Hibah Dadia Dipersulit, Dewan Meradang
Anggota Komisi IV DPRD Bali, Ketut Mandia
Denpasar, (Metrobali.com)-
Komisi IV DPRD Bali, Rabu (12/10), memanggil Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Dewa Putu Beratha, untuk meminta penjelasan terkait belum cairnya 424 proposal hibah yang difasilitasi dewan di dinas tersebut.
Total dana hibah untuk 424 proposal itu sebesar Rp19 Miliar lebih. Penjelasan yang disampaikan Putu Beratha dalam rapat tersebut rupanya memantik kekecewaan Dewan. Anggota Komisi IV DPRD Bali, Ketut Mandia, tampak emosional ketika keluar dari ruang rapat.
Pasalnya, dalam syarat pencarian dana hibah yang difasilitasi anggota DPRD Bali, kelompok Dadia tidak dimasukkan ke dalam desa Adat. Karena itu, untuk mencairkan hibah yang diajukan Dadia harus disertai surat keterangan dari bendesa adat bahwa Dadia bagian dari desa adat.
“Katanya dinas (Dinas Kebudayaan-red) takut, karena dalam Peraturan Gubernur, ini menyimpang. Karena masyarakat Dadia tidak dimasukkan dalam masyarakat adat. Kan lucu dong. Padahal surat domisili sudah ditandatangani desa dinas. Setiap proposal dadia diketahui bendesa adat. Apalagi yang dipersoalkan,” kata Mandia.
Ia menjelaskan, Dadia merupakan penyokong Desa Adat. “Setiap ngusaba, melasti, Dadia itu turun bersama mundut pratima ke kahyangan desa adat. Dalam awig-awig masing-masing desa adat juga muncul kalimat wewidangan terdiri dari Dadia ini, Dadia itu. Masyarakat adat yang menyokong adalah masyarakat Dadia. Ini dibuat blunder lagi, nanti harus minta surat keterangan. Padahal sudah bolak-balik bikin surat keterangan. Rakyat sudah ngambul nih. Gak mau tanda tangan, tidak mau surat-surat itu lagi,” tegasnya.
Politisi PDI Perjuangan asal Klungkung ini mengatakan, Dadia di Bali dianggap seperti pencuri, padahal mereka bagian dari desa Adat. Ia berharap, pemerintah mencari klausul-klausul untuk bisa bijak memperlakukan Dadia. “Masyarakat kita bukan pencuri. Dadia-dadia ini bagian desa adat,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta mengatakan, persoalan Dadia itu karena adanya miskomunikasi. Masalah tersebut sudah diselesaikan dalam rapat tersebut. “Sudah kita jelaskan, ada sanggar yang langsung di bawah desa adat, ada sanggar yang milik kelompok atau perorangan. Terus menyangkut Dadia, itu bagian dari kesatuan masyarakat hukum adat. Sekarang sudah klir (beres, red) semuanya,” tegas Parta usai rapat.
Politisi PDIP asal Gianyar ini mengatakan, semua proposal hibah yang nilainya mencapai Rp 19 milyar lebih itu pada intinya bisa dicairkan sepanjang memenuhi syarat. Termasuk proposal yang diajukan oleh sanggar dan Dadia.
“Syarat yang mesti dipenuhi antara lain, menyertakan surat keterangan domisili, Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari camat, surat keterangan bagian dari desa adat/pakraman, dan tidak menerima bantuan secara terus-menerus,” jelasnya.
Sementara itu, Kadis Kebudayaan Bali Dewa Putu Beratha menjelaskan, dari 424 proposal hibah yang difasilitasi dewan, beberapa sudah dalam proses NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah, red) untuk bisa melakukan pencairan di Biro Keuangan. Ada pula yang masih dalam proses menyiapkan draft Surat Keputusan (SK), dan sebagian lagi SK-nya sudah ditandatangani gubernur.
Menurutnya, hibah pasti bisa dicairkan sepanjang memenuhi aturan, NSPK (Norma, Standar, Prosedur, Kriteria), dan lolos verifikasi faktual. Terkait sanggar dan Dadia, pihaknya memang meminta pula surat keterangan dari desa adat. “Itu untuk jaga-jaga saat pemeriksaan dan meyakinkan pemerintah bahwa sanggar, Dadia itu merupakan bagian dari kesatuan masyarakat hukum adat Bali,” tegasnya.SIA-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.