beras petani

Cilacap (Metrobali.com)-

Masyarakat Indonesia dalam satu pekan terakhir dikejutkan dengan pemberitaan mengenai peredaran beras sintetis atau plastik di pasaran khususnya di wilayah Bekasi, Jawa Barat.

Berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan Sucofindo, beras sintetis yang merupakan barang impor itu diketahui mengandung senyawa plasticizer penyusun plastik di antaranya berupa Benzyl butyl phthalate (BBP), Bis(2-ethylhexyl) phthalate atau DEHP, dan diisononyl phthalate (DIN).

Senyawa plasticizer itu sangat berbahaya jikan dikonsumsi manusia karena tidak bisa dicerna oleh lambung dan akhirnya dapat mengakibatkan penyakit kanker.

Oleh karena khawatir beras sintetis itu telah beredar luas, berbagai daerah pun segera mengambil langkah antisipasi terhadap peredaran beras palsu tersebut dengan menggelar razia di pasar.

Kendati demikian, sesungguhnya ada beberapa sisi positif yang dapat diambil dari isu peredaran beras sintetis itu, salah satunya peningkatan konsumsi dan produksi beras lokal.

Selama ini, beras lokal sering kali dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat berpenghasilan tinggi karena mereka seolah “jijik” terhadap beras lokal yang terlihat kusam.

Kusamnya beras lokal ini sebenarnya bukan karena kurang bersih dalam pengolahannya namun disebabkan kadar sosohnya hanya sebesar 95 persen.

Bahkan, beras lokal kualitas premium yang sosohnya 100 persen pun masih kelihatan lebih kusam jika dibandingkan dengan beras impor yang terlihat sangat putih bersih.

Padahal, dari kekusaman beras lokal justru menunjukkan jika beras itu masih mengandung bekatul sehingga nilai gizinya masih tinggi.

“Derajat sosoh 95 persen berarti masih ada butir bekatul yang menempel. Kalau masih ada butir bekatulnya, informasinya vitamin pada beras itu masih tinggi,” kata Kepala Bulog Subdivisi Regional Banyumas Setio Wastono.

Terkait beras sintetis, dia mengatakan bahwa penampilan beras palsu itu mirip dengan beras kualitas premium terutama yang impor karena terlihat sangat bening.

Oleh karena itu, dia mengimbau masyarakat untuk mewaspadai kemungkinan adanya beras kualitas bagus yang dijual murah.

“Beras kualitas bagus biasanya dijual dengan harga mahal atau lebih tinggi dari beras medium. Namun kalau beras bagus dijual murah, beras itu patut dicurigai sebagai beras palsu atau plastik seperti yang marak diberitakan dalam beberapa hari terakhir,” katanya.

Ia menjamin beras hasil pengadaan Bulog terbebas dari beras palsu atau sintetis karena melalui proses seleksi yang sangat ketat.

“Beras lokal yang masuk ke gudang Bulog sosohnya 95 persen sehingga kelihatan putih kecokelatan sehingga kalau ada yang mencapai 100 persen, kami akan curiga karena HPP (Harga Pembelian Pemerintah) sebesar Rp7.300 per kilogram. Padahal kalau beras yang sosohnya di atas 95 persen hingga 100 persen, harganya pasti lebih tinggi, sekitar Rp9.000-Rp10.000 per kilogram,” katanya.

Kepala Seksi Perencanaan dan Pengembangan Usaha Bulog Subdivre Banyumas M. Priyono mengatakan bahwa isu beras sintetis telah berdampak pada peningkatan permintaan dari masyarakat terhadap beras IR-64 kualitas premium yang dijual BulogMart Banyumas meskipun di wilayah itu belum ada laporan mengenai peredaran beras plastik tersebut.

Ia mengakui bahwa selama ini, masyarakat memandang sebelah mata terhadap beras Bulog khususnya yang kualitas medium karena terlihat kusam.

“Banyak masyarakat pilih yang bening, yang bening. Namun sejak munculnya pemberitaan tentang peredaran beras sintetis, mereka kembali lagi ke beras lokal yang penting super atau premium karena lebih aman daripada mengonsumsi yang seperti itu (beras yang bening, red.), vitaminnya kan cenderung berkurang,” katanya.

Oleh karena itu, kata dia, permintaan beras IR-64 kualitas premium cenderung meningkat dalam beberapa hari terakhir.

Bahkan, lanjut dia, beras IR-64 kualitas premium yang disediakan BulogMart Banyumas sebanyak 3 kuintal dapat habis dalam satu hari.

“Biasanya tidak pernah sampai sebesar itu karena rata-rata dalam sebulan, beras IR-64 kualitas premium yang terjual kurang dari 1 ton. Kemarin, banyak pelanggan baru yang menanyakannya, sedangkan kami tidak berani menyediakan beras premium dalam jumlah banyak karena kalau kelamaan tersimpan, kualitasnya akan menurun,” katanya.

Pakar tanaman pangan dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Totok Agung Dwi Haryanto mengatakan bahwa ada dua hikmah yang dapat dipetik dari kasus peredaran beras sintetis.

Hikmah yang pertama, kata dia, kasus beras sintetis dapat membangkitkan kembali gairah petani di Indonesia untuk menanam padi.

Dengan demikan, isu peredaran beras sintetis dapat menjadi momentum yang baik untuk meningkatkan produksi beras lokal.

“Hikmah yang kedua, mendorong kreativitas untuk membuat beras imitasi berbahan baku nonpadi, yakni dengan menggunakan sumber karbohidrat lain yang dibentuk seperti beras tetapi aman untuk dikonsumsi,” katanya.

Ia mengatakan bahwa beras imitasi yang terbuat dari karbohidrat nonberas merupakan inovasi yang sangat bagus untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.

“Apabila beras imitasi itu dilengkapi dengan komponen-komponen yang aman dalam rangka untuk menarik penampilannya, maka itu tidak masalah. Rermasuk menggunakan ‘edible plastic’ (plastik layak santap), bahan seperti plastik tetapi bisa dimakan, itu tidak masalah dan itu aman,” katanya.

Dalam hal ini, dia mencontohkan beras yang terbuat dari singkong, sagu, atau sumber karbohidrat lainnya dan selanjutnya dibungkus dengan “edible plastic” sehingga bentuknya mirip dengan beras yang sebenarnya.

“Penelitian ke arah itu (beras imitasi, red.) sudah ada,” katanya.

Menurut dia, beras imitasi dapat dimanfaatkan saat terjadi bencana alam karena selama ini, bantuan yang datang sering kali berupa mi instan sehingga pengungsi akan bosan.

Ia mengatakan bahwa beras imitasi yang berbahan baku nonpadi itu dapat menjadi makanan selingan bagi pengungsi dan bisa dibuat instan.

“Jadi, menariknya (isu beras sintetis) itu, pertama, bisa mendorong petani untuk memroduksi beras lagi, yang kedua bisa membangkitkan inovasi untuk menghasilkan beras imitasi yang aman,” katanya.

Akan tetapi persoalannya, kata dia, ketika beras imitasi itu tercampur atau dilengkapi dengan bahan-bahan berbahaya seperti yang sekarang disebut dengan beras plastik.

Ia mengatakan bahwa berdasarkan pemberitaan, beberapa kandungan dalam beras plastik atau sintetis itu merupakan bahan kimia yang bisa menjadi pemicu penyakit-penyakit berbahaya, salah satunya kanker.

Terkait masuknya beras sintetis ke Indonesia, Totok mengatakan bahwa sebenarnya dapat dilacak siapa saja perusahaan yang mengimpor beras pada saat-saat terakhir ini.

“Datanya kan mestinya ada. Kalau tidak ada, maka Menteri Pertanian harus mendata, setiap tahun itu siapa saja yang mengimpor, jumlahnya berapa, dari negara mana, bagaimana kualitasnya. Tanggung jawab pemerintah tentu saja menarik kembali beras-beras impor yang terindikasi beras plastik untuk melindungi masyarakat dan melindungi petani kita,” katanya.

Menurut dia, dari segi keuntungan, importir bisa saja mendapat keuntungan karena harga beras sintetis itu lebih murah.

Akan tetapi, kata dia, importir tidak boleh mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan kepentingan petani dan masyarakat yang bakal mengalami risiko kejahatan yang sangat berbahaya.

Ia mengatakan bahwa kasus peredaran beras sintetis juga dapat menjadi momentum yang baik bagi Bulog untuk tampil karena beras yang disediakan badan usaha milik negara (BUMN) itu bebas dari beras plastik.

“Jadi, kunci atau katup paling depan memang Bulog,” katanya.

Sementara di Cilacap, isu peredaran beras sintetis justru menjadi pemacu Dinas Pertanian dan Peternakan (Dinpertannak) setempat untuk meningkatkan produksi padi meskipun di kabupaten itu belum ditemukan adanya beras plastik.

“Kami akan manfaatkan isu itu untuk menggenjot produksi beras lokal. Apalagi Cilacap merupakan lumbung padi Jawa Tengah,” kata Kepala Dinpertannak Cilacap Gunawan.

Oleh karena itu, kata dia, pihaknya berupaya meningkatkan indeks pertanaman, yakni dari yang semula dalam setahun hanya satu kali panen, ditingkatkan menjadi dua hingga tiga kali melalui pembangunan jaringan irigasi.

Selain itu, pemberian bantuan pompa air, bantuan benih, dan menjamin kelancaran distribusi pupuk.

“Dengan adanya isu beras sintetis, merupakan momentum yang sangat baik agar beras lokal bisa tampil di pasaran,” tegasnya.

Terkait hal itu, dia mengatakan bahwa pihaknya untuk tahun 2015 menargetkan produksi padi sebesar 860.000 ton beras.

Bahkan hingga minggu pertama bulan Mei, kata dia, Kabupaten Cilacap telah mencapai surplus sekitar 365.000 ton.

“Kita banyak memiliki beras lokal kualitas premium, ‘ngapain’ harus memilih beras premium impor,” katanya.

Kendati demikian, dia mengatakan bahwa pada musim tanam April-September 2015, pihaknya menyarankan petani agar tidak menanam padi logawa, cilamaya, muncul, ketan, dan varietas lainnya yang tidak serangan hama wereng.

Menurut dia, hal itu perlu dilakukan petani agar produktivitas padi tetap terjaga tanpa adanya gangguan hama wereng.

“Semoga beras sintetis itu tidak sampai masuk Jawa Tengah khususnya Cilacap,” katanya. AN-MB