ilustrasi-hukuman-mati1

Jakarta,  (Metrobali.com) –

Lembaga kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali pemberian hukuman mati terhadap para terpidana yang masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua.

“Kami meminta pemerintah Indonesia mengevaluasi eksekusi pidana mati dan lebih jauh melakukan moratorium serta melakukan ‘review’ terhadap seluruh putusan pidana mati yang terindikasi tidak sesuai dengan prinsip ‘fair trial’,” kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono dalam keterangant tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Sabtu (25/4).

Menurut Supriyadi, pidana mati yang dijatuhkan pada para terpidana banyak yang tidak memenuhi standar peradilan yang adil, seprti yang terjadi pada Zainal Abidin, terpidana mati asal Indonesia, dan Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati asal Filipina.

“Zainal Abidin terindikasi disiksa dan diintimidasi oleh penyidik, tidak didampingi kuasa hukum atau tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak dari negara pada awal interogasi, saksi yang diajukan di ruang sidang juga sangat minim,” tutur dia.

Sementara Supriyadi menduga Mary Jane Fiesta Veloso tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak dan menganggap peran perempuan tersebut sangat sedikit dalam perkara narkoba yang dituduhkan kepadanya.

“Peran Mary Jane dalam jaringan narkotika juga sangat lemah karena dia merupakan kurir yang dijebak, dan karena itu dia tidak layak dijatuhi pidana mati,” ujar dia.

ICJR juga mengingatkan pemerintah bahwa evaluasi hukuman mati bisa menaikkan posisi tawar Indonesia dalam usaha menyelamatkan para warga Tanah Air yang terancam hukuman mati di luar negeri.

“Indonesia juga masih punya pekerjaan rumah dalam menyelesaikan persoalan TKI yang terancam pidana mati di luar negeri,” tuturnya.

Selain itu, ICJR juga menyoroti lamanya jarak antara vonis mati pengadilan dan eksekusi mati karena dapart membuat para narapidana mengalami tingkat stress yang tinggi, depresi dan gangguan kejiwaan.

“Pada 2012, Juan Mendes, pelapor khusus PBB untuk penyiksaan dan perlakukan merendahkan martabat manusia lainnya, menyatakan bahwa praktik penundaan lama dalam penjara adalah bagian dari penyiksaan,” ujar Supriyadi.

Oleh karena itu, ICJR meminta pemerintah Indonesia memanfaatkan posisi dalam negeri yang sedang baik setelah peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika untuk melakukan tinjauan kembali atas hukuman mati yang tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan.

Supriyadi mengatakan Presiden Joko Widodo harus berhati-hati agar tidak dianggap tidak konsisten terkait prinsip hak untuk hidup, menolak ketidakadilan dan kemanusiaan yang dikumandangkannya pada pidato pembukaan KAA.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia sendiri belum mengumumkan secara resmi kapan eksekusi tahap kedua akan dilakukan setelah yang pertama dilaksanakan pada 18 Januari 2015.

Adapun 10 nama terpidana mati yang masuk gelombang dua di antaranya Andrew Chan (Australia), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Rodrigo Gularte (Brazil), Sergei Areski Atlaoui (Perancis), Zainal Abidin (Indonesia), Sylvester Obiekwe Nwolise (Nigeria) dan Okwudili Oyantanze (Nigeria). AN-MB