Aplikasi tanda tangan digital Privyid (foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Laporan World Economic Forum 2018 menyebut, Indonesia dihadang banyak tantangan menapak Revolusi Industri 4.0. Dari 137 negara, Indonesia ada di peringkat 80 dalam aspek kesiapan teknologi dan peringkat 96 dari aspek efisiensi pasar kerja. Banyak hal dilakukan untuk mengejar ketertinggalan.

Delapan mahasiswa UGM mengembangkan aplikasi game Meet Pharmy untuk mengenalkan profesi apoteker pada anak-anak. Aplikasi ini memiliki sejumlah fitur terkait tiga penyakit paling sering diderita anak, yaitu batuk, pilek, serta demam. Ada pula fitur untuk orang tua memuat informasi seputar penyakit. Pharmy adalah tokoh apoteker dalam game. Dia mentransfer informasi kesehatan bagi anak-anak.

“Pharmy akan memberikan resep dan juga menjelaskan pentingnya menjalankan gaya hidup sehat agar tidak mudah terserang penyakit,” kata Ris Heskiel Najogi Sitinjak, salah satu mahasiswa dalam tim pengembang.

Meet Pharmy mengakrabkan anak-anak dengan pola hidup lebih sehat (courtesy: Humas UGM).
Meet Pharmy mengakrabkan anak-anak dengan pola hidup lebih sehat (courtesy: Humas UGM).

Aplikasi ini menerima medali emas kategori Medicine and Public Health dalam ajang Thailand Inventors’ Day 2019 pada 2-6 Februari di Bangkok.

Ada pula lima mahasiswa universitas yang sama, sedang mengembangkan aplikasi rekam medis. Aplikasi ini menyimpan riwayat medis kesehatan pasien dalam bentuk digital, terutama bagi korban bencana. Jika pemakai aplikasi menjadi korban bencana di manapun, tenaga kesehatan yang menolongnya bisa melihat riwayat kesehatan korban melalui telepon pintarnya.

Aplikasi Rekam Medis yang Dikembangkan Mahasiswa UGM (courtesy: Humas UGM)
Aplikasi Rekam Medis yang Dikembangkan Mahasiswa UGM (courtesy: Humas UGM)

Dengan informasi itu, bantuan kesehatan yang diberikan akan lebih tepat. “Ketika terjadi bencana, relawan memberikan bantuan penanganan kesehatan bagi korban. Namun, penanganan tanpa rekam medis bisa menyebabkan mal praktik bahkan kematian,” kata Nadya Anggraini, salah satu pengembang.

Aplikasi ini memenangkan Gold Medal dan Taiwan Special Award dalam World Young Inventors Exhibition dalam International Invention, Innovation & Technology Exhibition (ITEX) 2019 pada 2-4 Mei 2019 di Malaysia.

Dalam kreativitas digital, nampaknya Indonesia memiliki masa depan yang menjanjikan. Dalam satu tahun, ada belasan aplikasi dan game baru kreasi mahasiswa, hanya dari UGM saja, yang memenangkan berbagai penghargaan internasional. Tantangan ke depan adalah, bagaimana menjadikan kreativitas itu masuk dunia industri.

Pemerintah Terapkan Program Pendukung

Pemerintah mengakui, industri digital memiliki prospek besar. Direktur Kerjasama Pengembangan Ekspor, Kementerian Perdagangan, Marolop Nainggolan mengatakan dukungan sepenuhnya akan diberikan untuk sektor ini.

“Kami ingin mengembangkan potensi ini ke arah yang lebih lagi. Sekarang sudah ada dana masuk dari luar karena jualan digital mereka. Tetapi karena potensinya besar, kita ingin lebih lagi. Kita ingin mendukung semua yang punya minat di situ, untuk jualan digital ke luar negeri. Saya lihat, hal-hal kecil mereka butuh juga, misalnya pendampingan untuk negosiasi dengan calon buyer,” kata Marolop.

Marolop menyampaikan itu dalam perbincangan usai diskusi “Jualan Digital ke Luar Negeri”, pada Kamis (16/5) petang di Yogyakarta. Diskusi ini dihadiri komunitas industri digital Yogyakarta, khususnya para pengembang aplikasi dari kalangan anak muda.

Masalahnya, kata Marolop, pemerintah belum memiliki data lebih rinci mengenai industri digital Indonesia. Sektor ini telah berkembang secara alami dan tidak cukup terekspos. Anak-anak muda dari kamar mereka mampu menyediakan jasa ini. Melalui jaringan internet, hubungan dengan pembeli di luar negeri terjalin. Lalu lintas produk dari dalam negeri dan uang dari luar tidak terdeteksi. Datanya, kata Marolop, beda sekali misalya dengan sektor usaha kecil kerajinan yang tersusun sangat baik.

Diskusi Jualan Digital ke Luar Negeri di Yogyakarta, Kamis (16/5) petang (foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Diskusi Jualan Digital ke Luar Negeri di Yogyakarta, Kamis (16/5) petang (foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Diskusi komunitas digital di Yogyakarta ini, kata Marolop merupakan bagian dari upaya pemerintah melakukan pendekatan kepada kalangan pengembang aplikasi dan game. Pemerintah ingin membangun rasa saling percaya dengan pelaku industri.

Pemerintah juga melakukan pelatihan dalam skala besar untuk mengembangkan sektor digital. Melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi, 25 ribu beasiswa disediakan untuk belajar tiga bidang digital, yaitu kecerdasan buatan (artificial intelligence), internet of things dan keamanan siber. Ada 30 universitas, 23 politeknik dan 4 badan sertifikasi internasional menjadi mitra dalam program ini .

Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik dan Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, UGM, menjadi salah satu mitra untuk dalam program ini. “Kita kebagian 450 penerima beasiswa,” ujar Dekan Fakultas Teknik UGM, Prof. Ir. Nizam, dalam kesempatan terpisah.

Direktur PT Gamatechno Indonesia, Adityo Hidayat yang turut terlibat dalam pelatihan mengatakan, tiga bidang digital yang dipilih memiliki prospek pasar sangat tinggi. Pengalaman pelatihan yang sama tahun lalu, banyak peserta langsung terjun di sektor ini. “Setelah lulus program, mereka langsung beralih profesi karena banyak permintaan dan dihargai cukup tinggi di industri,” katanya.

Adityo Hidayat (kiri) dan Prof Nizam (tengah) dalam paparan beasiswa digital Kemenkominfo (courtesy: Humas UGM)
Adityo Hidayat (kiri) dan Prof Nizam (tengah) dalam paparan beasiswa digital Kemenkominfo (courtesy: Humas UGM)

Pelatihan bagi 25 ribu peserta ini akan dilaksanakan Juni hingga Agustus nanti. Tahun lalu, jumlah peminat mencapai 45 ribu orang.

Optimisme Pengembang Produk Digital

Pelaku industri digital meyakini Indonesia akan menjadi pelaku besar dalam sektor ini. Kuncinya, ada kerja sama pemerintah dan pelaku sektor industri ini dalam memetakan tantangan ke depan.

Ketua Hubungan Eksternal Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF), Indra Haryadi mengatakan, setidaknya ada tiga problem dihadapi pelaku bisnis ini, yaitu jaringan, manajemen, dan modal. Menurut survei pada 2017, 35 persen pelaku bisnis ini di Yogyakarta mengeluhkan permodalan dan jaringan bisnis. Karena itulah, asosiasi butuh uluran tangan pemerintah.

“Memang komoditi yang sebenarnya harus pemerintah Indonesia lebih fokuskan, adalah komoditi berbasis jasa data digital. Karena punya banyak sekali potensi dan selama ini belum banyak tergali. Kita berharap kerja sama dari pemerintah dan akademisi, supaya Indonesia punya produk berbasis intelektual properti yang tangguh di negara lain,” tambah Indra.

CEO Privyid, Marshal Pribadi di Yogyakarta memaparkan, dunia digital bergerak cepat, dan bahkan tantangan mereka berubah seiring waktu. Bersamaan dengan perkembangan teknologi, begitu pula datang tantangan baru yang harus diselesaikan.

Privyid adalah penyedia platform tanda tangan digital asli Indonesia. Perusahaan ini telah melayani 172 perusahaan, memiliki 3,6 juta pengguna di dalam negeri dan akan berekspansi bisnis ke Australia pada September tahun ini. Pasar asing penting, karena penghargaan mereka terhadap produk lebih baik dari pasar lokal.

“Pasar luar negeri bagus, secara teknologi dalam bidang ini, kami tidak kalah. Tetapi di Indonesia memang perusahaan di sini, entah bagaimana, kemampuan atau kemauan untuk membayar jasa kami itu jauh lebih rendah dari pada harga pasar di manca negara. Di luar negeri tanda tangan digital ini bisa 7 dollar per orang per bulan, di sini nggak laku, hanya 2 dollar. Maka kalau kami ekspor, kami bisa mendapat lebih banyak di sana,” papar Marshal. [ns/lt]

Sumber : VOA Indonesia