Jakarta (Metrobali.com)-

Setelah melewati proses pembahasan di DPR selama dua tahun dan berkali-kali mengalami penundaan pengesahan di rapat paripurna, Mendagri Gamawan Fauzi akhirnya dapat bernafas lega karena RUU Ormas telah disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang (UU).

Selama pembahasan enam kali masa sidang itu muncul beragam penolakan dari sejumlah pihak, mulai dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), serikat pekerja hingga organisasi keagamaan.

Mereka menilai UU tersebut memuat pasal-pasal yang “memenjarakan kebebasan” masyarakat dalam menjalankan kehidupan, menyampaikan pendapat dan berorganisasi.

Namun Pemerintah dan DPR menilai perlu ada pengaturan khusus terhadap beragam ormas yang menurut data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ada 139.957 ormas dengan perincian 65.577 tercatat di Kemendagri, 25.406 di Kementerian Sosial (Kemensos), 48.866 di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan 108 ormas asing di Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

Guna menampung masukan dari keberatan sejumlah ormas, tim perumus dari Kemendagri bersama panitia khusus (Pansus) dari DPR kemudian melunak dengan mengubah sejumlah pasal di dalamnya.

Sehingga, di dalam UU Ormas yang belum diketahui kapan akan ditandatangani pengesahannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mengalami sejumlah penyesuaian pasal mengenai penghapusan pembidangan ormas, pelarangan melakukan kegiatan politik, keharusan keterlibatan warga Negara Indonesia (WNI) di ormas asing dan pemberian sanksi terhadap ormas yang melanggar peraturan.

Kewajiban memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) oleh setiap ormas di Tanah Air diberlakukan karena dapat turut membantu mengembangkan program kerja ormas sesuai dengan bidangnya.

UU Ormas mencakup pengaturan terhadap segala bentuk ormas, baik yang berbadan hukum (perkumpulan dan yayasan) maupun tidak berbadan hukum, dengan syarat minimal didirikan oleh tiga orang kecuali ormas berbadan hukum yayasan.

Ormas perkumpulan yang belum berbadan hukum wajib memiliki akta pendirian perkumpulan dari notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi. Ormas yang sudah mencatatkan keberadaannya di Kemenkumham tidak perlu mendaftarkan lagi di Kemendagri.

Sementara itu, ormas yang tidak berbadan hukum dapat mendaftar ke Kemendagri sesuai dengan domisili atau alamat ormas tersebut.

Ormas yang berada di pusat dapat mendaftar langsung ke Ditjen Kesbangpol Kemendagri, sedangkan ormas di tingkat provinsi dapat mendaftar ke gubernur dan di tingkat kabupaten-kota ke bupati atau walikota setempat.

Persyaratan bagi ormas yang hendak memperoleh SKT antara lain wajib memiliki program kerja, mencantumkan laporan sumber dana dan memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Sementara itu ormas di daerah dapat menjalankan program kegiatannya dengan peran bantuan pemda setempat jika telah melaporkan program kerja serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).

“Beban organisasi itu hanya program kerja, kalau kewajiban AD/ART itu bertujuan agar pembinaannya jelas,” kata Mendagri.

UU Ormas mewajibkan seluruh ormas membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai standar akuntansi umum atau AD/ART masing-masing organisasi. Ormas hanya perlu melaporkan keuangannya secara terbuka sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas lembaga di Tanah Air.

Ormas yang menghimpun dana bantuan dari masyarakat juga wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik secara berkala.

Pengaturan keuangan itu menimbulkan dugaan bahwa Pemerintah mencurigai adanya aliran dana, termasuk dari dana asing, hasil kejahatan tindak pidana korupsi maupun pencucian uang.

“Jumlah uang yang ada di ormas itu tidak dibatasi, hanya yang menjadi masalah adalah dibukanya laporan keuangan mereka. Pemerintah menerima uang dari Negara bisa dipertanggungjawabkan, masa ormas menerima bantuan dana tidak mau diaudit,” tambah Gamawan.

Pengaturan Ormas Setelah disepakati untuk disahkan menjadi UU, Kemendagri pun mulai mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah (PP) terkait pelaksanaan UU Ormas.

Direktur Jenderal (Dirjen) Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Tanribali Lamo mengatakan ada tujuh PP yang dipersiapkan Kemdagri sebagai turunan dari UU Ormas.

Ketujuh rencana PP tersebut terkait pendaftaran, ormas asing, pemberdayaan, sistem informasi, tata cara pengawasan, tata cara pemberlakuan sanksi dan pengaturan lebih lanjut tentang ormas perkumpulan.

“Kami sedang mempersiapkan tujuh PP, tiga di antaranya sedang disusun dan dari tujuh lainnya itu akan kami lihat lagi adanya kemungkinan beberapa bisa digabung,” kata Tanribali ketika ditemui di kantornya.

Tanribali mengatakan pihaknya tidak memberlakukan sanksi terhadap individu atau anggota ormas yang terlibat tindakan anarkis, karena itu merupakan ranah pelanggaran hukum yang menjadi wewenang aparat kepolisian.

Kemendagri hanya memberlakukan sanksi secara organisatoris terhadap ormas yang berlaku onar, merusak fasilitas publik dan mengganggu keamanan kehidupan masyarakat.

Sanksi terberat, yaitu pembubaran ormas, bisa diberikan setelah melalui beberapa surat teguran. Pemberian teguran pun memerlukan pembuktian sehingga Pemerintah sangat berhati-hati dalam menjatuhkan sanksi terberat terhadap ormas anarkis.

Ormas akan diberikan surat teguran sebanyak tiga kali sebelum dijatuhi sanksi pembubaran, dan setiap teguran memiliki masa berlaku selama 30 hari sebelum dicabut.

Artinya, jika selama 30 hari pascapemberian surat teguran ormas dapat menunjukkan sikap sebagai “anak baik”, maka teguran tersebut dapat dicabut.

Namun, jika ormas yang pernah diberi teguran dan kembali melakukan tindakan anarkis dan melanggar peraturan, maka tahapan sanksi berikutnya akan diberlakukan.

“Pemberian teguran menunggu pembuktian. Namun masih dipersiapkan bagaimana mekanisme pelaksanaannya apakah setelah pembuktian ada teguran pertama, kedua, dan seterusnya itu kita lihat nanti,” kata Tanribali.

Pemberlakuan tahapan yang panjang sebelum akhirnya ormas dibubarkan merupakan bentuk toleransi bagi ormas agar dapat memberikan pembelaan.

“Setelah ormas mendapat surat teguran ketiga, baru diberlakukan pemberhentian secara sementara sebelum sampai pada tahap pengajuan pembubaran. Ormas tidak langsung dibubarkan supaya tidak subjektif,” kata Kepala Sub-direktorat (Kasubdit) Ormas Kesbangpol Bahtiar.

Proses pemberian sanksi terhadap ormas yang melanggar aturan dilakukan di lembaga peradilan, dimana jaksa penuntut umum sebagai pihak yang mengajukan tuntutan pembubaran ormas.

“Pengajuan pembubaran pun dilakukan bukan oleh kami di Kemdagri, melainkan oleh jaksa ketika di persidangan. Itu merupakan bentuk bahwa memang tidak ada sifat represif di UU ini,” tambah Bahtiar.

Pemerintah mengklaim bahwa UU Ormas ini jauh lebih lunak daripada pendahulunya, UU Nomor 8 Tahun 1985, yang memuat sejumlah pasal kaku terhadap keberadaan ormas.

UU Ormas juga menjadi pelengkap terhadap dua peraturan setingkatnya, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan, selain juga Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013.

Peraturan dan UU tersebut hanya mengatur tentang keberadaan badan perkumpulan dan yayasan, sementara terkait kegiatan organisasi itu belum ada peraturan hukum yang memayunginya.

“UU Ormas ini lebih ‘soft'(lunak,red) daripada yang sekarang dan di dalamnya juga sudah mengakomodir apa yang menjadi aspirasi tokoh-tokoh ormas,” kata Mendagri.

Jika di UU Nomor 8 Tahun 1985 pasal 2 disebutkan bahwa Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka di UU Ormas diperbolehkan berlandaskan asas selain Pancasila. Fransisca Ninditya/Antara