Foto: Penglingsir Puri Peguyangan Denpasar Anak Agung Ngurah Gede Widiada yang juga Ketua Fraksi NasDem-PSI DPRD Kota Denpasar.

Denpasar (Metrobali.com)-

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Provinsi Bali khususnya juga di Kota Denpasar tahun ini tetap saja disinyalir masih “berbau amis.”

Praktik “main titip” dan mencari sekolah negeri (SMP dan SMA/SMK) lewat “jalur belakang” melibatkan orang tua siswa dan oknum pejabat Pemerintah Kota Denpansar maupun oknum Anggota DPRD Kota Denpasar masih saja terjadi.

Alhasil PPDB yang harusnya berjalan sesuai mekanisme dan prosedur berdasarkan ketentuan yang ada malah “dilabrak” dan “diobrak-abrik” dengan kentalnya kekuatan dan kepentingan politik yang masih bisa bermain di areal abu-abu dengan mempermainkan aturan ataupun melakukan “akrobatik aturan.”

Kondisi ini pun tak ditampik oleh Anggota DPRD Kota Denpasar Anak Agung Ngurah Gede Widiada yang juga Penglingsir Puri Peguyangan Denpasar.

Di masa PPDB tahun ini, politisi yang akrab disapa Gung Widiada ini mengaku setidaknya sudah “ditodong” dengan lebih dari 60 “titipan” orang tua siswa agar anaknya bisa dicarikan atau diloloskan di sekolah negeri (SMP dan SMA/SMK negeri) di Kota Denpasar.

Namun  politisi yang juga Ketua Fraksi NasDem-PSI DPRD Kota Denpasar sejak awal menegaskan “angkat tangan,” menolak dan tidak  mau membantu mencarikan sekolah lewat lewat “jalur belakang” dan memanfaatkan pengaruh kekuatan politik.

“Saya katakan kepada warga, orang tua siswa bahwa saya menyerah, saya tidak bisa membantu mencarikan sekolah. Tapi tetap saja ada lebih dari 60 copy tanda pendaftaran yang disodorkan ke saya dan tetap saya katakan saya tidak bisa membantu,” ungkap Gung Widiada saat ditemui di kediamannya di Puri Peguyangan, Denpasar, Selasa (7/7/2020).

Penglingsir Puri yang juga Anggota Komisi IV DPRD Kota Denpasar ini menegaskan dirinya sadar betul atas konsekuensi logis dari sikap dan keputusannya tidak mau bermain dalam PPDB di Kota Denpasar.

Salah satunya bisa saja orang tua siswa ataupun warga yang juga merupakan konstituen atau pemilih dirinya pada Pemilu Legislatif (Pileg) menjadi kecewa karena merasa tidak dibantu. Bisa saja ke depan warga akan mengalihkan dukungannya kepada politisi atau Anggota Dewan lain yang dianggap bisa membantu mencarikan sekolah saat PPDB ini.

“Mungkin ada warga yang beranggapan kok Anggota Dewan yang lain bisa membantu tapi kenapa saya malah tidak bisa? Ya, saya pahami pandangan mereka. Tapi saya tetap konsisten bahwa ruang-ruang pendidikan, PPDB ini semestinya tidak disentuh oleh kepentingan politik. Biarkan berjalan sesuai mekanisme dan aturan yang ada,” urai Gung Widiada.

Anggota DPRD Denpasar Dapil Denpasar Utara dari Partai NasDem ini juga sadar betul sebagai Anggota Dewan dari partai politik yang hanya mempunyai tiga kursi di DPRD Kota Denpasar, pihaknya tidak bisa memainkan peran mencegah jika memang ada pihak-pihak lain yang turut bermain menjadikan PPDB ini layaknya ajang “komoditas politik”, menukar jatah sekolah dengan simpati dan “tabungan suara” pada Pileg mendatang.

“Saya tidak ada maksud menyinggung teman-teman, bilang partai A atau B yang bermain dan paling berkuasa dalam PPDB ini. Tapi ini harus saya katakan dan buka ke publik karena ini persoalan tanggung jawab moral mewujudkan pendidikan yang fair yang tidak diganggu gugat tekanan atau kepentingan politik tertentu,” papar Gung Widiada.

Apa yang disampaikan ini juga sebagai bentuk kritik dan otokritik serta evaluasi atas perjalanan pelaksanaan PPDB selama ini yang tiap tahun praktik-praktik “main titip” dan “main jalur belakang” masih saja terjadi dan ibarat menjadi “lingkaran setan.”

Atau dengan kata lain meminjam istilah ekonomi, di dalam PPDB ini ada “demand and supplay,”  ada permintaan atau masyarakat yang membutuhkan bantuan mencarikan anaknya sekolah negeri dan ada pihak-pihak yang siap menawarkan bantuan dengan imbalan tertentu atau ada kepentingan politik tertentu.

“Ada kekuatan tertentu, ada invisible hand yang bermain di PPDB dengan alasan bantu pendidikan warga agar tertampung di sekolah negeri. Teman-teman saya tahu kondisi ini, kita semua juga tahu karena sudah jadi rumor di ruang publik,” ungkap Gung Widiada yang juga Wakil Ketua DPW Partai NasDem Provinsi Bali ini.

Dengan kondisi ini PPDB akhirnya menjadi komoditas politik dan sekolah seperti tersandera kepentingan politik kelompok tertentu. Semua peluang memberikan jasa akhirnya pasti menjadi dukungan politik pada event-event politik baik Pileg maupun Pilkada.

“Bansos, PPDB dan segala fasilitas milik pemerintah dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk menyenangkan rakyat dan mendulang simpati, meraup suara atau dukungan. Apalagi rakyat kita sangat baik hati, merasa hutang budi dengan bantuan yang diberikan itu, padahal itu adalah hal mereka,” ungkap Gung Widiada yang sudah enam periode sebagai wakil rakyat di DPRD Kota Denpasar ini (empat periode dari Partai Golkar dan dua periode dari Partai NasDem).

Ia pun berharap ke depan PPDB harus benar-benar steril dari sentuhan “invisible hand” dan tidak disusupi kepentingan politik sehingga terwujud PPDB yang transparan, akuntabel dan berkeadilan. Komitmen kolektif dan good political will (kemauan politik yang baik) untuk mewujudkan hal tersebut harus tercipta antara eksekutif dan legislatif.

“Dunia pendidikan harusnya tidak boleh disentuh kepentingan politik, harus steril dari politik
Harus ada kesadaran politik wujudkan PPDB yang transparan, akuntabel dan berkeadilan, tapi saya rasa itu tidak gampang,” ujarnya.

“Daripada tiap tahun kita begini, ditodong masyarakat untuk membantu mencarikan sekolah negeri, kenapa tidak eksekutif dan legislatif sama-sama punya komitmen menganggarkan membangun sekolah negeri baru,” imbuh Gung Widiada.

Solusi lainnya jika anggaran membangun sekolah negeri baru tidak memungkinkan, imbuhnya, adalah harus ada keseriusan pemerintah membantu dan mensubsidi sekolah-sekolah swasta yang ada sehingga juga tercipta keadilan dan pemerataan akses pendidikan. Terlebih pemerintah mencanangkan pendidikan atau wajib belajar 12 tahun.

“Sekolah swasta ajak berbagi ringankan beban masyarakat. Pemerintah harus berikan subsidi biaya pendidikan anak-anak yang sekolah di swasta. Bansos eksekutif dan legislatif bisa dikurangi alihkan ke pendidikan. Itulah derma yang utama bangun kualitas SDM generasi penerus bangsa,” harap Gung Widiada

Ia pun berharap praktik-praktik curang dan skenario besar dalam pelaksanaan PPDB harus  berani dibongkar. Jangan sampai memicu konflik sosial di masyarakat karena merasa ada ketidakadilan.

“Yang dapat pasti senang, yang tidak dapat tentu tidak puas dan protes. Kalau sistem tidak fair, artinya ada kebohongan moralitas, pembohongan pada diri sendiri,” tandas Gung Widiada. (dan)