gub 3

Denpasar (Metrobali.com)-

Penetapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa pada 15 Januari 2014 lalu menimbulkan dilema bagi Bali. Sejatinya kalau dicermati, Pasal 6 ayat 1 UU dimaksud bersifat normatif dan hanya menyebutkan bahwa desa terdiri atas desa dan desa adat. Menjadi blunder karena penjelasan pasal tersebut mengamanatkan pengakuan satu desa dalam satu wilayah. Itu artinya, Bali mesti menentukan satu desa untuk didaftarkan. Padahal, selama ini Bali memiliki dua jenis desa yang memiliki kewenangan dan karakteristik yang berbeda yaitu Desa Dinas dan Desa Pakraman. Terhadap hal ini, Gubernur Bali Made Mangku Pastika menaruh atensi serius dan berharap ada solusi yang terbaik untuk Bali. Dia berharap, dilema ini disikapi dengan jernih,arif dan bijaksana serta betul-betul mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya bagi Bali. Demikian disampaikan Kepala Biro Humas Setda Provinsi Bali I Dewa Gede Mahendra Putra, Jumat (4/7).

Lebih jauh Dewa Mahendra menyampaikan, dalam menyikapi blunder penetapan UU Desa, Pastika telah mengambil sejumlah langkah proaktif. Mulai dari memfasilitasi sederetan pertemuan guna menyerap aspirasi dari berbagai elemen hingga mengkonsultasikan polemik ini ke pusat. Diawali pada pertengahan Mei, Gubernur menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang menghadirkan berbagai tokoh masyarakat dan para ahli antara lain Petajuh MUDP, akademisi dan tim ahli pembangunan Pemprov Bali. Lanjut pada pertengahan Juni 2014, dia menggelar pertemuan dengan Bupati/Walikota untuk membahas persoalan terkait UU desa ini. Selain itu, Pastika juga secara khusus berbicara pada seminar nasional bertemakan “Kedudukan Desa dalam Sistem Ketatanegaraan RI’ yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Udayana di Hotel Werdhapura Sanur, Sabtu (28/6).

Dari serentetan pertemuan tersebut, secara garis besar Gubernur Pastika menginginkan agar semua komponen tak mengedepankan emosi dalam penentuan opsi Bali terkait penetapan UU Desa tersebut. Menurut dia, Bali memiliki karakteristik yang berbeda dari daerah lainnya. Selama ini, Bali mengenal dua jenis desa yaitu desa dinas dan desa pakraman. Keduanya hidup berdampingan dan tidak saling tumpang tindih karena masing-masing memiliki kewenangan yang berbeda. Keberadaan 1.488 desa pakraman merupakan rohnya adat/budaya Bali dan menjadi bagian tak terpisahkan dari keunikan Pulau Dewata. Desa Pakraman juga punya sifat sakral serta otonomi sangat kuat dengan aturan pengikat yang disebut awig-awig. Dengan konsep Tri Hita Karana sebagai dasar filosofi pengaturan dan penataan wilayahnya, Desa Pakraman  menjadi benteng adat dan budaya Bali. “Kelestarian adat dan budaya inilah yang menjadi faktor utama bagi kemajuan sektor pariwisata yang merupakan lokomotif pekeronomian daerah Bali,” urainya.

Mengingat pentingnya fungsi dan peran Desa Pakraman, Pemprov pun memberi perhatian khusus melalui pemberian bantuan yang saat ini telah mencapai Rp.100 juta tiap tahun. Pastika pun menegaskan bahwa keberadaan Desa Pakraman merupakan harga mati bagi Bali. “Saya berkomitmen, meskipun langit runtuh, Desa Pekraman harus tetap ada” tandasnya.

Sebaliknya, desa dinas yang jumlahnya mencapai 716 buah juga mempunyai peran dalam mengatur urusan pemerintahan. Melihat keduanya punya fungsi yang peran yang saling melengkapi, maka keberadaan Desa Dinas dan Desa Pakraman di Bali bukanlah dualisme, melainkan dualitas. Karena itu, Gubernur berpandangan, pola ko-aksistensi dua desa ini dapat dipertahankan. Dengan demikian, keduanya akan berjalan berdampingan, saling isi dan melengkapi.

Untuk itu, Pastika minta semua komponen untuk membicarakannya secara lebih komprehensif dan mendalam karena keputusan yang akan dibuat adalah sesuatu yang menentukan masa depan Bali. Para pakar diharapkan bekerja dengan bijaksana dan tidak dikejar waktu sehingga bisa berpikir dengan jernih dan mengesampingkan emosi, agar  keputusan yang dikeluarkan bisa benar-benar menghasilkan kebaikan untuk Bali ke depan. Dia juga minta semua pihak jangan gegabah, apalagi berorientasi pada jatah anggaran dalam menentukan opsi bagi Bali.

Pastika lantas memberi sedikit gambaran jika Bali memilih Desa Pakraman untuk didaftarkan. Sifat otonom dan eksistensi Desa Pakraman dikhawatirkan akan berkurang. Jika itu pilihannya, para bendesa nantinya akan dilantik Bupati/Walikota. Belum lagi wilayah desa pakraman yang berada di dua kabupaten seperti di Badung, Klungkung dan lainnya. Desa pakraman yang memiliki jumlah krama sangat minim, nantinya ada kemungkinan digabung untuk memenuhi amanat UU. Persoalan lainnya adalah bagaimana menggabungkan kayangan tiga ataupun setra, persoalan kependudukan dan bagaimana mengurus krama lain atau non Hindu. Hal tersebut hendaknya menjadi pertimbangan semua elemen dalam menentukan opsi terbaik bagi Bali. Kalau soal anggaran, kata Gubernur, ke depannya Pemprov berkomitmen untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap Desa Pakraman.

Selain melalui sederetan pertemuan dan dialog, Gubernur Pastika juga sempat menyampaikan  persoalan ini kepada Badan Kehormatan (BK) DPR RI saat berkunjung ke Bali beberapa waktu lalu. Dia juga mengutus Sekretaris Daerah Provinsi Bali Cok Ngurah Pemayun menggandeng perwakilan dari pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali, Forum Kepala Desa Kabupaten/Kota se Bali dan Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) untuk melakukan audiensi ke Direktur Jenderal Pemberdayaan  Masyarakat dan Desa Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, (26/6).Kedatangan rombongan Bali ini bertujuan mendapat kejelasan berkaitan dengan substansi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa khususnya pasal 6 beserta penjelasannya. AD-MB