I Gede Sutarya

Kontraversial tentang pertentangan Teologi Hindu Tradisi Bali dengan Hare Krishna bergulir di berbagai media sosial, tetapi belum tampak jelas uraian tentang perbedaan tersebut, sehingga muncul pertanyaan bagaimanakah Hindu Tradisi Bali? Bagaimanakah perbedaannya dengan Hare Krishna?

——————————————–

Teologi Hindu Tradisi Bali berasal dari pengaruh Hindu-Buddha dari India. Secara mitologi, Teologi Hindu Tradisi Bali ditanamkan pertama kali oleh Rsi Markendya. Rsi ini bersumber dari kisah-kisah Purana Hindu pada zaman Itihasa Ramayana. Rsi Markendya juga muncul dari sumber-sumber mitologi di Sunda, Jawa Barat yang disebutkan sebagai leluhur raja-raja Galuh. Setelah mempunyai penerus dinasti di Galuh, Rsi Markendya, yang di Sunda disebut Markandia berlayar ke timur, kemudian tiba di Bali.
Lontar Markendya Purana mengisahkan Rsi Markendya menanam pandadatu di Besakih. Rsi ini juga memelopori upacara Eka Dasa Rudra, yang diselenggarakan sampai saat ini. Eka Dasa Rudra dalam tradisi Veda adalah homa (pemujaan api suci) yang diselenggarakan untuk memuja Rudrasahasranama, yang tujuannya untuk membebaskan suatu desa dari penyakit. Pemujaan terhadap Rudra dilakukan juga pada upacara Hindu Kuno yang disebut Agnicayana.
Pemujaan Rsi Markendya ini menunjukkan Rsi ini adalah Brahmana ortodok, pengikut setia Catur Veda, sehingga Teologi Ketuhanannya adalah Dvaita. Rsi ini dipercaya juga membangun sistem pertanian di Bali, dengan sisa-sisa pemujaan terhadap Visnu. Misalnya terdapat peninggalan di saluran irigasi yang disebut masyarakat lokal Bali sebagai Sama Kunda, yang seharusnya adalah Syama Kunda, yang artinya adalah tempat suci untuk pemujaan Visnu.
Tahun pasti kedatangan Rsi Markendya ke Bali tidak diketahui dengan pasti. Sumber-sumber di Orissa, India menyatakan pelayaran ke Nusantara paling ramai sekitar abad ke 6 sampai 7 Masehi. Kemungkinannya, Rsi Markendya datang ke Bali paling lama pada abad ke-6 Masehi. Sampai kemudian Shri Kesari Varmadeva mengeluarkan prasasti di Blanjong, Sanur pada abad ke-9 Masehi. Prasastinya telah menunjukkan keyakinan Shiva-Buddha, dari doa raja itu kepada Sang Adi Buddha dan Shiva.
Kepercayaan Shiva-Buddha adalah kepercayaan yang dipengaruhi teks-teks Mahayana dan Advaita Sankaracharya. Andrea Arci menyebutkan teks-teks itu adalah teks-teks India abad ke-8 Masehi, yang sangat dipengaruhi filsafat sunya. Filsafat sunya ini pertamakali dicetuskan Biksu Buddha yang bernama Nagarjuna pada awal Masehi. Sumber aslinya adalah ajaran Buddha yang disebut “Anata” yang artinya ketiadaan, yaitu bahwa esensi dunia ini adalah ketiadaan, tidak ada yang kekal.Teks-teks ini yang berpengaruh terhadap Teks Sarasamuscaya dalam ajaran meditasi yang kontraversial dengan merenungkan kecantikan yang akan segera menua, membusuk dan mati.
Hal ini menunjukkan setelah Shri Kesari Varmadewa, Teologi Hindu Tradisi Bali adalah advaita, dalam pemujaan Shiva, Buddha dan Sakta. Setelah Gunapryadharmapatni menguasai Bali pada sekitar abad ke-10 Masehi, pemujaan Sakta mendominaasi, dengan puncaknya pada perayaan Galungan dan Kuningan sebagai pemujaan Durga dan Shiva. India, pada abad ke-8 – 10 Masehi masih sangat dipengaruhi pemikiran Advaita Sankaracharya. Karena itu pengaruh ini yang paling kental datang ke Bali, dan Nusantara lainnya.
Perkembangan di India pada abad ke-12 Masehi dalam bentuk neo-Dvaita tidak pernah sampai ke Nusantara, karena peperangan di India dengan pasukan-pasukan asing (Islam). Pasukan Mughal secara sempurna menguasai pelabuhan-pelabuhan India pada abad ke-15 Masehi, sehingga pelayaran ke Nusantara mulai lagi dengan pedagang-pedagang Islam. Pedagang-pedagang ini, selain membawa Islam, juga membawa sufisme, yang dipengaruhi filsafat India. Sufisme memiliki pengaruh besar di Jawa.
Perjalanan sejarah ini menunjukkan bahwa dari sekitar abad ke-12 – 15 Masehi, perkembangan Hindu di India, tidak sampai ke Nusantara. Karena itu, perkembangan neo-dvaita, yang kemudian memunculkan pemujaan Rama dan Krishna tidak sampai pengaruhnya ke Nusantara, walaupun bibit-bibitnya telah tampak dalam Kakawin Ramayana dan Bharata Yudha. Teologi Hindu Tradisi Bali bertumpu kepada konsep sunya pada kalangan elite dan pemujaan Dewa-dewa lokal pada masyarakat kebanyakan.
Persentuhan Bali (Nusantara) dengan India kembali terjadi pada sekitar tahun 1920-an. Kalangan terdidik Bali pada tahun 1927 banyak membaca tentang pergerakan Gandhi di India. Gerakan ini melawan penjajah dengan melakukan gerakan pembaharuan dalam masyarakat, termasuk melakukan kritik terhadap tradisi. Pengaruh gerakan ini sampai ke Bali, sehingga pemikir-pemikir Bali dari kalangan Suryakantha menyuarakan egalitarisme.
Pemikiran-pemikiran Hindu modern terus sampai ke Bali setelah itu. Pandit Shastri datang ke Bali pada sekitar tahun 1947, kemudian Raguvira dan yang lainnya. Pandit ini kemudian bergaul dengan pemuda-pemuda Bali untuk mengkonstruksi Hindu modern di Bali. Dialog-dialog ini melahirkan gagasan-gagasan dalam parisada yang diterjemahkan dalam ketetapan-ketatapan Mahasabha untuk melakukan berbagai perubahan.
Tradisi Bali VS Hare Krishna
Hare Krishna datang ke Bali, setelah zaman modern sekitar tahun 1980-an. Hare Krishna adalah seperti fizza dalam studi-studi agama. Fizza itu aslinya dari Italia, tetapi menjadi terkenal karena olahan dan sistem marketing Amerika. Hare Krishna juga demikian, aslinya dari Mayapura, India tetapi terkenal karena kreativitas murid-murid Amerika. Karena itu, Hare Krishna mengikuti pola-pola Amerika dalam menyebarkan dharma, seperti membangun organisasi modern.
Hare Krishna juga lahir dari kritik terhadap Hindu tradisional di India, terutama terhadap Brahmana tradisional. Kelompok ini tidak membedakan manusia berdasarkan kelahirannya (kasta),sehingga siapa pun bisa menjadi brahmana. Bahkan orang dari luar India pun seperti dari Eropa dan Amerika bisa menjadi brahmana. Pola-pola ini merupakan reaksi terhadap penyebaran Islam di India yang menggunakan kasta sebagai alasan, karena itu, Hare Krishna menjawabnya dengan egalitarisme dalam beragama.
Hare Krishna juga menjawab kritik-kritik Islam terhadap upacara-upacara rumit di India, yang hanya bisa dilaksanakan kaum brahmana, dengan mengajarkan Kali Santarana Upanisad, yaitu cukup dengan mengucapkan mahamantra Hare Krishna. Jawaban dari kritik-kritik Islam terhadap tradisi Hindu di India pada abad ke-14 Masehi ini, menjadi ajaran dari Hare Krishna sampai era modern ini. Karena itu, Hare Krishna menjadi lawan dari Hindu tradisional di India sekali pun.
Di Bali, kritik-kritiknya terhadap upacara dan kerumitan tradisi menjadi masalah dengan kaum Hindu tradisional, tetapi pada kalangan Hindu modern, kritik-kritik ini menjadi bahan untuk melakukan perubahan. Modernisasi Hindu sudah berlangsung sejak tahun 1950-an, dengan menghilangkan hukum-hukum adat yang berbasis kasta seperti asu mundung angalangkahi karang hulu. Pada tahun 1960-an, perkenalan upacara-upacara sederhana sudah dilakukan. Pada tahun 1968, melalui Paruman Agung II, parisada diamanatkan untuk melakukan pemajuan adat Bali. Karena itu, sebenarnya kritik-kritik Hare Krishna sudah berjalan di Bali sejak tahun 1950-an, tetapi parisada berjalan pelan sesuai dengan dinamika masyarakat.
Karena itu, gesekan-gesekan dari kritik-kritik itu sebenarnya tak perlu terjadi lagi. Perubahan telah menjadi amanat parisada, yang terus berdinamika sehingga Hindu Tradisi Bali pun terus berubah. Awig-awig desa adat sejak Paruman Agung II tahun 1968, telah banyak berubah. Hukum adat yang tidak adil telah diubah melalui penulisan Awig-awig sejak tahun 1970-an. Parisada juga telah melahirkan bhisama tentang penegasan konsep varna, sehingga telah menghapuskan upacara patiwangi dalam perkawinan beda wangsa. Pembaharuan-pembaharuan telah terus berjalan. Pada saat ini, setiap orang dari keluarga mana pun, telah bisa menjadi Brahmana dalam Hindu Tradisi Bali. Karena itu, perubahan telah terus terjadi.
Akan tetapi, terjadi masalah pada eksklusifisme beragama di mana ada sekolompok orang yang tak mau bergaul dengan sesama umat karena berbeda keyakinan. Hal ini menjadi tugas parisada untuk melakukan moderasi dalam kehidupan intern beragama, dengan banyak melakukan dialog sehingga eksklusifisme berubah menjadi inklusif, sehingga kegayuban dalam intern umat Hindu terus terbangun dengan baik.

Penulis, Dosen Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar