Cita-cita: “menjadi penulis”.

Dalam dunia tutur sangat jarang anak-anak Indonesia akan memberikan jawaban seperti di atas ketika ditanya kelak akan menjadi apa.

Sudah lumrah bagi anak-anak dengan jawaban akan menjadi dokter, insinyur, pilot, polisi atau tentara. Anak-anak yang berani menyebut ingin menjadi “penulis”, sangat jarang, kalau tidak boleh disebut tidak ada. Selain tidak tercantum dalam kolom pekerjaan di kartu tanda penduduk, “penulis” tidak cukup familier di telinga masyarakat kebanyakan.

Bahkan, kata “penulis” itu akan berkonotasi sebagai juru tulis di kantor desa. Alias sekretaris desa atau kelurahan. Selain pekerjaannya “tidak jelas”, bayarannya mungkin tidak jelas juga, sehingga profesi ini belum dianggap bergengsi di masyarakat kita.

Buku “My Life as Writer” karya Haqi Achmad dengan Ribka Anastasia Setiawan ini akan membuka wawasan bahwa profesi “penulis” juga menjanjikan sejumlah kelebihan. Bahkan juga “kebebasan” finansial karena royalti akan datang saat seorang penulis tidak bekerja.

Buku yang dipenuhi dengan kutipan kalimat-kalimat penting dengan format lebih besar dan warna berbeda dari teks aslinya ini menceritakan bagaimana kehidupan lima orang Indonesia yang memilih menjadi penulis.

Mereka adalah Dewi Lestari (Dee), Clara Ng, Alanda Kariza, Farida Susanty dan Vabyo. Mereka adalah penulis buku fiksi yang tergolong produktif.

Vabyo, penulis Joker, Ada Lelucon di Setiap Duka yang bernama asli Valliant Budi itu mendapat tantangan dari sang ayah ketika memilih profesi sebagai penulis. Sang ayah menyuruhnya untuk memilih profesia lain. Tantangan sang ayah dijawabnya dengan berkarya.

Namun ia mengingatkan juga bahwa kalau menjadi penulis fokusnya untuk mencari uang, maka harus melihat situasi karena sebuah buku bisa laku bisa juga tidak.

“Dulu aku juga nggak punya kesadaran bahwa menulis dapat dijadikan profesi. Apalagi waktu kecil aku terbiasa mendengar cita-cita orang itu seputaran dokter atau jadi insinyur,” kata Clara Ng yang lahir dari keluarga Tionghoa dengan latar belakang pebisnis.

Clara yang mulai belajar menulis sejak kecil itu menegaskan bahwa sebagai makhluk sosial semua orang itu seharusnya menyukai menulis. Manusia punya keinginan yang kuat untuk dekat dengan makhluk lain, khususnya manusia lain. “Manusia punya keinginan untuk saling bercerita. Itu sudah ada dalam DNA kita,” katanya.

Perempuan lulusan Ohio University, Colombus, USA, ini menceritakan bahwa pilihan menjadi penulis dijalaninya karena ia memiliki kebebasan untuk menulis apa saja yang kemudian diapresiasi banyak orang.

Selain itu ia juga memiliki kebebasan soal waktu dengan menulis kapan dan dimana saja.

“Aku bisa mengatur waktu berkumpul dengan keluargaku. Aku memiliki kebebasan waktu untuk diriku sendiri. Dan di sisi lain aku bisa menghasilkan uang. Kebebasan itu yang sebenarnya aku impikan dari bekerja,” kata penulis trilogi “Jampi-jampi Varaiya” itu.

Satu hal yang sering luput dari perhatian bahwa menulis juga bisa menjadi sarana terapi.

Demikian juga dengan Clara. Novel Tujuh Musim Setahun dianggap Clara lahir karena “kecelakaan” pada tahun 2002.

Saat itu ia mengalami keguguran kandungan. Di sela-sela perawatan dan rasa duka mendalam, ia menyalurkan perasaannya lewat menulis. Menulis menjadi terapi ampuh bagi masalah yang dihadapinya.

Dewi Lestari, penulis seri Supernova, yang lebih memilih fokus pada kegiatan menulis dari pada olah vokal itu karena profesi tersebut menjanjikan banyak kelebihan. Yaitu tidak terikat waktu dan tempat sehingga terbebas dari kemacetan jalanan ibu kota.

Penulis novel Perahu Kertas dan sekaligus penulis skenario film dengan judul yang sama dengan novelnya itu mematahkan semacam mitos bahwa menjadi penulis itu harus kuat membaca.

Setidaknya, ia mengaku bahwa sampai saat ini belum menemukan korelasi kuat dalam dirinya antara membaca dengan menulis. Apalagi waktu kecil ia tidak termasuk gadis yang suka membaca.

Ia justru suka mengkhayal. Setidaknya ada slot waktu dua jam sebelum tidur digunakannya untuk berkhayal.

Dee, panggilan akrab penulis yang juga personel kelompok vokal Rita Sari Dewi (RSD) itu menulis sejak kelas V sekolah dasar. Ia masih ingat tulisan pertamanya itu bercerita tentang khayalannya yang ditulis tangan pada sebuah buku dengan cover artis penyanyi Dian Piesesha.

Kalau Clara tidak suka menulis buku harian, maka Dewi sangat terbantu dengan kebiasaan mengisi diare itu. Menulis buku harian adalah tempat ia mengasah kemampuan menulisnya.

Cerita menarik diungkapkan Dee ketika menghasilkan novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh pada 2000. Saat itu ia berusia 24 tahun dan ingin menjadikan novel itu sebagai kado spesial di usianya yang 25 tahun.

Dee sadar bahwa novelnya adalah manuskrip yang isinya tidak biasa ketika itu.

Membayangkan rumitnya berurusan dengan penerbit, akhirnya ia menerbitkan novel itu sendiri. Pilihan yang tidak lazim juga ketika itu.

“Sebenarnya saat itu cenderung polos dan goblok. Aku nggak tahu 5.000 buku itu sebanyak apa dan aku juga nggak tahu siapa saja 5.000 orang Indonesia yang mau membaca buku aku. Pokonya targetnya untuk hadiah ulang tahun ke-25,” kata perempuan berdarah Batak itu.

Ketika selesai dicetak, dada Dee sesak melihat tumpukan buku itu. Ternyata untuk mencetak novel itu, Dee juga berhutang pada Triawan Munaf, ayah dari penyanyi Sherina Munaf.

Ia merasa jatuh bangun untuk menerbitkan novel itu sendiri. Selanjutnya Dee menggagas penerbitan novel digital berjudul Perahu Kertas.

Ia adalah pioner dalam menerbitkan novel berformat digital bekerja sama dengan penyedia “content provider” itu.

Kunci menjaga ritme dalam pekerjaan yang tidak terikat waktu ini, bagi Dee adalah target. Ia selalu mematok target agar proyek tulisannya tidak molor.

Misalnya setiap hari menghasilkan sekian halaman. Dengan memasang target, maka dirinya memiliki pegangan kuat untuk teguh pada komitmen. Dee juga mengungkapkan bahwa untuk mengatasi hambatan menulis atau “writer’s block”. Jawabnya sangat gampang. Mandi. Air bisa melunturkan hambatan itu.

Mengenai pilihan untuk total menjadi penulis, Dee mengatakan bahwa profesi ini memang menjanjikan, tapi sekaligus perlu disadari bahwa memang tidak banyak penulis yang betul-betul bisa berdiri sendiri dari menulis.

Ia mengakui bahwa tidak banyak penulis di negeri ini yang seberuntung Andrea Hirata yang novelnya Laskar Pelangi laku hingga jutaan copy.

Hingga saat ini Dee mengakui bahwa menulis adalah nafkahnya, profesinya. Ia tidak banyak lagi mengambil job di musik yang juga membesarkan namanya.

“Aku lebih banyak nulis di rumah dan sebagian besar pendapatanku adalah dari royalti. Jadi menulis adalah tempatku mencari nafkah,” katanya.

Farida berpendapat bahwa menjadi penulis itu memang menghasilkan. Ada temannya yang kini fokus menggantungkan penghasilannya dari menulis.

Kuncinya adalah metode atau cara. Misalnya memasang target setahun harus menghasil berapa novel yang “bestseller”. Saat ini Farida sendiri masih bertumpu pada rasa tanggung jawabnya setelah menyandang nama sebagai penulis.

“Bukan untuk tujuan mapan seperti teman saya. Tapi lebih karena merasa aneh apabila mengaku sebagai penulis tapi tidak menghasilkan sesuatu,” katanya. Masuki M Astro/Antara