bj habibie

Jakarta (Metrobali.com)-

Presiden ketiga Indonesia BJ Habibie mengakui dirinya tidak setuju dengan adanya kebijakan pemberian subsidi BBM dan dia mengatakan menolak pemberian subsidi dalam bidang energi saat dirinya menjadi kepala negara.

“Saya menolak adanya subsidi energi. Presiden Soekarno dan Soeharto mengambil kebijakan subsidi BBM sementara saya tidak. Boleh dicek,” kata Habibie saat membuka salah satu sesi diskusi di acara “Kemajuan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025” di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Kamis (4/9).

Menurut dia, subsidi BBM hanya menguntungkan sejumlah pihak bukan menguntungkan rakyat miskin. Subsidi hanya dimanfaatkan para eksportir minyak dan pengusaha, .

Alasannya, para eksportir nakal akan membeli BBM di Indonesia yang lebih murah dibanding negara lain kemudian menjualnya ke luar Indonesia dengan harga yang lebih tinggi. Sementara para investor juga akan memborong BBM subsidi dalam negeri untuk menjalankan usahanya. Pendek kata, subsidi energi itu cenderung salah sasaran.

“Saya adalah orang yang tidak setuju subsidi energi. Misalnya subsidi itu 50 persen. Orang membelinya dan mendapatkan harga beli 50 persen lebih murah kemudian dia ekspor ke negara tetangga, dia untung besar. Begitu juga perusahaan yang akan memanfaatkannya sebagai penghematan biaya produksi,” kata dia.

Habibie juga mengakui jika dia mengambil posisi yang berseberangan dengan mendiang Soeharto, terkait kebijakan subsidi energi.

Bagi dia, terdapat hal yang lebih penting daripada subsidi BBM yaitu pemanfaatan dana itu untuk pendidikan dan kesehatan gratis.

“Bung Karno dan Pak Harto milih subsidi, saya tidak mau. Bagusnya itu anggaran ditujukan untuk pembangunan sumber daya manusia, pendidikan dan kesehatan gratis. Dana juga bisa jadi modal kerja untuk usaha kecil dan mengah dengan pinjaman bersuku bunga nol persen,” kata dia.

Menurut Habibie, subsidi BBM itu hanya akan membengkakkan anggaran negara. Terlebih negara harus banyak membayar biaya impor BBM bersubsidi.

“Secara garis besar, dua pertiga BBM kita itu berasal dari impor dan sepertiga kita produksi sendiri. Anggaran hanya untuk membiayai impor,” kata dia.

Maka dari itu, secara tegas dia menolak subsidi BBM. Anggaran harus difokuskan untuk pembangunan SDM berkualitas.

Jika SDM unggul, katanya, maka pembangunan ekonomi akan menuju ke arah yang lebih baik lagi. Lantaran SDM berkualitas itu tidak bisa diciptakan dalam waktu singkat selama lima tahun, tetapi jangka panjang sekira 25 tahun atau lebih.

Dia juga menyoroti peran ibu rumah tangga dalam membangun SDM.

“SDM berkualitas sangat dipengaruhi oleh seorang ibu yang mendidik anaknya. Seorang ibu jangan sampai terpaksa bekerja untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Biarlah dia mendidik anaknya hingga menjadi SDM berkualitas yang akan memajukan bangsa,” katanya. AN-MB