Seorang aktivis anti-korupsi memegang poster berbentuk KTP dalam unjuk rasa menuntut penyelidikan dugaan korupsi pengadaan e-ktp oleh para pejabat, di Jakarta, 19 Maret 2017. (Foto: Reuters)

Indonesia Corruption Watch menyatakan ada tiga undang-undang yang menguntungkan pelaku korupsi, yakni Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan RUU Pemasyarakatan yang masih dalam pembahasan.

Peneliti di Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, dalam jumpa pers di kantornya, Jumat (20/9) mengatakan saat ini ada tiga undang-undang yang menguntungkan bagi pelaku korupsi, yakni Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Selasa pekan ini, serta Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Rancangan Undang-undang Pemasyarakatan yangmasih dalam pembahasan.

Di antaranya soal hukuman bagi koruptor dalam RUU KUHP yang dikurangi dari empat tahun menjadi dua tahun penjara.

Menurut Kurnia, sangat mudah untuk menebak mengapa DPR membahas revisi UU KPK secara diam-diam dan hanya dalam jangka waktu kurang dari 15 hari. Jawabannya adalah DPR dendam terhadap KPK.

Dia menyebutkan terdapat 23 anggota DPR periode 2014-2019 yang sudah dijadikan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Selain itu, lima ketua umum partai politik juga ditetapkan menjadi tersangka. Bahkan, ada yang sudah menjadi narapidana, yakni Suryadharma Ali, Setya Novanto, dan Romahurmuzy.

Ketua DPR Setyo Novanto dikawal polisi saat pembacaan putusan kasus korupsinya di Jakarta, 24 April 2018. (Foto: Beawiharta/Reuters)
Ketua DPR Setyo Novanto dikawal polisi saat pembacaan putusan kasus korupsinya di Jakarta, 24 April 2018. (Foto: Beawiharta/Reuters)

Kurnia menambahkan sejumlah organisasi sudah menyatakan akan melakukan gugatan uji materi atas revisi undang-undang KPK ke Mahkamah Konstitusi. Dia menegaskan kalau makin banyak pihak mengajukan uji materi terhadap Undang-undang KPK yang baru, berarti regulasi yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah itu bermasalah.

Kurnia juga menyoroti dua isu dalam revisi Undang-undang Pemasyarakatan, yaitu makin mudahnya pemberian remisi kepada narapidana kasus rasuah. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 diatur remisi bisa diberikan kepada narapidana perkara korupsi kalau bersedia menjadi justice cllaborator atau bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar rantai korupsi dalam kasusnya.

“Sementara dalam Undang-undang pemasyarakatan yang baru menafikan isu ini. Padal kita sangat sependapat dengan PP Nomor 99/2012 karena memang ini implementasi dari kejahatan luar biasa korupsi yang memang harus ada syarat-syarat khusus bagi orang-orang yang ingin mendapat pengurangan hukum dari pemerintah,” kata Kurnia.

ICW mencatat tahun ini ada 338 narapidana kasus korupsi yang mendapat remisi saat momentum ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Kalau revisi undang-undang Pemasyarakatan disahkan, dia memastikan akan ada obral remisi besar-besaran bagi koruptor di peringatan 17 Agustus mendatang.

Mengenai pembebasan bersyarat untuk narapidana kasus rasuah, selama ini tambahnyaharus ada rekomendasi dari KPK. Tapi dalam revisi Undang-undang Pemasyarakatan, rekomendasi KPK tidak dibutuhkan lagi. Hanya direktur jenderal pemasyarakatan yang akan memutuskan koruptor mana saja yang layak atau tidak pantas mendapat pembebasan bersyarat.

Langkah-langkah memanjakan korutor tersebut, lanjut Kurnia, semakin lengkap karena delik-delik mengenai korupsi juga masuk dalam draf RUU KUHP yang sudah disetujui Komisi III DPR dan Menteri Kehakiman Yasonna Laoly. Di dalam rancangan beleid mengenai KUHP, ancaman hukuman minimum bagi terdakwa kasus korupsi berkurang dari empat tahun penjara menjadi dua tahun kurungan.

Denda perkara juga banyak berkurang. DPR bersama pemerintah selalu berdalih rezim penghukuman terhadap pelaku korupsi bukan sekadar penjara tapi lebih fokus pada pengembalian kerugian negara.

“Dengan klausul hukuman minimal empat tahun penjara saja, rata-rata vonis yang diberikan dua tahun dan enam atau tujuh bulan penjara. Justru hukumannya makin dikurangi, pasti vonis-vonis dari pengadilan semakin rendah,” ujar Kurnia.

Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar (tengah) dikawal polisi setelah pembacaan hukuman di pengadilan Tipikor, Jakarta, 4 September 2017.
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar (tengah) dikawal polisi setelah pembacaan hukuman di pengadilan Tipikor, Jakarta, 4 September 2017.

Hal lain yang memanjakan koruptor dalam RUU Pemasyarakatan adalah narapidana kasus korupsi yang dibolehkan mengajukan cuti bersyarat. Koruptor mendapatkan hak cuti bersyarat itu, misalnya, bisa dipergunakan oleh yang bersangkutan untuk keluar lembaga pemasyarakatan dan pulang ke rumah atau jalan-jalan ke mal, dengan syarat harus diikuti oleh petugas kemana pun.

Namun tidak ada penjelasan secara rinci berapa lama waktu cuti dan masa rekreasi untuk para narapidana kasus korupsi.

Anggota Komisi III DPR Masinton membantah jika dikatakan koruptor makin dimanjakan dengan sejumlah revisi undang-undang. Dia mencontohkan dalam RUU KUHP justru ancaman pidana pejabat negara mendapatkan hukuman lebih berat dibanding orang yang bukan pejabat negara.

“Tidak ada yang diringankan. Penyelenggara negara malah lebih berat,” kata Masinton.

DPR, kata Masinton, ingin meletakan UU Pemasyarakatan dalam kerangka hak asasi manusia.

DPR berdalih dalam sistem peradilan pidana terpadu, seorang terpidana yang sudah mendapatkan keputusan hukum yang tetap tidak perlu lagi didiskriminasikan. [fw/ft] (VOA)