Forum Bali Harmoni Dukung Reklamasi Teluk Benoa

Denpasar (Metrobali.com)-

Kurangnya lapangan pekerjaan ternyata bukan alasan yang mendasar yang diperlukan masyarakat Kabupaten Badung untuk reklamasi Teluk Benoa. Dari hasil survey yang dilakukan oleh Kadek Dwita Apriani, Akademisi Sosial Politik Universitas Udayana ditemukan bahwa hanya 1,6 persen dari 430 responden yang memandang lapangan kerja adalah isu yang penting dan krusial yang harus diselesaikan di Badung. “Ternyata yang setuju sama reklamasi hanya 1,6 persen. Artinya mereka yang butuh lapangan kerjapun memandang mendapat lapang pekerjaan bukan dengan cara reklamasi,” ungkap Kadek Dwita usai Diskusi Publik bertajuk Telisik Persepsi Publik Terhadap Rencana Reklamasi Teluk Benoa, Selasa (25/11).

Dalam  hasil survey juga ditemukan bahwa 64 persen responden tidak setuju dengan Reklamasi Teluk Benoa. Sementara hanya 9 persen masyarakat Badung yang setuju dan 27 persen tidak menjawab. Reponden usia muda yang dapat dikatakan membutuhkan lapangan pekerjaan, justru banyak yang menolak rencana Reklamasi ini. “Semakin muda semakin tegas mereka menyatakan sikap menolak reklamasi. Semakin tua semakin ragu dan kecenderungannya mengarah ke tidak tau atau tidak menjawab,” imbuhnya. Ini menurutnya karena efek dari sosial media. Dimana pada hasil survey menyebutkan, responden mendapat informasi mengenai isu ini 100 persen dari media sosial. “Mereka yang membaca dan mengakses informasi dengan lebih banyak relatif usianya semakin muda. Setelah mengakses informasi kemudian lebih banyak yang tidak setuju. Artinya usia dan sumber informasi menentukan sikap,” tegasnya.

Dosen Muda ini juga menjelaskan bahwa tujuan hasil survey ini adalah untuk menghadirkan cermin megenai bagaimana respon publik terhadap isu ini. Sebagai akademisi, Kadek Dwita mengaku tidak takut untuk membeberkan fakta-fakta dari hasil penelitiannya ini. “Kenapa harus takut jika kita melakukan sesuatu dengan idealisme,” ungkapnya. Ia juga mengajak seluruh elemen dan akademisi khususnya untuk mulai ikut berwacana dan tidak apatis. Ini menurutnya agar masyarakat juga memiliki peran dalam menentukan kebijakan. “Saya harap rekan-rekan semua ayo kita mulai berwacana. Posisi tidak masalah, yang penting wacana publik hidup dan oligarki kebijakan tidak hanya berada ditingkat elit melainkan masyarakat dapat memiliki peranan untuk menentukan kebijakan atas daerahnya sendiri,” tegasnya.

Dalam diskusi publik yang digelar di Penggak Men Mersi ini juga menghadirkan Made Anom Wiranata, Dosen dan Peneliti Sosial. Ia menelitik mengenai kesetaraan publik untuk mengakses informasi dan memiliki kontrol terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. “Apakah publik memiliki kontrol terhadap perpres? Apakah individu memiliki kesetaraan untuk mengakses keterbukaan proses kebijakan pemerintah? Saya rasa ini masih sangat kurang,” ungkapnya. Anom Wiranata melihat Indonesia dan Bali khususnya masih jauh dari proses demokrasi. Padahal Bali sempat menjadi tuan rumah dalam pelaksanaan Forum Demokrasi. Namun kesenjangan dari elit dan masyarakatnya masih sangat timpang. “Ketika masih ada kesenjangan, ini artinya negara kita masih jauh dari demokrasi,” tegasnya.

Anom juga menegaskan untuk mengabdi kepada masyarakat akademisi harus mengambil perannya dengan memberikan pandangan intelektualnya. “Dengan itulah bersama masyarakat dapat maju. Dalam artian kita memiliki daya kritis. Momen seperti ini adalah momen dimana kita mendedikasikan diri kita untuk berdialog. Akademisi berkontribusi ketika ia berinteraksi kepada masyarakat dimana dia hidup,” tegasnya.

Anak Agung Ngurah Anom Kumbara, Guru Besar Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana yang juga merupakan anggota Lembaga PPM UNUD juga meluangkan waktu untuk menjadi narasumber pada dialog yang diselenggarakan oleh PPMI Bali, BEM UNHI, dan Frontier ini. Pada akhir acara ia menuturkan bahwa Feasibility Study yang diajukan ke LPPM UNUD pada tahun 2012 lalu sarat akan unsur kepentingan. “Awalnya kan LPPM menyatakan layak. Itu karena ada unsur pesanannya,” tegasnya. Lantas ia menuturkan bahwa akademisi di UNUD yang masih memiliki idealisme serta Rektor ingin melihat kembali dan mengkaji ulang apakah itu memang benar layak atau itu hanya sebuah rekayasa. “Jika kita lihat dari koherensiya, konsistensinya, dan acuan untuk menyimpulkan sesuatu itu rupanya tidak nyambung. Antara fakta realistis dengan simpulannya lompat-lompat. Memang diarahkan agar semua menjadi rasional dan layak,” ungkapnya.

Ia juga menuturkan bagaimana kronologis dan mekanisme pembentukan tim terkait studi kelayakan tersebut. “Mekanismenya, kita yang diminta untuk melakukan riset dari pihak luar. LPPM yang merupakan wadah, akan menunjuk ahli dari msaing-masing fakultas untuk melakukan kajian. Dari tim yang dibentuk tersebut mengeluarkan hasil yang dipakai dasar oleh Gubernur Bali untuk melakukan ijin lebih lanjut,” tuturnya. Secara prinsip ia menuturkan, Universitas Udayana menolak karena tidak layak baik dari dimensi ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

Terkait ijin lokasi yang dikeluarkan pemerintah pusat Agustus lalu menurutnya dapat keluar karena memang sudah kemauan politik pemerintah. “Mereka mengatakan bahwa sebagian masyarakat bali menolak berarti era reformasi dan gaya pembangunan top down masih dominan dalam menentukan kebijakan,” imbuhnya. Alasan kedua ijin lokasi keluar atas acuan bahwa itu layak berdasarkan hasil kajian dari universitas diluar Universitas Udayana yang tentu dengan perspektif berbeda. “Sesungguhnya yang paling layak adalah hasil kajian dari Universitas Udayana karena kami yang paling dekat dengan situasi ini. Hasil riset yang dilakukan oleh akademisi diluar Udayana saya rasa sarat akan kepentingan dalam hubungannya dengan pesanan,” tegasnya. RED-MB