“Hiduplah dari hasil tanganmu sendiri. Jangan sekali-sekali hidup senang dari merusak alam. Kalau tidak mematuhi kamu terkena kutuk. Tidak akan menemukan keselamatan, kekurangan bahan makanan  dan minuman, terkena berbagai macam penyakit dan bertengkar sesama saudara,” kata Subudi mengutip terjemahan lontar tersebut.

Selanjutnya Subudi juga mengutip Prasasti Bulian B dari abad ke-13 yang isinya Laknad Jagat Upadrawa (Dampak seribu kali hukum yang berat untuk bumi). Dalam prasasti ini disebutkan bahwa seorang pemimpin mulai dari keluarga hingga raja tidak boleh salah dalam mengelola alam. Kalau salah, kutukannya 100 kali dari Bhisama, kutukannya  bisa bertahan 700 hingga 1000 tahun.

Subudi pun mengajak semua pihak mencerna dan memaknai isi bhisma tersebut sehingga tidak ada tindakan merusak alam Bali dengan dalih apapun. “Jadi semua bhisama ini harus kita jalankan untuk menyelamatkan sumber air Bali, menjaga lingkungan  Jangan sampai dilanggar kalau kita tidak mau kena kutukan,” imbuh Subudi.

Karenanya menurutnya Bali sudah punya instrumen perlindungan yang komprehensif untuk menjaga alam lingkungan khususnya juga sumber air Bal. Baik ditinjau dari aspek hukum alam, hukum agama dan hukum positif peraturan perundang-undangan seperti Perda hingga Pergub yang akan dirancang Gurbernur Koster.

“Sekarang tinggal aksi konkret kita bersama satu barisan dukungan kebijakan Gubernur selamat alam Bali untuk masa depan anak cucu kita,” ajak Subudi yang juga Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ), yayasan yang bergerak pada pelestarian situs ritus Bali.

Bergerak Bersama “Satu Jalur”

Dengan adanya pengaturan ini, kedepan Gubernur Bali juga diharapkan memaksimalkan power yang dimiliki agar seluruh pimpinan di kabupaten/kota melalui instansi terkait mampu mengintruksikan jajarannya agar gerakan menyelamatkan potensi sumber air di Bali bisa dilakukan dengan baik.

Tentunya upaya ini harus terus didukung gerakan penghijauan. Optimalisasi menjaga alam ini kedepan akan menjadi sebuah formulasi yang saling mendukung satu sama lain, sehingga berbagai hal yang belum ditata dengan baik secara bertahap bisa menjadi bagian dari langkahmenjaga kebudayaan secara kuat.

Subudi juga mengingatkan seluruh kalangan agar tidak saling menyalahkan dalam menuntaskan permasalahan lingkungan. Ke depan upaya perbaikan kualitas lingkungan dan alam Bali ini diyakinin akan menguatkan peradaban dan pembangunan yang berbasis budaya yang berkekanjutan begitu pula dengan situs dan ritus yang ada.

Tidak bisa dipungkiri kemampuan masyarakat dan pemerintah menjaga peradaban merupakan kebanggan seluruh umat manusia sehingga bila semua pihak ikut menjaganya maka tidak mungkin ada pihak luar yang merusaknya.

“Menjaga peradaban adalah kebanggan bersama. Menjaga lingkungan tetap lestari. BIPPLH komitmen Bali Go Green untuk anak cucu kelak di kemudian hari,” tutup Subudi.

Defisit Air Terparah di Kawasan Sarbagita

Sementara itu masih berdasarkan data dari Balai Wilayah Sungai (BWS)Bali Penida tahun 2018, daerah Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita) mengalami defisit air yang paling tinggi.

Dari potensi air permukaan di zona Sarbagita yang mencapai 102,90 meter kubik/detik, ternyata baru memiliki kapasitas sebesar 4,27 meter kubik/detik.

Sementara, kebutuhan ait untuk rumah tangga, perkotaan dan industri (RKI) di wilayah Sarbagita telah mencapai 10,65 meter kubik/detik sehingga defisit sebesar 6,38 meter kubik/detik.

Selain daerah Sarbagita, BWS Bali Penida juga membaginya berdasarkan zona barat, zona utara, zona timur dan zona tengah.

Zona barat yang merupakan kawasan Kabupaten Jembrana memiliki potensi air permukaan sebesar 35,12 meter kubik/detik.

Kapasitasnya baru mencapai 0,16 meter kubik/detik dan kebutuhan RKI di wilayah itu mencapai 0,74 meter kubik/detik sehingga defisit di angka 0,58 meter kubik/detik.

Lalu Kabupaten Buleleng yang merupakan daerah zona utara mempunyai potensi air permukaan 43,90 meter kubik/detik.

Kapasitas yang terbangun baru mencapai 0,89 meter kubik/detik dan kebutuhan RKI mencapai 2,03 meter kubik/detik. Oleh karena itu, Kabupaten Buleleng defisit airnya mencapai 1,14 meter kubik/detik.

Kemudian zona timur yang merupakan kawasan Kabupaten Karangsem defisit airnya berada di angka 0,21 meter kubik/detik.

Potensi air permukaan di wilayah itu sebesar 17,10 meter kubik/detik dengan kapasitas terbangun sebanyak 0,92 meter kubik/detik dan kebutuhan RKI sebanyak 1,13 meter kubik/detik.

Terakhir, zona tengah yang meliputi Kabupaten Bangli dan Klungkung potensi air permukaan berada di angka 8,81 meter kubik/detik dengan kapasitas terbangun sebesar 0,84 meter kubik/detik.

Kebutuhan RKI masih melebihi dibandingkan dengan kapasitas yakni sebesar 1,18 meter kubik/detik sehingga masih berada dalam status defisit sebanyak 0,34 meter kubik/detik. (dan)