ruu pilkada

Jakarta (Metrobali.com)-

Pembahasan Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) akhirnya memasuki tahap akhir, setelah dua tahun dierami Komisi II DPR RI.

Awal 2012, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengajukan usulan pembentukan RUU Pilkada agar berdiri sendiri dari undang-undang pendahulunya yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda itu kemudian dipecah menjadi paket tiga rancangan dan revisi UU, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang sudah disahkan akhir 2013, RUU Pemda dan RUU Pilkada.

Kedua RUU terakhir menjadi dua rancangan yang terlama dibahas dan direncanakan akan diketuk palu secara bersamaan. Kemendagri dan DPR RI pun kejar tayang untuk menyelesaikan kedua RUU tersebut, sebelum kekuasaan beralih dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Presiden terpilih Joko Widodo.

“Dalam waktu yang tersisa, kami berupaya untuk dapat menyelesaikannya. Dari tiga RUU, UU Desa sudah disahkan pada akhir 2013 lalu, dan masih ada dua RUU yang masih kami bahas bersama,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.

Di antara kedua RUU tersebut, RUU Pemda telah menyisakan sedikit persoalan yang sudah mendapatkan kesepakatan di antara kedua belah pihak, yakni terkait sistem pemilihan kepala daerah non-paket.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mengatakan pengesahan RUU Pemda akan mendahului RUU Pilkada.

“Ada kabar baik bahwa mayoritas fraksi di DPR RI setuju dengan sistem pencalonan kepala daerah non-paket. Jadi partai mengusulkan calon kepala daerah saja, sedangkan wakilnya yang mengusulkan adalah kepala daerah terpilih ke Pemerintah Pusat,” tutur Djohermansyah.

Sementara itu terkait RUU Pilkada, kembali terjadi pembahasan alot antara Panitia Kerja (Panja) dengan Kemendagri, khususnya terkait sistem pemilihan secara langsung atau tidak langsung alias melalui DPRD.

Awalnya, dalam usulan Pemerintah, Kemendagri mengajukan perubahan sistem pilkada yakni melalui perwakilan DPRD untuk pemilihan gubernur, serta sistem pemilihan langsung untuk bupati dan wali kota.

Usulan Pemerintah tersebut bukan tanpa sebab, karena berdasarkan kajian yang dilakukan Kemendagri tercatat dampak pelaksanaan pilkada langsung di daerah adalah konflik horizontal hingga menyebabkan kematian warga lokal.

Selain itu, mahalnya biaya pencalonan dan kampanye peserta pilkada menjadikan Pemerintah berkesimpulan bahwa pemilihan langsung memboroskan anggaran daerah.

“Catatan kami menunjukkan sedikitnya 100 orang meninggal dunia terkait pemilihan langsung. Selain itu, juga ada sedikitnya 330 kepala daerah terlibat korupsi dan kasus hukum lainnya,” jelas Gamawan.

Lika-liku Pembahasan Pilkada Dari usulan awal yang disampaikan Pemerintah tersebut, DPR berbeda pendapat dengan meyakini bahwa pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan secara langsung, baik untuk gubernur maupun bupati dan wali kota.

Hal itu disebabkan masyarakat selama ini telah nyaman dengan pelaksanaan sistem pemilihan umum secara langsung, serta dengan pemilihan langsung maka aspirasi politik masyarakat dapat tersalurkan.

Dalam perjalanannya menuju pengesahan, Kemendagri akhirnya mengalah dengan menyetujui sistem pemilihan kepala daerah tingkat provinsi secara langsung. Namun, terkait pemilihan bupati dan wali kota, Pemerintah masih mengupayakan usulan pemilihan lewat DPRD.

Pada Mei 2014 lalu, tercatat dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI, hanya dua di antaranya yang sepakat dengan usulan Pemerintah untuk kembali ke pemilihan bupati dan wali kota melalui DPRD. Kedua fraksi itu adalah Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Melihat aspirasi masyarakat melalui DPR, Kemendagri pun melunak terkait pemilihan bupati dan wali kota dengan menyetujui sistem pemilihan langsung.

Banyaknya fraksi di DPR yang menginginkan pemilihan langsung, baik untuk gubernur maupun bupati dan wali kota, membuat Kemendagri menangkap bahwa masyarakat masih menginginkan pemilihan secara langsung pula.

“Prinsipnya, selama pembahasan, kami (Pemerintah) mengikuti perkembangan suara-suara yang beredar di masyarakat, aspirasi masyarakat melalui DPR. Kalau memang masyarakat masih menghendaki secara langsung, maka Pemerintah tidak keberatan mencabut usulan kami yang lama soal Pilkada lewat DPRD,” kata Djohermansyah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Namun, ketika Pemerintah mulai mengikuti kemauan DPR, justru fraksi-fraksi mengubah kesepakatan. Hingga pada awal September, ketika pembahasan mulai masuk ke dalam tim perumus dan tim sinkronisasi, sikap mayoritas fraksi berbalik arah 180 derajat.

Empat fraksi mendadak mengikuti sikap fraksi Partai Demokrat dan PKB untuk pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, sedangkan satu fraksi lagi ikut-ikutan berubah sikap untuk pemilihan gubernur saja.

Pada konsinyering yang digelar di Wisma Griya Sabha, Cikopo, Jawa Barat pada 1-2 September lalu, tercatat lima fraksi menginginkan pilkada gubernur dan bupati-wali kota dilakukan melalui mekanisme voting di DPRD, sedangkan tiga fraksi lain masih kukuh dengan usulan pilkada secara langsung.

Kelima partai itu adalah Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Mereka tergabung dalam Koalisi Merah-Putih yang mengusung pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang kalah dalam Pilpres 2014.

Sementara itu ketiga partai lain yang menyetujui sistem pilkada secara langsung adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Hati Nurani Rakyat.

Sedangkan Partai Kebangkitan Bangsa memiliki dua pendapat berbeda, yakni pemilihan langsung untuk gubernur dan sistem pemilihan keterwakilan DPRD untuk bupati-wali kota.

“Jadi kami (Pemerintah) sudah semangat dengan mengikuti kemauan masyarakat untuk pilkada langsung, tiba-tiba sejumlah fraksi berubah yang tadinya sepakat pemilihan gubernur secara langsung kemudian berubah menjadi lewat DPRD,” ungkap Djohermansyah.

Terkait hal tersebut, Pemerintah berupaya untuk kembali melakukan pertemuan di Jakarta, supaya dapat dicapai kesepakatan melalui musyawarah tanpa harus mengambil keputusan dengan suara terbanyak.

Rencananya, pertemuan lanjutan akan digelar pada 9-10 September, sebelum dibawa pada putusan tingkat pertama pada 11 September.

“Setelah kemarin konsinyering di Cikopo, kami akan kembali menggelar konsinyering di Jakarta pada 10 September. Setelah itu pada 11 September, sudah dapat diambil putusan tingkat pertama. Lalu sekitar 12 atau 13 September kami harapkan sudah putusan,” tutur Dohermansyah. AN-MB