Rokhmin Dahuri

Jakarta (Metrobali.com)-

Salah satu ironi yang dihadapi sebuah negara kepulauan seperti Republik Indonesia adalah masih banyaknya nelayan tradisional yang hidup dalam jeratan kemiskinan.

Sebagaimana diwartakan berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, sekitar 25 persen dari jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah mereka yang berada di kawasan pesisir, di mana banyak dari mereka bekerja sehari-hari sebagai nelayan.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menyatakan nelayan tradisional pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo seharusnya bisa lebih sejahtera dari masa pemerintahan presiden sebelumnya.

“Nelayan pada masa Jokowi-JK seharusnya lebih baik dan diuntungkan,” kata Rokhmin Dahuri dalam acara Orasi Kebangsaan dan Dialog Kelautan di Gedung Joeang 45, Jakarta, Selasa (27/1).

Menurut Rokhmin, pada zaman Presiden Megawati Soekarnoputri yang mengurus nelayan hanya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tetapi sekarang ada dua ditambah dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman.

Ia juga membandingkan, anggaran KKP pada saat dirinya menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan hanya sekitar Rp2 triliun per tahun, tetapi pada saat ini jumlah anggarannya lebih dari Rp10 triliun.

Rokhmin juga menyatakan bahwa maksud Presiden Jokowi pada saat ini seharusnya menjadikan sektor kelautan sebagai sumber kemakmuran bangsa.

Apalagi, ujar dia, bila berbicara terkait sektor kelautan dan perikanan maka hal tersebut juga terkait dengan 11 sektor perekonomian lainnya.

Dalam acara yang sama tersebut, Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo menyoroti tiga permasalahan utama yang dinilai terus menghambat nelayan tradisional guna meningkatkan tingkat kesejahteraannnya di Tanah Air.

“Masalahnya ada tiga, yang pertama adalah susah mencari BBM (bahan bakar minyak),” kata Edhy Prabowo dan menambahkan, tidak hanya sukar mencari BBM, tetapi nelayan juga kerap menghadapi persoalan ada BBM, tetapi tidak bisa melaut karena cuaca buruk dan ombak tinggi.

Persoalan kedua, ujar dia, adalah sukarnya mendapatkan akses permodalan yang tidak hanya dihadapi para nelayan tetapi juga beragam kalangan.

Sedangkan persoalan ketiga adalah sukarnya mendapatkan alat tangkap yang sangat vital digunakan dalam operasionalnya di laut guna menangkap ikan.

Sebagaimana diberitakan, tingkat harga jaring penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan tradisional dinilai merupakan yang termahal di negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara.

“Harga jaring di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara,” kata Susi Pudjiastuti dalam rapat kerja Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Senin (26/1).

Menurut Susi, harga jaring perikanan di Tanah Air sangat mahal, bahkan harga jaring di Indonesia bisa mencapai empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan harga jaring di Singapura.

Ia memaparkan, mahalnya harga tersebut antara lain karena nilon (bahan baku pembuat jaring) ternyata termasuk ke dalam kategori tekstil yang dilindungi dan diproteksi, sehingga diterapkan bea masuk yang cukup tinggi.

Menteri Kelautan dan Perikanan mempertanyakan mengapa nilon sebagai pembentuk bahan baku jaring bisa disamakan dengan nilon untuk bahan tekstil pakaian.

Untuk itu, Susi mengemukakan bahwa hal tersebut hanya karena ketidaktahuan, sehingga berbagai pihak terkait seperti Kementerian Perdagangan harus duduk bersama guna membahas hal tersebut.

Pungutan masih ada? Selain mahalnya harga jaring, hal lainnya yang ironis adalah temuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan dan Perikanan (Kiara) bahwa kebijakan pembebasan pungutan bagi nelayan kecil masih belum diberlakukan di berbagai daerah, sehingga dibutuhkan sosialisasi dan pengawasan yang kuat dari pemerintah.

“Nelayan kecil di barat, tengah dan timur Indonesia tidak mendapatkan informasi yang memadai berkenaan dengan pembebasan pungutan hasil perikanan,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, Kamis (22/1).

Untuk itu, menurut dia, Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama-sama dengan pemerintah pusat harus bekerja keras untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan pelaksanaan amanah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Ia mengingatkan, Pasal 48 UU Perikanan menyebutkan (1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan; dan (2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecildan pembudidaya ikan kecil.

“Ironisnya, nelayan kecil di Indonesia bagian barat, tengah dan timur justru masih dikenai pungutan hasil perikanan,” tuturnya.

Kiara menegaskan bahwa mandat undang-undang harus menjadi prioritas kewajiban pemerintah daerah untuk membebaskan pungutan hasil perikanan terhadap nelayan kecil.

Padahal sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan pihak pemerintah daerah jangan memungut retribusi dari nelayan kecil atau mereka yang memiliki kapal penangkan ikan berbobot kurang dari 10 GT (Gross Tonnage).

“Saya sedang menunggu respons dari gubernur dan bupati terkait pembebasan pungutan bagi kapal di bawah 10 GT,” ucap Susi Pudjiastuti setelah bertemu Dubes Kanada untuk RI, Donald Bobiash di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, bulan November 2014 lalu.

Sebagaimana diketahui, perizinan bagi kapal besar atau berbobot di atas 30 GT adalah langsung melalui kementerian pusat yaitu KKP, sedangkan yang berbobot di bawah 30 GT diserahkan kepada pemerintah daerah.

Menurut Susi, pihak pemerintah daerah tidak akan kehilangan pemasukan karena biaya pungutan untuk kas daerah itu akan diupayakan diganti dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi pemerintah daerah-daerah tersebut.

“Saya berjanji menukarnya (pungutan retribusi terhadap nelayan kecil) dengan DAK,” ujarnya.

Namun, ia mengemukakan bahwa DAK yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah tersebut adalah mesti digunakan untuk hal yang produktif.

Menteri Kelautan dan Perikanan menyebutkan, usulan kebijakan itu adalah agar nelayan kecil di daerah jangan diberatkan lagi dengan pungutan.

Tekan biaya produksi Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengambil berbagai langkah yang dapat menekan biaya produksi melaut guna meningkatkan kesejahteraan nelayan.

“Untuk menekan biaya produksi, KNTI meminta pemerintah untuk mengambil langkah strategis guna menjaga harga pakan, harga jaring ikan, dan harga BBM agar tidak merugikan nelayan maupun pembudi daya ikan skala kecil,” ungkap Ketua Dewan Pembina KNTI M Riza Damanik di Jakarta, Selasa (20/1).

Selain itu, menurut Riza, pemerintah didesak segera menyediakan fasilitas informasi harga ikan dan lokasi-lokasi penangkapan ikan potensial secara rutin ke kampung-kampung nelayan.

Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan pengusaha perikanan dapat memberdayakan nelayan lokal, sehingga tidak lagi bergantung kepada awak kapal asing yang dinilai kerap lebih ahli.

“Pengusaha maunya awak kapal asing yang sudah jadi, mengapa tidak berdayakan nelayan yang sudah ada,” tukas Susi Pudjiastuti dalam rapat kerja Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Senin (26/1).

Untuk itu, ujar Susi, pihaknya juga bakal bekerja sama dengan Kementerian Tenaga Kerja agar ABK asal Indonesia lebih dihargai.

Selama ini, lanjutnya, bila ingin gaji besar, ABK asal Indonesia kerap bekerja di kapal luar negeri seperti Korea dan melaut di laut seperti Bering. “Bila terjatuh dari kapal sudah pasti mati karena suhunya yang dingin,” ucapnya.

Pemerintah melalui KKP telah menyiapkan pekerjaan alternatif bagi anak buah kapal (ABK) eks-kapal asing yang berpotensi kehilangan pekerjaannya karena kebijakan moratorium perizinan.

“Guna mengantisipasi Permen KP tentang moratorium izin kapal penangkap ikan, BPSDM KP menyiapkan berbagai jenis pelatihan mata pencaharian alternatif bagi para mantan Anak Buah Kapal (ABK) eks kapal asing tersebut. Pelatihan mata pencaharian alternatif,” kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) KKP Suseno Sukoyono.

Menurut dia, model pelatihan seperti itu telah diterapkan guna memberikan mata pencaharian alternatif bagi nelayan pada saat nelayan mengalami paceklik ikan dikarenakan musim angin dan gelombang tinggi, sehingga mereka tidak bisa melaut untuk menangkap ikan.

Adapun jenis pelatihannya antara lain pembuatan kerajinan dari kulit kerang, pembuatan garam skala rumah tangga, pembenihan ikan air tawar, budi daya ikan lele dalam kolam terpal, budi daya ikan hias, budi daya rumput laut, budidaya cacing tanah, pembuatan pakan ikan, pembuatan makanan olahan ikan, pembuatan olahan rumput laut, perawatan dan perbaikan mesin kapal.

Diharapkan dengan adanya penguasaan terhadap beragam pekerjaan alternatif ini, nelayan juga dapat lebih kreatif dan inovatif dalam meningkatkan taraf kesejahteraan baik dirinya maupun anggota keluarganya. AN-MB