Denpasar, (Metrobali.com)-
Salah tafsir, atau salah pemahaman tentang Upacara Hindu Bali itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, orang tersebut adalah orang Hindu Bali tetapi tidak mengerti tattwa upacara Hindu Bali, namun berlagak bagai orang yang sangat paham. Kedua, orang di luar Hindu Bali yang sering untuk kepentingan politik keyakinan alirannya.
Hal itu dikatakan Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, Bendesa Agung, Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Senin (9/3) dalam keterangan persnya.
Dikatakan, orang di luar Hindu Bali yang sering untuk kepentingan politik keyakinan alirannya untuk menarik penganut Hindu Bali, khususnya yang belum paham tentang tattwa Hindu Bali untuk tertarik menjadi penganut aliran kepercayaannya dengan cara mendiskreditkan Upacara Hindu Bali, atau mengkambing hitamkan/memfitnah Upacara Hindu Bali dengan sering sering menyebarkan penyesatan pemahaman dengan dalih penyederhanaan, terlalu ribet, mahal, tidak praktis, tidak ekonomis, tidak gelis, pemborosan dan bahkan penyebab kemiskinan.
Menurut  Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet padahal Upacara Hindu Bali yang diciptakan dan dikembangkan oleh Para Maha Rsi, Raja Agung yang sangat mumpuni skala niskala sudah menyiapkan tingkatan Upacara sesuai kwantitas (besaran) yang sangat fleksibel untuk dipilih.
“Mulai dari tingkatan yang paling sederhana yaitu Nistaning Kanista sampai tingkatan Utamaning Utama. Tingkatan  besaran upacara itu macamnya ada 9 tingkatan Nistaning Kanista, Madyaning Kanista, Utamaning Kanista. Nistaning Madya, Madyaning Madya, Utamaning Madya. Nistaning Utama, Madyaning Utama dan Utamaning Utama,” katanya.
Namun memilih dari salah satu tingkatan upacara ini supaya mencapai tujuan yang utama ( mencapai Nilai Utama). Jadi, apapun tingkatan besaran yang dipilih maka haruslah dengan kesadaran terhadap ketentuan memilih tingkatan yang tepat.
Menurutnya, apa pun tingkat upacara atau ritual yang dipilih ada ketentuannya atau syarat syaratnya. Pertama PANTAS. Pantas ini ditentukan dengan status, kedudukan baik mengenai orangnya, tempat , wilayah atau  Status Pura.  Juga berkenaan dengan waktu pelaksanaan apakah setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, setiap lima tahun sampai dengan setiap 100 tahun.
Kedua, SESUAI KEMAMPUAN. Disini umat harus jujur dihadapan Tuhan. Kalau punya nyatakan punya, kaya nyatakan kaya, miskin nyatakan miskin, tidak mampu nyatakan tidak mampu.

“Jangan ber pura pura. Yang kaya jangan pura pura miskin, yang miskin jangan pura pura kaya,” katanya.

Ketiga, TULUS IKHLAS. Beryadnya harus berdasarkan hati yang lascarya nekeng tuas atau ikhlas se ikhlas ikhlasnya. Keempat, RASA BAHAGIA. Rasa bahagia saat melaksanakan atau mempersembahkan upacara tersebut.

“Syarat ini lah yang harus dipahami disaat memilih tingkatan besaran Upacara apabila bertujuan untuk mencapai Kautamaan Yadnya atau Upacara. Tujuannya adalah supaya disetiap melaksanakan upacara atau beryadnya harus terbebas dari Sad Ripu, Sapta Timira dan Sad Atatayi. Karena apabila terkontaminasi dengan Sad Ripu, Sapta Timira ataupun Sad Atatayi maka apapun jenis tingkatan upacara yang dipilih pasti tidak mencapai tujuan Kautamaan Upacara/ Yadnya, bahkan terpuruk menjadi Nistaning Kanista dalam arti kwalitas, atau dalam arti Suksmaning Upacara,” kata Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet.Bendesa Agung.Majelis Desa Adat Provinsi Bali

Dicontohkan, misalnya orang kaya yang kikir beryadnya atau berupacara maka dia dapat digolongkan dengan sifat lobha ( salah satu Sad Ripu). Atau ada orang yang sebenarnya tidak mampu, tetapi karena gengsi, atau hanya ingin bersaing, harga diri , maka dapat digolongkan angkuh atau sombong ( ini juga masuk Sad Ripu).

” Kalau benar sebagai umat Hindu Bali maka yang seharusnya disosialisasikan adalah CARA MEMILIH UPACARA. Bukan penyederhanaan upacara, apalagi mendiskreditkan Upacara atau bahkan mengkambing hitamkan atau memfitnah Upacara. Sungguh perbuatan itu sangat tidak pantas,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan, kalau sudah ada 9 tingkatan besaran Upacara, misalnya Bhuta Yadnya : dari Saiban , Segehan, Caru Amanca, Panca Warna, Sampai Tawur Agung, bahkan sampai Eka Dasa Rudra maka apanya lagi yang disederhanakan? Adakah yang lebih sederhana dari ” saiban”?Dewa Yadnya : dari hanya Canang Sari sampai Banten Catur, adakah yang lebih sederhana dari Canang Sari?

“Demikian juga dalam hal Upacara Pitra Yadnya, Upacara Manusa Yadnya, dan Upacara Rsi Yadnya.  Pilihlah diantara itu , dan ukur kemampuanmu, ukurlah keikhlasanmu. Nilailah dirimu apakah termasuk kategori Lhoba, Kikir, atau sombong, angkuh? ,” tandasnya.

Lebih lanjut dijelaskan, upacara Hindu Bali adalah sarana untuk bersosial, dan sarana keadilan karena menjadi penggerak perputaran ekonomi di Bali, antara desa, gunung, kota, atau antara petani, dan kapitalis terjadi perputaran ekonomi. Karena dalam upacara hampir semua hasil pertanian, perkebunan, tanam tanaman, hasil laut, hasil sungai, hasil danau bahkan hampir semua bagian tanam tanaman laku dijual untuk sarana upacara.

” Itulah yang menyebabkan ekonomi Bali selalu diatas rata rata nasional atau daerah lain. Juga diakui atau tidak, Upacaralah yang menyebabkan  Para Bhuta bahkan Sang Panca Maha Butha  yaitu Kekuatan Alam yang disebut Apah, Teja, Bayu, Akasa dan Pertiwi menjadi Somya atau bahagia. Kemudian Kekuatan alam tersebut sangat sayang kepada Bali, sehingga Bali juga terhindar dari bencana,” katanya.
Dengan ritual, Bali bisa terhindar dari Gempa Dahsyat, terhindar dari Tsunami, Terhindar dari Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hebat, angin topan, bahkan musimpun berjalan dangan teratur, Bali juga selalu rukun, relatif lebih aman, lebih damai.
“Oleh karena itu wahai siapapun yang hidup di Bali, ketahuilah bahwa itu karena Upacara yang dipilih dan dilaksanakan secara tepat dan memenuhi keempat syarat itu. Dan bagi yang sudah tidak menganut Hindu Bali lagi, maka laksanakanlah keyakinan kalian dengan sebaik baiknya, sebarkan keyakinan dengan santun dan beretika, saling menghormati tanpa mendiskreditkan keyakinan yang lain, dalam hal ini  keyakinan Hindu Bali,” kata  Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet seraya menambahkan dengan demikian semoga kerukunan hidup , kedamaian selalu akan dapat diwujudkan.
Editor : Nyoman Sutiawan
.