Oleh : IDPG Rai Anom

Hukuman yang dijatuhkan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar kepada Bali Post dalam sidang tanggal 17 Juli 2012 memang tidak sesuai dengan tuntutan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Namun, jika ditimbang-timbang, hukuman itu sudah cukup telah menohok langsung ke jantung hatinya Bali Post berikut para awak media terbesar dan tertua di Bali itu.

Bayangkan, selain dihukum membayar ganti rugi uang sebesar Rp 170 juta kepada penggugat (Gubernur Bali Made Mangku Pastika), Bali Post juga dihukum berlapis wajib memuat pernyataan tertulis pada halaman satu atau halaman muka di sejumlah media cetak di Bali berisi pernyataan bahwa berita tanggal 19 September 2011 dengan judul “Pasca Bentrok Kemoning – Budaga, Gubernur : Bubarkan Saja Desa Pakraman” adalah berita tidak benar sehingga para tergugat yangterdiri dari Pemred/Penanggungjawab BP I Nyoman Wirata, wartawan BP Biro Klungkung I Ketut Bali Putra Ariawan dan Direktur Utama PT Bali Post ABG Satria Naradha harus meminta maaf kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Majelis Utama Desa Pakraman, PHDI dan desa pakraman se-Bali serta masyarakat Bali. Frekwensi pemuatannya tidak tanggung-tanggung : enam (6) hari penuh dan berturut-turut. Berapa rupiahyang harus dikeluarkan BP untuk itu. Apalagi selama ini BP mengandalkan pemasukan pendapatan dari penjualan halaman koran dalam bentuk iklan, berita berbayar advertorial dan sebagainya.

Belum lagi kewajiban untuk memuat pernyataan dan permohonan maaf yang sama pada media cetak lain. Pastilah ratusan juta uang BP akan melayang. Hitung misalnya berapa biaya pemuatan iklan pernyataan dan permohonan maaf itu di halaman satu Harian NusaBali untuk dua kali muat, begitu juga di Warta Bali untuk dua kali muat juga, dan kemudian masing-masing satu kali muat di Fajar Bali, Bali Tribun serta Radar Bali. Koran-koran itu, meskipun lebih kecil daripada Bali Post, kan tarifnya tidak murah. Pastilah pemilik modal Bali Post akan terkuras koceknya. Walaupun mungkin tidak banyak untuk ukuran milyarder seperti KMB dibawah kendali ABG Satria Naradha.

Kalaupun Bali Post mampu membayar semua itu, hal yang tidak ternilai harganya adalah hukuman moral yang terkandung di balik hukum yang dijatuhkan PN Denpasar itu. Gengsi Bali Post yang selama ini sukses menguasai pasar permediamassaan Bali dengan caranya yang unik, pasti bakal jatuh. Kredibilitas dan elektabilitasnya pasti makin menurun. Selama bersengketa dengan MP saja terekan informasi banyak pelanggannya beralih ke media lain, seperti Radar Bali, Bali Tribun dan lainnya. Sungguh akan memberatkan.

Namun, apakah itu berarti PN Denpasar ikut menekan pers? Tidak juga. Dari analisis yang dibacakan selama kurang lebih 4 jam dalam persidangan Selasa, 17 Juli 2012, ada banyak sekali pertimbangan yang sangat edukatif sebelum majelis hakim yang diketuai Amser Simanjuntak dengan anggota I Gusti Agung Bagus Komang Wijaya Adi dan Nursyam menjatuhkan vonis. Salah satunya untuk mengontrol perilaku Bali Post dalam memuat berita yang membahayakan Bali karena telah melanggar kaidah-kaidah karya jurnalistik yang adiluhung.

Bersyukur Majelis Hakim tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi imateriil yang nilainya Rp 150 milyar. Bersyukur juga majelis hakim tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi sita jaminan atas aset Bali Post di Jl. Kepundung Nomor 63 A Denpasar atau yang disebut dengan gedung bali post. Jika tuntutan atau gugatan itu dikabulkan dan putusan itu memiliki kekuatan hukum tetap, bisa dipastikan, Bali Post akan kelimpungan juga. Atau bahkan bangkrut karena ketidakpatuhannya sendiri pada kaidah-kaidah jurnalistik dan hukum positif.

Jika tanpa hukuan itu sekalipun, hukuman sudah telak pada tahap pertama ini bagi koran yang mengumandangkan ajeg Bali, Koperasi Krama Bali dan memiliki motto Pengemban Pengamal Pancasila ini. Hukuman membayar ganti rugi sebesar Rp170 juta itu sudah cukup besar. Jika itu dihitung dalam bentuk kompensasi pembelian halaman koran untuk memuat berita pada halaman dua ukuran 15 cm kali dua kolom, yang tarifnya mencapai Rp2 juta, itu sama dengan berapa centimeter kali berapa kolom.

Yang paling ringan mungkin adalah hukuman membayar biaya perkara sebesar Rp 391 ribu secara bersama-sama yang kira-kira setara dengan tarif beberapa iklan baris tanah dijual, lowongan kerja dan sebagainya. Tetapi demikianlah, dari aspek sederhana ini saja, bagi perusahaan yang begitu kentara berorientasi bisnis, akan cukup untuk membuat masyarakat budaya Bali mengendapkan penilaian untuk jangka panjang ke depan mereka. Seperti kesaksian Prof. Dr. Drs. Tjipta Lesmana, MA, kemerdekaan pers saat ini memang sudah kebablasan sehingga banyak masyarakat yang dirugikan pers hanya terdiam karena tidak mampu berbuat apa. Namun, dengan kasus ini, banyak pelajaran, informasi, pencerahan dan sekaligus hiburan bahkan mungkin banyolan dapat dipetik.

Mungkin benar pepatah mengatakan, mula sing nyidaan nekepin andus (memang tak mungkin mengantang asap), atau dalam bahasa asing disebutkan no one can hide the truth, tak ada seorangpun mampu menyembunyikan kebenaran karena kebenaran akan muncul dengan sendirinya.

Proses hukum kasus ini memang belum selesai, dan kemenangan pihak Gubernur Bali Made Mangku Pastika belum final, karena ada waktu 14 hari bagi para pihak untuk berpikir, menerima atau menolak putusan berani hakim ini. Satu yang pasti, jika BP banding, pihak MP siap meladeni karena seperti itulah hukum. Beda dengan perdamaian.